PERCOBAAN MELAKUKAN TINDAK
PIDANA PERDAGANGAN
ORANG
Oleh: Paul SinlaEloE
Satuan
Gugus Tugas (Satgas) Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Polres Kupang
Kota,
kembali mengamankan 92 orang Calon Tenaga Kerja (CTK) dari Desa Rainawe
Namfalus, Kecamatan
Kobalima, Kabupaten
Malaka, Provinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT). Para
CTK
yang diamankan pada senin, 24 Juli 2017, sekitar pukul
21.30 WITA, direncanakan
akan diberangkatkan menuju Merauke, Papua, dengan menggunakan Kapal Laut (KM
Sirimau), pada Selasa, 25 Juli 2017, sekitar pukul 02.00 WITA.
CTK yang terdiri
dari 67 orang laki-laki dan 25 orang perempuan ini, diamankan ketika sementara
berada di tempat “penampungan/transit”, yakni di rumahnya Zevanya
Bisilisin yang
beralamat di
RT 22/RW 05, Kelurahan Alak, Kecamatan Alak, Kota Kupang, Nusa Tenggara
Timur. CTK
asal Kabupaten Malaka ini dibawa ke Kota Kupang oleh Alfonius Fanus (32 Tahun), asal Belu, yang sudah sejak tahun
2007
bekerja di Kabupaten Jayapura. Mereka tiba di Alak pada Senin, 24 Juli 2017, sekitar pukul
06.00 WITA, dengan menumpang 4 (empat) unit Bus.
Para CTK ini berhasil
diamankan oleh
pihak kepolisian karena adanya informasi dari warga setempat,
setelah berkoordinasi dengan lembaga Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR NTT). Ketika diamankan, mereka (para CTK dan
Alfons Fanus) tidak dapat menunjukkan
dokumen keberangkatan termasuk dokumen terkait dengan ketenagakerjaan lainnya.
Dari 92 CTK yang
akan diberangkatkan, terdapat 11 orang yang berusia anak dengan perincian 9
anak laki-laki dan 2 orang berjenis kelamin perempuan. Selain itu, terdapat
juga 2 orang balita laki-laki dan seorang balita perempuan. Kesemua CTK yang direkrut oleh
Alfons Fanus
ini,
dijanjikan akan dipekerjakan di PT. AMS yang bergerak di bidang perkebunan
kelapa sawit. Mereka
diimingi
gaji per hari sejumlah Rp.106 ribu, dengan waktu
kerja pukul 06.15 WITA hingga pukul 14.00 WITA.
Perbuatan dari Alfons Fanus, diduga masuk
dalam kategori percobaan melakukan TPPO. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007,
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UUPTPPO), pengaturan terkait percobaan
melakukan TPPO terdapat
dalam Pasal 10 yang mengamanatkan bahwa: “Setiap orang
yang membantu atau melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana
perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6”.
Walaupun dalam
bagian penjelsan Pasal 10 UUPTPPO hanya tertulis “cukup jelas”, namun penting untuk
dipahami bahwa percobaan pada ketentuan ini tidak hanya berlaku untuk Pasal
2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 dari UUPTPPO saja, tetapi berlaku
juga terhadap seluruh pasal terkait dengan TPPO yang terdapat dalam Bab II dan Bab III UUPTPPO,
kecuali
pasal-pasal
dari
UUPTPPO yang
tidak merumuskan tindak pidana secara konkrit.
Materi dari
Pasal 10 UUPTPPO, pada dasarnya tidak memposisikan secara sama antara pelaku yang
melakukan tindakan yang memenuhi unsur TPPO dengan pelaku TPPO yang
berkategori membantu melakukan (medeplichtigheid), termasuk juga tidak
menyamakan dengan pelaku yang melakukan percobaan TPPO ataupun
sebaliknya. Selain itu, harus diingat juga bahwa Pasal 10 UUPTPPO tidaklah
dibentuk untuk menyamakan antara TPPO selesai/sempurna dengan tindak percobaan melakukan TPPO.
