PELAYANAN PENDIDIKAN BERBASIS HAK
Oleh. Paul SinlaEloE
Salah satu cita-cita dan kewajiban negara
yang secara tegas diakui dalam konstitusi Indonesia (tiga tahun sebelum Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dikumandangkan)
adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan menjadi hak bagi warga negara,
dan negara cq pemerintah wajib
mengusahakan serta menyelenggarakannya. Dalam perkembangannya, konstitusi juga
mengakui bahwa hak atas pendidikan adalah hak asasi manusia (Pasal 28C Ayat (1)
UUD 1945 hasil amandemen) dan dalam memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan nasional, negara memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) serta
dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) (Pasal 31 Ayat (4) UUD 1945 Hasil
Amandemen). Hak setiap warga Negara atas pendidikan, juga ditegaskan dalam
Pasal 5 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional,
bahwa setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan
yang bermutu.
Dengan menitik beratkan pada hak anak,
penegasakan tentang ha katas pendidikan juga diatur dalam Pasal 60 UU No. 39
Tahun 1999, tentang Hak Asasi Manusia, yang pada initinya menegaskan bahwa
setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan sesuai minat, bakat dan tingkat
kecerdasan. Penegasan
serupa juga tertuang dalam Pasal 53 ayat
(1) UU No. 23 Tahun 2002, tentang Perlindungan Anak, terdapat penegasan bahwa Negara/pemerintah
memiliki tanggung jawab memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma
atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga tidak mampu, anak terlantar, dan
anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil.
Di Indonesia, walaupun hak atas pendidikan secara
yuridis sudah diatur sejak awal kemerdekanaan, namun wacana Pendidikan Berbasis
Hak menjadi trend di Indonesia sejak 2002 lalu, ketika Katarina Tomasevski mengangkat hal ini
dalam makalahnya yang bertajuk Universalizing the Right
to Education of Good Quality: A Rights-based Approach to Achieving
Education for All dalam Workshop Regional
UNESCO di Manila, Filipina. Dalam makalah ini Katarina Tomasevski mengartikan Pendidikan
Berbasis Hak sebagai satu dasar pelaksanaan pendidikan yang berasaskan hak-hak
asasi manusia untuk mendapatkan pendidikan.
Dalam
pengantarnya, Tomasevski menyatakan bahwa pemenuhan hak atas pendidikan
merupakan proses yang sedang berjalan, demikian juga dengan upaya penyatuan
berbagai komitmen global untuk mencapai pendidikan untuk semua. Oleh karena itu,
pelaksanaan Pendidikan Berbasis Hak merupakan langkah untuk mewujudkan
pendidikan yang adil, kesamarataan pelayanan berdasarkan kebutuhan setiap
peserta didik.
Untuk
lebih mengukuhkan pelaksanaan Pendidikan Berbasis Hak, Tomasevski mengaitkan
pemikiran ini dengan bidang hukum, yang mana setiap negara, termasuk Indonesia,
menjadikan pendidikan sebagai hak setiap warga negaranya. Dalam hal ini,
terdapat skema A4 sebagai acuan terwujudnya Pendidikan Berbasis Hak. Skema
tersebut adalah: Pertama, Availability
(ketersediaan). Kedua, Accessibility
(keterjangkauan). Ketiga, Acceptability
(keberterimaan). Keempat, Adaptability
(kebersesuaian).
Berdasarkan
teks asli makalah yang disusun oleh Tomasevski, pelaksanaan Pendidikan Berbasis
Hak dengan Skema A4 diuraikan sebagai berikut: Pertama, Availability (Ketersediaan). Hak Ketersediaan
lebih menekankan pada adanya sarana dan fasilitas sekolah bagi berbagai macam
murid. mulai dari kondisi murid yang berketerbatasan secara finansial, fisik,
hingga kelompok minoritas dalam masyarakat. Untuk murid disabilitas, bangunan
sekolah yang disediakan hendaknya mampu menyediakan fasilitas yang memudahkan
gerak para murid disabilitas tubuh, membantu penunjangan informasi disabilitas
pengelihatan dengan fasilitas informasi suara dan braile, serta mempermudah penerimaan informasi disabilitas
pendengaran menggunakan tulisan.
Kedua, Accessibility (Keterjangkauan).
