Korupsi secara leksikal adalah istilah dari bahasa latin, yakni “Corruptio/Corruptus” yang berari kerusakan atau kebobrokan. (Soedjono Dwidjosisworo, 1984). Istilah korupsi ini pada abad pertengahan diadopsi kedalam bahasa Inggris, yakni “Corruption” dan bahasa Belanda, yaitu “Corruptie” untuk menjelaskan atau menunjuk kepada suatu perbuatan yang rusak, busuk, bejad, tidak jujur yang disangkutpautkan dengan keuangan. (Sudarto, 1986).
Istilah korupsi ini kemudian oleh para ahli dirumuskan definisinya sesuai dengan latar belakang dari yang merumuskan definisi tersebut. Walaupun sekarang ditemui banyak definisi korupsi yang jika dilihat dari struktrur bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai makna yang sama. Dalam definisi yang sangat luas, korupsi merupakan tingkah laku pejabat pemerintah yang melanggar batas-batas hukum untuk mengurus kepentingan sendiri dan merugikan orang lain. (Waterbury, 1994). Sedangkan untuk pengertian yang lebih dipersempit, Eep Saefulloh Fatah (1998), mendefinisikan korupsi sebagi penyelewengan uang negara untuk kepentingan pribadi, keluarga atau klik, melampaui batasbatas yang dibuat oleh hukum.
Kartono (1983) memberi batasan korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi, merugikan dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatankekuatan formal (misalnya denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri. Sementara itu, Mochtar Mas’oed (1994) berpendapat bahwa tindakan yang disebut korupsi adalah transaksi dimana satu pihak memberikan sesuatu yang berharga untuk memperoleh imbalan berupa pengaruh atas keputusan-keputusan pemerintah.
Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agaria mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiah dalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi. Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau partainya/ kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi.
Dari pemahaman dan dimensi baru mengenai kejahatan yang memiliki konteks pembangunan, Adji (1996) berpendapat bahwa pengertian korupsi seharusnya tidak lagi diasosiasikan dengan penggelapan keuangan negara saja. Tindakan bribery (penyuapan) dan kickbacks (penerimaan komisi secara tidak sah) juga dinilai sebagai sebuah kejahatan. Penilaian yang sama juga diberikan pada tindakan tercela dari oknum pemerintah seperti bureaucratic corruption atau tindak pidana korupsi, yang dikategorikan sebagai bentuk dari offences beyond the reach of the law (kejahatan-kejahatan yang tidak terjangkau oleh hukum). Banyak contoh diberikan untuk kejahatan-kejahatan semacam itu, misalnya tax evasion (pelanggaran pajak), credit fraud (penipuan di bidang kredit), embezzlement and misapropriation of public funds (penggelapan dan penyalahgunaan dana masyarakat), dan berbagai tipologi kejahatan lainnya yang disebut sebagai invisible crime (kejahatan yang tak terlihat), baik karena sulit pembuktiannya maupun tingkat profesionalitas yang tinggi dari pelakunya.
Di Indonesia, korupsi diartikan sebagi suatu penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain. (KBBI, 1995). Dalam prespektif yuridis, definisi korupsi telah jelas dan gamblang tertulis dalam 13 pasal dalam UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan 13 pasal tersebut, terdapat 30 rumusan tentang tindak pidana korupsi. Dari 30 rumusan tersebut, dikelompokkan menjadi menjadi 7 kelompok, yaitu: PERTAMA, KERUGIAN KEUANGAN NEGARA.Jenis tindak pidana korupsi ini bisa kita lihat pada pasal 2 dan pasal 3 UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Ada 2 (dua) rumusan dalam kelompok tindak pidana ini: Pertama,Melawan hukum untuk memperkaya diri dan dapat merugikan keuangan negara adalah korupsi. Kedua,Menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri dan dapat merugikan keuangan negara adalah korupsi.
KEDUA, SUAP MENYUAP.Jenis tindak pidana korupsi ini jelas termuat pada pasal 5 ayat (1) huruf a dan b, pasal 13, pasal 12 huruf a dan b, pasal 11, pasal 6 ayat (1) a dan b, pasal 6 ayat (2), dan pasal 12 huruf c dan d UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ada 8 (delapan) rumusan dalam kelompok suap menyuap: Pertama,Menyuap pegawai negeri adalah korupsi. Definisinya adalah setiap orang yang memberi sesuatu atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara agar supaya berbuat dan tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya sehingga bertentangan dengan kewajibannya. Selain itu menyuap pegawai negeri bisa dikatakan memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. Kedua,Memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya adalah korupsi. Definisinya adalah setiap orang yang memberi sesuatu atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan mengingat kekuasaan atau kewenangan yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap, melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut. Ketiga, Pegawai negeri yang menerima suap adalah korupsi. Jadi menyuap maupun yang disuap adalah dikategorikan sebagai korupsi. Keempat,Pegawai negeri yang menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya adalah korupsi. Jadi hampir mirip dengan rumusan di atas, hanya bedanya adalah pada kategori menerima hadiah, bukan memberi hadiah. Kelima,Menyuap hakim adalah korupsi. Hampir mirip dengan rumusan di atas, namun dalam konteks bahwa menyuap hakim untuk mempengaruhi putusan perkara. Keenam,Menyuap advokat adalah korupsi. Hampir sama dengan menyuap hakim namun dalam konteks untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili. Ketujuh,Hakim yang menerima suap adalah korupsi. Intinya adalah yang menyuap dan yang disuap adalah korupsi. Kedelapan,Advokat yang menerima suap adalah korupsi.