Secara
substansi, Pasal 10 UUPTPPO hanya menyamakan beban pertanggungjawaban pidana
antara setiap orang yang berkualitas sebagai pihak yang membantu melakukan TPPO
dan pihak yang melakukan percobaan TPPO, dengan setiap orang yang
melakukan tindakan yang memenuhi unsur TPPO. Buktinya,
bisa dilihat dari sisi
ancaman pidannya yang menyamakan antara perbuatan selesai (tindak pidana yang
telah sempurna), dengan percobaan untuk melakukan tindak pidana. Hal ini
menunjukkan keinginan atau semangat dari para perumus untuk memberantas TPPO
seawal mungkin, sebelum terjadi
TPPO, sebagaimana maksud dari Pasal 56 UUPTPPO.
Pada tataran
praktek, Pasal 10 UUPTPPO ini jarang dipergunakan oleh para Penegak Hukum untuk
menindak pihak terduga dalam peristiwa percobaan melakukan TPPO. Penegak Hukum lebih sering
menggunakan Pasal
53 ayat
(1) KUHPidana, untuk menjerat setiap orang dalam kasus percobaan
melakukan TPPO dengan alasan lebih memiliki kepastian hukum. Alasan lainnya
adalah Pasal 10 UUPTPPO beserta poin penjelasannya tidak menguraikan apakah percobaan
untuk melakukan TPPO, masuk dalam kualifikasi delik berupa kejahatan atau
pelanggaran.
Kualifikasi
delik ini menjadi penting dalam hukum pidana karena
konsekuensi hukum dari perbuatan yang berkualifikasi percobaan melakukan
kejahatan, berbeda dengan tindakan yang masuk dalam kategori percobaan
melakukan pelanggaran. Pada kategori percobaan melakukan tindak pidana yang
berkualifikasi pelanggaran adalah tidak dipidana (Pasal 54 KUHPidana). Sedangkan yang dapat diancam
pidana adalah percobaan melakukan tindak pidana yang berkualifikasi kejahatan.
Dalam ilmu hukum
pidana, akibat hukum yang
berbeda dari
pembedaan antara
kejahatan/misdrijven dan
pelanggaran/overtredingen
bukan hanya pada masalah percobaan dan pembantuan saja, tetapi juga
pada masalah lain diantaranya dalam hal daluwarsa dimana kewenangan penuntutan untuk tindak
kejahatan lebih lama dari tindak pelanggaran. Selain itu, berlakunya asas
nasional aktif hanya
untuk kejahatan/misdrijven, tidak untuk pelanggaran/overtredinge. Bahkan, dalam konteks perbarengan perbuatan (concursus realis), terdapat juga perbedaan dalam mekanisme penjatuhan pidana untuk kejahatan dan
pelanggaran.
Kalau dicermati
UUPTPPO
dengan
cerdas, sebenarnya pihak Penegak Hukum tidak perlu ragu untuk menjerat setiap
orang dalam kasus percobaan melakukan TPPO dengan mempergunakan Pasal 10
UUPTPPO. Sebab, telah ditegaskan dalam alenia 9 (sembilan) pada bagian
penjelasan umum dari UUPTPPO bahwa TPPO merupakan tindak kejahatan/misdrijven dan bukan pelanggaran/overtredingen.
Percobaan Melakukan
Tindak Pidana Beserta Syaratnya
Percobaan
merupakan usaha untuk mencapai suatu tujuan, namun pada akhirnya tidak atau
belum tercapai (Wirjono Prodjodikoro, 2008:106). Istilah
percobaan ini pada perkembangannya pada lingkup ilmu hukum pidana, dimaknai secara
sama substansinya
dengan
istilah poging
yang berasal dari bahasa Belanda, yang berarti percobaan
melakukan tindak pidana.