Untuk hak keterjangkauan ini pemerintah harus menghapuskan praktik-praktik
diskriminasi jender dan rasial dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia
secara merata, dan pemerintah tidak sekadar puas dengan hanya pelarangan
diskriminasi secara formal. Hak Keterjangkauan yang digagaskan Tomasevsky lebih
menekankan pada keterjangkauan pendidikan oleh semua masyarakat guna mencapai
wajib belajar dua belas tahun. Keterjangkauan ini mengarah pada aspek
finansial, dimana setiap warga negara memiliki hak memperoleh pendidikan
sekalipun berketerbatasan finansial. Demikian pula untuk murid-murid
disabilitas, jika hak ini terlaksana tidak ada lagi alasan adanya seorang
disabilitas yang tidak mengecap pendidikan karena ketidakmampuan untuk
membiayai sekolah. Selaian aspek finansial, aspek jarak dalam keterjangkauan TIDak
boleh menjadi hambatan untuk bersekolah. Artinya, aspek jarak tidak boleh
menjadi alasan untuk mereka yang berusia sekolah (baik itu yang berkebutuhan khusus maupun yang tidak berkebutuhan khusus)
tidak bersekolah karena jarak sekolah jauh.
Ketiga,
Acceptability (Keberterimaan), mempersyaratkan penjaminan
minimal mengenai mutu pendidikan, misalnya persyaratan kesehatan dan
keselamatan atau profesionalisme bagi guru, tetapi cakupan yang sesungguhnya
jauh lebih luas dari yang dicontohkan tersebut seperti penduduk asli dan
mintoritas berhak memprioritaskan penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa
pengantar dalam proses belajar mengajar. Hak Keberterimaan ini bisa terleksana
jika dua hak pertama, Hak Ketersediaan dan Hak Keterjangkauan terpenuhi.
Keberterimaan murid disabilitas bisa diwujudkan melalui program inklusi di
seluruh jenjang pendidikan dan kehidupan masyarakat. Dengan demikian,
perbedaan-perbedaan yang ada di antara murid bukanlah sebuah penghalang
terlaksananya pendidikan. Justru, perbedaan antar murid dapat menjadi
keberagaman dan mempererat persaudaraan antar murid.
Keempat, Adaptability (Kebersesuaian),
mempersyaratkan sekolah untuk tanggap terhadap kebutuhan setiap anak, agar
tetap sesuai dengan Konvensi tentang Hak-hak Anak. Hal ini mengubah pendekatan
tradisional, yakni sekolah yang mengharapkan bahwa anak-anaklah yang harus
dapat menyesuaikan terhadap berbagai bentuk pendidikan yang diberikan kepada
mereka. Hak
Kebersesuaian merupakan hak lanjutan dari tiga hak pertama dalam Pendidikan
Berbasis Hak. Hak ini menuntut adanya penyesuaian dari setiap lembaga pendidikan
dengan standar-standar kualitas yang telah ditetapkan untuk kebutuhan
murid-muridnya. Dalam penerapannya, Hak Kebersesuaian menciptakan tradisi
dimana bukan murid yang harus menyesuaikan diri dengan sekolah, melainkan
sekolahlah yang harus menyesuaikan dirinya dengan keadaan murid-muridnya.
Dengan demikian, melalui pendidikan Hak berkesesuaian para murid yang tadinya
bukan seorang disabilitas dan karena satu hal menjadi disabilitas, misalnya
karena kecelakaan harus menggunakan kursi roda selama hidupnya, tidak harus
pindah sekolah untuk menyesuaikan kebutuhannya yang baru, sekolahlah yang harus
menyesuaikan sarana dan fasilitasnya untuk memenuhi kebutuhan ruang gerak yang
lebih terjangkau untuk murid berkursi roda ini.
Bertolak
dari pemaparan konsep pendidikan berbasis hak yang diwacanakan oleh Katarina Tomasevski, maka dalam menjalankan kewajiban
untuk memenuhi hak atas pendidikan bagi warganya, sudah seharusnya negara perlu
berpegang pada prinsip hak asasi manusia. Artinya, negara tidak
boleh melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam konteks penyelenggaraan
pendidikan, baik yang berupa acts of
commission maupun acts of omission.
(Tulisan ini pernah di publikasikan
dalam Newsletter UDIK, Edisi I, Tahun 1, Oktober 2013).
------------------------------------------------------------
Staf Div. Anti Korupsi PIAR
NTT