KETIGA, PEMERASAN. Jenis tindak pidana korupsi ini jelas termuat pada pasal 12 huruf e, g, dan f UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ada 2 (dua) rumusan dalam kelompok pemerasan: Pertama,Pegawai negeri memeras adalah korupsi. Definisinya adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain, yang secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya. Selain itu bisa dikatakan bahwa pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan hutang. Kedua, Pegawai negeri memeras pegawai negeri yang lain adalah korupsi. Definisinya adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang. Dua rumusan ini seringkali terjadi di sebagian lingkungan instansi pemerintah. Bagi mereka yang bekerja di instansi pemerintah pasti paham. Maka, perlu diwaspadai bahwa praktek-praktek pemotongan yang terjadi di instansi pemerintah bisa dijadikan temuan oleh KPK dan dianggap sebagai jenis tindak pidana korupsi.
KEEMPAT, PENGGELAPAN DALAM JABATAN.Jenis tindak pidana korupsi ini jelas termuat pada pasal 8, pasal 9, pasal 10 huruf a, b, dan c UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ada 5 (lima) rumusan dalam kelompok penggelapan dalam jabatan: Pertama,Pegawai negeri menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan adalah korupsi. Definisinya adalah pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut. Kedua,Pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi adalah korupsi. Definisinya adalah pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi. Keiga,Pegawai negeri merusakkan bukti adalah korupsi. Definisinya adalah pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya. Keempat, Pegawai negeri membiarkan orang lain merusakkan bukti adalah korupsi. Definisinya adalah pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya. Kelima,Pegawai negeri membantu orang lain merusakkan bukti adalah korupsi. Definisinya adalah pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya.
KELIMA, PERBUATAN CURANG.Jenis tindak pidana korupsi ini jelas termuat pada pasal 7 ayat (1) huruf a sampai dengan d, pasal 7 ayat (2) dan pasal 12 huruf h UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ada sekitar 6 (enam) rumusan dalam kelompok perbuatan curang: Pertama,Pemborong berbuat curang adalah korupsi. Definisinya adalah pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang. Kedua,Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang adalah korupsi. Definisinya adalah setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang. Ketiga,Rekanan TNI/Polri berbuat curang adalah korupsi. Definisinya adalah setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan TNI/Polri melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang. Keempat, Pengawas rekanan TNI/Polri membiarkan perbuatan curang adalah korupsi. Definisinya adalah setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan TNI/Polri dengan sengaja membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang. Kelima,Penerima barang TNI/Polri membiarkan perbuatan curang adalah korupsi. Definisinya adalah orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan TNI/Polri yang membiarkan membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang. Keenam,Pegawai negeri menyerobot tanah negara sehingga merugikan orang lain adalah korupsi. Definisinya adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
KEENAM, BENTURAN KEPENTINGAN DALAM PENGADAAN.Hanya terdapat satu rumusan dalam benturan kepentingan dalam pengadaan, yaitu pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurus adalah korupsi, yang terdapat dalam pasal 12 huruf i UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Definisinya adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya. KETUJUH, GRATIFIKASI.Sama halnya dengan benturan kepentingan dalam pengadaan, gratifikasi atau hadiah hanya memiliki satu rumusan, yaitu pegawai negeri menerima gratifikasi dan tidak lapor KPK adalah korupsi, yang terdapat dalam pasal 12 B jo. pasal 12C UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Rumusan definisi ini agak rumit, yaitu setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap menerima suap yang berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Namun rumusan ini tidak berlaku bila penerima gratifikasi melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
Dalam UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juga diatur tentang jenis tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Jenis tindak pidana tersebut adalah: Peratma, Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi.Jenis tindak pidana tersebut tertuang dalam pasal 21 UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.. Definisinya adalah setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi.
Kedua,Tersangka tidak memberikan keterangan mengenai kekayaannya. Jenis tindak pidana tersebut tertuang dalam pasal 22 UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dikaitkan dengan pasal 28 UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Definisinya adalah setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 UU no. 31 Tahun 1999 yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar tentang seluruh harta bendanya dan harta benda suami atau istri, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diketahui dan atau diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka. Ketiga,Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka. Jenis tindak pidana tersebut tertuang dalam pasal 22 UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dikaitkan dengan pasal 29 UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Definisinya hampir mirip dengan jenis tindak pidana sebelumnya, namun lebih mengarah pada pihak Bank yang diduga menyimpan harta benda hasil korupsi.
Keempat, Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu. Jenis tindak pidana tersebut tertuang dalam pasal 22 UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dikaitkan dengan pasal 35 UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Definisinya hampir mirip dengan jenis tindak pidana sebelumnya, namun lebih berkaitan dengan kesaksian atau saksi ahli. Kelima,Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu. Jenis tindak pidana tersebut tertuang dalam pasal 22 UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dikaitkan dengan pasal 36 UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Definisinya hampir mirip dengan jenis tindak pidana sebelumnya, namun lebih berkaitan dengan orang yang karena pekerjaan, harkat, martabat, atau jabatannya yang diwajibkan menyimpan rahasia. Hal ini dikecualikan bagi petugas agama yang menurut keyakinannya harus menyimpan rahasia.
Kenam,Saksi yang membuka identitas pelapor. Jenis tindak pidana tersebut tertuang dalam pasal 24 UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dikaitkan dengan pasal UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Definisinya adalah saksi yang dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.