Istilah poging
atau kalimat
percobaan
melakukan tindak pidana ini
dipergunakan dalam ilmu hukum pidana untuk menjelaskan suatu peristiwa
pidana (kejahatan/misdrijven maupun pelanggaran/overtredingen),
dimana adanya niat dari pelaku untuk melakukan suatu tindak pidana dan permulaan
pelaksanaan dari tindak pidana tersebut telah dilakukan, akan tetapi tindak
pidana dimaksud tidak selesai pelaksanaannya karena kehendak dari luar pelaku.
Ilmu hukum pidana
mengajarkan bahwa tidak semua percobaan melakukan tindak pidana (poging) yang dilakukan oleh setiap
orang, dapat dipidana. Percobaan melakukan tindak pidana dengan kualifikasi
pelanggaran (overtredingen), tidak dipidana.
Hanya percobaan
melakukan tindak pidana (termasuk TPPO) yang berkualifikasi kejahatan (misdrijven) saja yang dapat dipidana. Itupun menurut R. Soesilo
(1995:69), harus memenuhi
syarat-syarat, sebagai berikut: Syarat pertama adalah adanya niat (voornemen). Menurut Moeljatno (1983:18), niat merupakan sikap batin
seseorang yang memberikan arah kepada apa yang akan diperbuatnya.
Pengertian niat
yang disampaikan oleh Moeljatno ini masih dalam tataran gramatikal dan belum
bermakna apapun dari aspek hukum. Menurut Adami Chazawi (2005:362), suatu niat
baru bermakna hukum dan menjadi hal yang harus dipertimbangkan sebagai syarat
dalam tindak pidana percobaan (poging), jika niat
dalam pengertian tata bahasa telah dihubungkan dengan suatu rumusan tindak
pidana, atau setidaknya dipadukan dengan syarat untuk dapat dipidananya
melakukan percobaan kejahatan.
Sederhannya,
niat dalam konteks percobaan melakukan tindak pidana baru bisa ditemukan makna
hukumnya, setelah dicari hubungannya dengan kalimat sebelumnya (melakukan
kejahatan dipidana) dan kalimat sesudahnya (telah ternyata dari adanya
permulaan pelaksanaan) dari rumusan suatu delik.
Niat dalam
konteks percobaan melakukan tindak pidana, oleh kebanyakan pakar hukum pidana
dipandang memiliki pemaknaan yang sama dengan kehendak atau maksud atau
kesengajaan (baik itu kesengajaan sebagai maksud atau tujuan; kesengajaan
sebagai kepastian; maupun kesengajaan
sebagai kemungkinan) dan hanya terjadi terhadap setiap tindak pidana yang unsur
subyektifnya dapat ditandai dengan kata-kata “dengan maksud” atau “dengan
sengaja”. Hal ini disebabkan karena para pakar dimaksud selalu berpedoman dan
berpegang teguh pada penjelasan KUHPidana Belanda atau yang lebih dikenal
dengan Memori Van Toelichting.
Berbeda dengan
para ahli lainnya, Moeljatno (1985:21-22) berpendapat bahwa jika niat disamakan
dengan kesengajaan (dolus), maka niat
tersebut hanya merupakan kesengajaan sebagai maksud/tujuan dan bukan
kesengajaan sebagai kepastian ataupun kesengajaan sebagai kemungkinan.
Alasannya adalah niat secara potensial bisa berubah menjadi kesengajaan apabila
sudah di tunaikan menjadi perbuatan yang dituju. Artinya, semua perbuatan yang
diperlukan dalam kejahatan telah dilakukan, tetapi akibat yang dilarang tidak
timbul.
