ADVOKAT
Oleh:
Marthen Luther Johannes Paul SinlaEloE
Aktivis PIAR NTT dan Advokat KAI NTT
Walaupun demikian, fakta membuktikan bahwa upaya untuk mewujudkan suatu kehidupan yang damai, aman dan tentram di Indonesia belum dapat berjalan sebagaimana mestinya akibat lemahnya penegakan hukum (law enforcement), terutama karena buruknya kinerja dan perilaku dari aparat penegak hukum.
Salah satu penegak hukum dalam Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) di Indonesia adalah Advokat. Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 5 Ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003, Tentang Advokat (UU Advokat) yang menyatakan bahwa Advokat adalah penegak hukum yang bebas dan mandiri dan karenanya Advokat mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya (Polisi, Jaksa dan Hakim) dalam menegakkan hukum dan keadilan.
Meskipun kedudukan advokat adalah setara dengan Polisi, Jaksa dan Hakim, namun yang tidak boleh dilupakan bahwa Advokat merupakan penegak hukum yang berada di luar pemerintahan, berbeda dengan Polisi, Jaksa dan Hakim yang kedudukan berada dalam pemerintahan. Artinya, Advokat harus berfungsi sebagai penyeimbang dominasi dari penegak hukum lainnya agar tidak terjadi kesewenang-wenangan dan harus berfungsi juga untuk melindungi hak pencari keadilan sekaligus sebagai bentuk perwakilan masyarakat di dalam suatu proses peradilan.
Secara yuridis, Advokat dimaknai sebagai orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan (Pasal 1 angka 1 UU Advokat). Jasa Hukum yang diberikan oleh Advokat meliputi konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien (Pasal 1 angka 2 UU Advokat).
Melalui jasa hukum yang diberikan, Advokat diharuskan menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk usaha memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamental mereka didepan hukum.
Wilayah kerja Advokat meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia (Pasal 5 Ayat (2) UU Advokat). Advokat berhak memperoleh informasi, data, dan dokumen lainnya, baik dari instansi Pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan Kliennya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, ketika menjalankan tugas profesinya (Pasal 17 UU Advokat).
Advokat juga diberi hak imunitas karena dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana (Pasal 16 UU Advokat). Bahkan, Advokat juga diberi kekebalan hukum ketika menjalankan tugas profesinya untuk kepentingan kliennya di luar sidang pengadilan dan dalam mendampingi kliennya pada dengar pendapat di lembaga perwakilan rakyat (Penjelasan Pasal 15 UU Advokat).
Dalam menjalankan tugas profesinya, Advokat dilarang untuk tidak boleh membedakan perlakuan terhadap Klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya (Pasal 18 Ayat (1) UU Advokat). Advokat juga diwajibkan untuk merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari Kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang (Pasal 19 Ayat (1) UU Advokat).
Pasal 14 dan Pasal 15 UU Advokat, juga mengharuskan Advokat untuk tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan, ketika menjalankan tugas dan profesinya. Dalam Kode Etik Profesi Advokat, seorang Advokat wajib untuk memperhatikan beberapa hal penting seperti tentang Kepribadian Advokat, Bagaimana Hubungan dengan Klien, Bagaimana Hubungan dengan Teman Sejawat, serta bagaimana cara bertindak menangani perkara.
Kode Etik Advokat Indonesia merupakan hukum bagi Advokat dalam menjalankan tugas dan profesinya yang tidak saja menjamin dan melindungi, namun membebankan juga kewajiban kepada setiap Advokat untuk jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada klien, pengadilan, atau masyarakat dan terutama kepada dirinya sendiri.”
Pdt. Mielsy Thelik-Mooy, S.Th, dalam kegiatan pelantikan Advokat dari Organisasi Kongres Advokat Indonesia di Hotel Aston, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada tanggal 30 Juli 2022, berpendapat bahwa substansi dari kode etik profesi advokat dapat dijabarkan nilai-nilainya berdasarkan apa yang tertulis dalam Kitab Kolose 3:23-24, yakni: "Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah”. “Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya".
Jika apa yang tertulis dalam Kitab Kolose 3:23-24, ini dimaknai secara cerdas dan diimplementasikan dengan benar oleh setiap Advokat, maka profesi Advokat yang selalu disebutkan sebagai profesi terhormat dan mulia (officium nobile) akan mendapat penggenapannya.
Advokat yang officium nobile hanya.akan terwujud apabila dalam setiap hukum yang
tak adil dan dipakai oleh penguasa untuk menundas, seharusnya advokat hadir
untuk mewakili mereka yang tertindas serta membela mereka yang lemah dan tidak
berdaya (Najwa Shihab, 2014).
Najwa Shihab (2014), berpendapat juga bahwa dengan label sebagai profesi terhormat dan mulia (officium nobile), idealnya Advokat harus mencari nafkah dengan martabat tinggi dan tak terbeli, hidup dalam keseimbangan rasa dan tak hanya mengejar materi semata, tapi peduli juga pada kebenaran dan keadilan.
Secara etimologis, officium nobile dapat diartikan sebagai ketulusan dalam melayani. Dalam bahasa Latin kata "Nobilis" bisa dimaknai sebagai: mulia, luhur, atau yang sebaik-baiknya sedangakan istilah “Officium" berarti jasa, kesediaan menolong atau kesediaan melayani.
Dalam sejarahnya, istilah officium nobile (profesi yang mulia dan terhormat), telah disematkan pada advokat sudah sejak era Romawi Kuno. Hal ini dikarenakan pada saat itu para advokat yang dipelopori oleh Patronus selalu berjuang untuk tegaknya Hak Asasi Manusia dan selalu mengabdikan dirinya bagi mereka yang tertindas oleh kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pihak kekaisaran. Bahkan mereka juga selalau menolong orang-orang yang terjebak dengan hukum dan orang-orang yang terpaksa melanggar aturan, tanpa mengharap menerima imbalan atau honorarium.
Menurut Frans Hendra Winata (2003), officium nobile adalah pengejawantahan dari nilai-nilai: Pertama, nilai kemanusiaan (humanity). dalam arti penghormatan pada martabat kemanusiaan harus dijunjung tinggi dan menjadi prioritas utama; Kedua, nilai keadilan (justice) dalam arti dorongan untuk selalu memberikan kepada orang apa yang menjadi haknya; Ketiga, nilai kepatutan atau kewajaran (reasonableness) sebagai upaya mewujudkan ketertiban dan keadilan dalam masyarakat;
Keempat, nilai kejujuran (honesty) dalam arti adanya dorongan kuat untuk memelihara kejujuran dan menghindari perbuatan yang curang, kesadaran untuk selalu menghormati dan menjaga integritas dan kehormatan profesinya; Kelima, nilai pelayanan kepentingan publik (to serve public interest) dalam arti pengembangan profesi hukum telah inherent semangat keberpihakan pada hak-hak dan kepuasan masyarakat pencari keadilan yang merupakan konsekuensi langsung dari nilai-nilai keadilan, kejujuran dan kredibilitas profesi.
Pada akhirnya, harus
dingat oleh semua kita bahwa penegakan hukum merupakan rangkaian proses
penjabaran nilai, ide, dan cita untuk menjadi sebuah tujuan hukum yakni
keadilan dan kebenaran. Nilai-nilai yang terkandung didalamnya haruslah diwujudkan
menjadi realitas yang nyata. Untuk itu, Advokat yang adalah penegak hukum dalam
menjalankan tugas dan profesinya wajib mewujudkan tegaknya kebenaran dan
keadilan sekalipun langit runtuh. Fiat Justitia Ruat Coelum.
--------------------------------------------------------