Moeljatno
(1985:22) juga menjelaskan bahwa kalau belum semua niat ditunaikan menjadi
perbuatan, maka niat masih ada dan merupakan sifat batin yang memberi arah
kepada tindak percobaan/poging. Oleh karena niat tidak sama dan tidak
bisa disamakan dengan kesengajaan, maka isinya niat jangan diambil dari sisi
kejahatannya dan karenanya diperlukan pembuktian tersendiri bahwa isinya niat
yang tertentu sudah ada sejak niat tersebut belum diwujudkan menjadi perbuatan
(Moeljatno, 1985:22).
Dalam konteks
penegakan hukum terkait dengan kasus TPPO, idealnya niat ini dipahami dalam
arti yang luas dan mencakup kesengajaan sebagai maksud atau tujuan, kesengajaan
sebagai kepastian dan kesengajaan sebagai kemungkinan. Dasar pikirnya adalah
selain sesuai dengan banyak yurisprudensi yang ada, pemaknaan niat secara luas
akan lebih menjamin tidak akan lolosnya pelaku TPPO dari jeratan hukum.
Syarat Kedua ialah adanya permualaan
pelaksanaan (begin van uitvoering). Permulaan pelaksanaan merupakan
syarat yang sangat penting diketahui untuk menentukan apakah telah terjadi
suatu percobaan melakukan tindak pidana/kejahatan atau belum. Karena, dalam
pandangan hukum pidana niat saja tidak cukup
untuk menuntut seseorang mempertangungjawabkan atas tercelanya sikap
batin pelaku. Secara faktual, niat yang belum diimplementasikan dalam suatu
bentuk perbuatan belum ada keberbahayaan terhadap kepentingan hukum yang
dilindungi oleh Undang-Undang.
Dalam proses
penegakan hukum, permulaan pelaksanaan (uitvoeringshandeling) harus
dibedakan
dari perbuatan persiapan (voorbereidingshandeling). Karena yang
dapat dipidana menurut
UUPTPPO, KUHPidana maupun produk hukum pidaana lainnya, hanyalah
permulaan
pelaksanaan (uitvoeringshandeling).
Sedangkan, jika masih
merupakan perbuatan persiapan (voorbereidingshandeling) untuk mulai
berbuat, tidak
dapat
dipidana.
Untuk membedakannya, Secara sederhana, permulaan pelaksanaan (uitvoeringshandeling) dapat dibedakan dari
suatu perbuatan persiapan (voorbereidingshandeling) berdasarkan proses
atau tata urutan suatu peristiwa pidana.
R. Soesilo
(1995:69-70), menjelaskan bahwa suatu perbuatan sudah boleh dikatakan sebagai
permulaan pelaksanaan (uitvoeringshandeling), apabila pelaku telah
mulai melakukan suatu anasir atau elemen dari peristiwa pidana. Jika pelaku
belum memulai dengan melakukan suatu anasir atau elemen ini, maka perbuatannya
itu masih harus dipandang sebagai perbuatan persiapan (voorbereidingshandeling).
Permulaan
pelaksanaan pada dasarnya merupakan permulaan pelaksanaan dari kejahatan yang dilakukan
pelaku sejalan dengan niatnya, bukan permulaan pelaksanaan dari niat (P. A. F. Lamintang, 2013:564). Menurut
Moeljatno (1985:28-29), yang harus diperhatikan dalam menentukan adanya
permulaan pelaksanaan dalam delik percobaan, yaitu sifat atau inti dari delik (bestanddeel delict) percobaan dan
sifat atau inti dari delik (bestanddeel delict) pada umumnya.
Karenanya, permulaan pelaksanaan
dalam delik percobaan harus memenuhi 3 (tiga) syarat, yaitu: (1). Secara
Obyektif, apa yang telah dilakukan pelaku harus mendekatkan kepada
delik/kejahatan yang dituju atau dengan kata lain, harus mengandung potensi
untuk mewujudkan delik tersebut; (2). Secara Subyektif (dipandang dari sudut
niat
pelaku),
harus tidak ada keraguan lagi bahwa yang telah dilakukan oleh pelaku itu
ditujukan atau diarahkan pada delik/kejahatan yang tertentu tadi; (3). Bahwa
apa yang telah dilakukan oleh pelaku itu merupakan perbuatan yang bersifat
melawan hukum.
Syarat Ketiga adalah pelaksanaan
kejahatan tidak
selesai bukan karena kehendak pelaku sendiri. Salah satu poin
esensial dari syarat
ketiga ini adalah terkait dengan pelaksanaan kejahatan yang tidak selesai. Indikator dari pelaksanaan
kejahatan yang tidak selesai, bertumpu pada belum selesainya kejahatan yang
dituju.
Adami Chazawi
(2005:368), menjelaskan bahwa syarat terkait dengan pelaksanaan kejahatan yang
tidak selesai pada tindak pidana
formil,
berbeda
dengan sayarat
pada tindak
pidana materil. Dalam tindak
pidana formil, indikator selesainya semata-mata pada penyelesaian perbuatan
yang menjadi unsur tindak pidana. Bila perbuatan yang dilarang telah selesai
dilakukan, maka selesailah tindak pidana formil dan bila tidak terselesaikan
perbuatan ini, maka disebut pelaksanaan kejahatan tidak selesai.
Berlainan
dengan pelaksanaan kejahatan yang tidak selesai pada tindak pidana formil,
selesainya suatu tindak pidana materil adalah diisyaratkan timbulnya akibat
dari wujud perbuatan (Adami Chazawi, 2005:368).
Artinya, indikator dari pelaksanaan selesai dan tidak selesai dalam suatu
tindak pidana materil, harus berpatokan pada akibat perbuatan dan bukan pada
wujud perbuatan. Pelaksanaan selesai dalam arti kejahatan telah sempurna pada
tindak pidana materil, apabila dari wujud perbuatan yang dilakukan telah
menimbulkan akibat yang terlarang.
Poin penting
lainnya yang menjadi titik berat pada syarat ketiga untuk dapat dipidananya
percobaan melakukan tindak pidana yang berkualifikasi kejahatan ialah tidak
selesainya pelaksanaan kejahatan, disebabkan oleh hal diluar kehendak pelaku.
Artinya, apabila tidak
selesainya pelaksanaan suatu TPPO disebabkan oleh kehendak dari pelaku, maka secara a contrario (penafsiran hukum secara terbalik/kebalikan) pelaku harus tidak dipidana. Karenanya, memastikan apakah memang
benar tidak selesainya perbuatan yang dikehendaki itu berasal dari kehendak
pelaku dengan sukarela atau karena kehendak dari luar pelaku adalah hal yang sangat penting.
Menurut E. Y. Kanter dan
S. R. Sianturi
(2012:324-325), yang dimaksud dengan kehendak dari luar pelaku adalah setiap
keadaan baik badaniah (fisik) maupun rohaniah (psikis) yang datang dari luar
yang menghalang atau menyebabkan tidak sempurna terselesaikan suatu kejahatan.
Konkritnya, Barda Nawawi Arief (1984:15), menguraikan bahwa tidak selesainya
pelaksanaan kejahatan yang dituju bukan karena kehendak sendiri, dapat terjadi
dalam hal-hal sebagai berikut: (1). Adanya penghalang fisik; (2). Walaupun
tidak ada penghalang fisik, tetapi tidak selesainya itu disebabkan karena akan
adanya penghalang fisik; dan (3). Adanya
penghalang yang disebabkan oleh faktor-faktor/keadaan-keadaan khusus pada objek
yang menjadi sasaran.
Terkait dengan syarat
ketiga dari tindak percobaan, yakni: “pelaksanaan
kejahatan tidak selesai
bukan karena kehendak pelaku sendiri”, Barda Nawawi Arief (1984:28) berpendapat bahwa kehendak
sendiri adalah pengunduran diri secara suka rela yang dapat saja dilakukan
karena takut berdosa, rasa kasihan pada korban, takut masuk penjara dan
lain-lain. Menurut Barda Nawawi Arief (1984:28) terdapat 2 (dua) teori yang menjelaskan tentang
tidak selesainya perbuatan karena kehendak sendiri. Pertama, pengunduran diri
secara sukarela (rucktritt), yaitu
tidak menyelesaikan perbuatan pelaksanaan yang diperlukan untuk delik yang bersangkutan.
Kedua, Tindakan penyesalan (tatiger reue), yaitu meskipun perbuatan
pelaksanaan sudah diselesaikan, tetapi dengan sukarela menghalau timbulnya
akibat mutlak untuk delik tersebut.
Mengacu pada
ketiga syarat terkait poging atau
percobaan melakukan tindak pidana yang berkualifikasi kejahatan, yakni: adanya
niat, adanya permulaan pelaksanaan dan bukan Karena kehendak pelaku sendiri, maka
dapat dipastikan bahwa: Pertama, percobaan melakukan tindak pidana yang
berkualifikasi kejahatan (poging) tidak dapat
terjadi pada tindak pidana pasif (delik ommsionis), sebab tindak pidana ommisionis unsur perbuatannya adalah berupa tidak berbuat, yang
dengan tidak berbuat itu melanggar suatu kewajiban hukumnya. Sedangkan
pada percobaan
melakukan tindak pidana yang berkualifikasi kejahatan, harus ada permulaan pelaksanaan yang in casu harus berbuat.
Kedua, percobaan melakukan tindak pidana yang
berkualifikasi kejahatan (poging) yang dapat dipidana hanya pada tindak pidana kesengajaan
(dolus) dan tidak mungkin pada tindak
pidana kealpaanan (culpa). Karena
isitilah niat adalah artinya kesengajaan, yang mengenai tindak pidananya
disadari dan atau dikehendaki. Sedangkan kealpaan adalah sikap bathin yang
ceroboh, tidak berhati-hati atau tidak memiliki dan menggunakan
pemikiran yang cukup baik mengenai perbuatannya amupun akibatnya, sehingga
melahirkan suatu tindak pidana culpa.
Dasar Pemidanaan
Poging dalam UUPTPPO
Pada dasarnya setiap orang akan
dipidana karena melakukan TPPO, jika melakukan perbuatan yang memenuhi semua unsur dari suatu rumusan
delik yang terdapat dalam undang-undang. itu dipidana
karena melakukan suatu tindak pidana atau delik. Walaupun demikian, terdapat
pengecualian terkait dengan percobaan melakukan TPPO karena
memiliki sifat yang berbeda.
Ada 3 (tiga) teori yang menjelaskan mengapa
suatu percobaan melakukan tindak pidana yang berkualifikasi kejahatan (termasuk
TPPO), walaupun perbuatannya tidak selesai dilakukan karena ada faktor dari luar
kehendak pelaku,
namun pelakunya harus dipidana. Ketiga teori tersebut adalah: Pertama, teori subjektif
yang penekanannya pada pelaku atau subjek yang melakukan percobaan tindak
pidana, dan oleh karena itulah teori ini disebut sebagai teori subjektif. Menurut P. A. F. Lamintang (2013:557), teori subjektif mengajarkan bahwa seseorang yang melakukan suatu percobaan untuk melakukan
suatu kejahatan itu pantas dihukum, oleh karena orang tersebut telah
menunjukkan perilaku yang tidak bermoral, yang bersifat jahat ataupun yang bersifat berbahaya. Teori
subjektif yang mengajarkan dasar patut dipidananya percobaan terletak pada sikap batin atau watak
yang berbahaya dari pelaku.
Kedua, teori
objektif yang menjelaskan bahwa dasar patut dipidananya percobaan, terletak pada sifat berbahayanya perbuatan yang dilakukan oleh pelaku.
Teori objektif ini menjadikan
perbuatan atau tindakan dari si pelaku
sebagai dasar argumennya, dan oleh karena itu paham mereka juga disebut sebagai
paham objektif. Teori objektif
mengajarkan bahwa seseorang yang melakukan
suatu percobaan untuk melakukan suatu kejahatan itu dapat dihukum oleh karena
tindakan-tindakannya bersifat membahayakan
kepentingan-kepentingan hukum (P. A. F. Lamintang, 2013:557). Teori objektif ini terbagi dalam
2 (dua) aliran pemikiran, yakni: teori obyektif-formil, yang menitik beratkan sifat
berbahayanya perbuatan itu terhadap tata hukum dan teori
obyektif-materiil dengan titik beratnya pada sifat berbahayanya perbuatan itu terhadap kepentingan hukum.
Ketiga, teori
campuran. Menurut Barda
Nawawi Arief (1984:3), teori campuran ini melihat dasar patut
dipidananya percobaan dari 2 (dua) segi, yaitu: niat untuk melakukan kejahatan tertentu (segi subjektif) dan kejahatan tersebut telah mulai dilaksanakan
tetapi tidak selesai (segi obyektif). Artinya,
dalam teori campuran tidak diperkenankan untuk memilih salah satu diantara teori objektif dan teori subjektif. Alasannya, apabila teori objektif dan teori subjektif dipakai secara murni akan
membawa kepada ketidakadilan karena akan
menyalahi 2 (dua) inti dari delik percobaan itu sendiri.
Walaupun
argumen yang dibangun oleh teori campuran ini jelas secara pengetahuan dan bisa
diterima oleh akal, namun pada tatataran praktek teori campuran ini belum
operasional untuk diterapkan sebagai dasar pemidanaan bagi setiap orang yang
melakukan percobaan untuk melakukan melakukan TPPO sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 10 UUPTPPO. Hal ini disebabkan karena konstruksi delik dalam UUPTPPO,
masih difokuskan untuk mempidanakan perbuatan/tindakan (teori objektif) atau
menghukum pelaku (teori subjektif) dan
tidak dirancang untuk mempidanakan perbuatan/tindakan (teori objektif) serta
menghukum pelaku (teori subjektif) secara sekaligus.
Poging Bukan Merupakan
Delik yang Berdiri Sendiri
Dihadirkannya
pasal terkait percobaan melakukan tindak pidana/TPPO dalam UUPTPPO adalah
sangat penting karena sifat berbahayanya TPPO terhadap kepentingan hukum. Bahkan, TPPO juga bisa dikategorikan sebagai
kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena
TPPO merupakan kejahatan yang bersifat transnasional terorganisasi dan didukung
teknologi modern di bidang komunikasi dan informatika. Selain itu, TPPO juga adalah kejahatan
tercela yang sangat merendahkan harkat dan martabat manusia sehingga sangat
dikutuk oleh masyarakat baik nasional maupun internasional.
Secara konseptual,
kehadiran pasal terkait percobaan melakukan tindak pidana/TPPO dalam UUPTPPO
dimaksudkan untuk memperluas dapat dipidananya perbuatan (tatbestandausdehnungsgrund) atau perluasan
berlakunya UUPTPPO tentang suatu TPPO. Argumennya
adalah walaupun setiap
orang
yang melakukan
TPPO dan perbuatan dimaksud tidak memenuhi semua unsur delik, namun tetap dapat
dipidana apabila perbuatannya
tersebut telah membahayakan
kepentingan hukum dan/atau sudah memenuhi rumusan syarat dari percobaan
melakukan TPPO (poging).
Konsekuensinya,
percobaan melakukan
TPPO (poging) harus dimaknai sebagai
delik yang sempurna, tetapi memiliki bentuk yang
khusus/istimewa dan merupakan delik tersendiri (delictum sui generis) yang tidak dapat
berdiri sendiri.
Pembenaran atas
argumen ini bisa ditemukan pada parktek hukum, dimana setiap orang
yang dipersalahkan karena melakukan suatu percobaan TPPO, haruslah
dituduhkan juga pasal terkait perbuatan yang dikehendaki. Dengan kata lain,
pasal tentang percobaan merupakan pasal yang harus diikutsertakan dalam surat
dakwaan bersama dengan pasal terkait perbuatan pidana yang tidak
terpenuhi, sebagai akibat dari tidak selesainya perbuatan pidana dimaksud (Paul
SinlaEloE, 2015:9-20).
Fakta ini
menunjukkan bahwa percobaan bukan merupakan delik yang berdiri sendiri, karena
pasal tentang percobaan tidak mungkin didakwakan secara mandiri tanpa dilengkapi
dengan delik
pokok.
Artinya, jika pihak Penegak Hukum ingin menjerat Alfons Fanus karena percobaan
melakukan TPPO
sebagaimana gambaran kasus diatas, maka Penegak Hukum tidak bisa hanya
mempergunakan Pasal 10 UUPTPPO saja, tanpa mempergunakan pasal utama terkait
dengan perbuatan pidana
yang
tidak terpenuhi seluruh unsurnya karena tidak selesainya perbuatan pidana dimaksud
akibat dari faktor diluar kehendak
pelaku.
Sebagai contoh, Penegak Hukum dapat menuntut pertanggungjawaban pidana
dari Alfons Fanus dengan mempergunakan Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 10
UUPTPPO, karena diduga telah melakukan percobaan untuk melakukan TPPO.
Sedangkan terkait dengan percobaan melakukan perdagangan anak, Alfons Fanus
dapat di jerat oleh Penegak Hukum dengan menggunakan Pasal 83 UU No. 35 Tahun 2014, Tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2002, Tentang Perlindungan Anak Jo. Pasal 10 UUPTPPO.
DAFTAR
BACAAN
A. BUKU:
1. Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Penerbit
Alumni, Bandung, 2005.
2. Barda Nawawi Arief, Sari Kuliah Hukum Pidana II, Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang, 1984.
3. E. Y. Kanter dan S. R. Sianturi. Asas-Asas
hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Penerbit Storia Grafika,
Jakarta, 2012.
4. Moeljatno, Perbuatan Pidana dan pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana,
Penerbit Bina Aksara, Jakarta, 1983.
5. Moeljatno, Hukum Pidana: Delik-Delik Percobaan - Delik-Delik Penyertaan,
Penerbit Bina Aksara, Jakarta, 1985.
6. Paul SinlaEloE, Memahami Surat Dakwaan, Penerbit Perkumpulan Pengembangan
Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR NTT), Kota Kupang, 2015.
7. P. A. F. Lamintang, Dasar-Dasar
Hukum Pidana Indonesia, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013.
8. Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR
NTT), Laporan Pendampingan Kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang, Kota
Kupang, Tahun 2013 s/d Tahun 2018.
9. R. Soesilo, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi
Pasal, Penerbit Politeia, Bogor, 1995.
10.
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Ke Satu, diperbanyak
oleh Balai Lektur Mahasisiwa, Jakarta, Tanpa Tahun.
11. Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Penerbit
Refika Aditama, Bandung, 2008.
B. PRODUK HUKUM
1. Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana/Wetboek van
Strafrecht.
2.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
21 Tahun 2007, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
3. Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014, Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002, Tentang Perlindungan Anak.
Tulisan ini merupakan hasil editing (Pengoreksian dan Penyempurnaan)
dari makalah berjudul: “Percobaan Melakukan Tindak Pidana Perdagangan
Orang” yang pernah dipresentasikan dalam diskusi terbatas, dengan Thema: “Menggugat Kinerja Penegak Hukum Dalam
Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang”, yang dilaksanakan oleh Perkumpulan
Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR-NTT), di Kantor PIAR NTT, Kota Kupang, pada tanggal 2 Agustus
2017.
Aktivis Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan
Advokasi Rakyat (PIAR NTT).