KORUPSI DALAM PENGADAAN BARANG DAN JASA
Oleh. Paul SinlaEloE
Korupsi merupakan satu diantara sekian banyak persoalan yang menghambat pembangunan di Indonesia, berkaitan dengan upaya pemerintah dalam mewujudkan masyarakat yang adil didalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan. Salah satu lahan korupsi yang paling subur adalah sektor pengadaan barang dan jasa. Data Indonesia Procurment Watch (IPW) sejak tahun 2001 sampai dengan 2006 menunjukan bahwa setiap tahunnya hampir 60% pengeluaran belanja negara, digunakan untuk pengadaan barang dan jasa. Hasil pantauan dari IPW juga menemukan tingkat “kebocoran” disektor pengadaan barang dan jasa mencapa 10% - 50%. Hasil pantauan dari IPW ini belum termasuk anggaran yang dikelola oleh BUMN, Parastatal, Kontraktor Kemitraan dan Anggaran Pemerintah Daerah. Sementara itu, Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) berkaitan dengan kinerja dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sampai dengan Juni 2007, menunjukan bahwa dari 59 kasus dugaan korupsi yang ditangani oleh KPK, 33 kasus dugaan korupsi (56%) diantaranya adalah kasus dugaan korupsi di sektor pengadaan barang dan jasa.
Pada konteks NTT, data PIAR NTT menunjukan bahwa terdapat sejumlah kasus dugaan koupsi yang berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa yang sangat menarik perhatian publik, diantaranya: (Lihat tabel. 1).
Bertolak dari realita yang demikian, maka sudah sepantasnya pemberantasan korupsi disektor pengadaan barang dan jasa harus mendapat perhatian serius dari seluruh komponen bangsa. Apalagi sudah menjadi rahasia umum bahwa sekitar Rp. 240 Triliun dari total APBN 2007 sebesar Rp. 763 Triliun, direncanakan digunakan untuk belanja barang dan belanja modal yang menggunakan sistem pengadaan barang/jasa pemerintah. Pertanyaannya, mengapa pengadaan barang dan jasa sarat dengan praktik korupsi...?? Bagaimana Modus Operandinya...?? Dan bagaimanankah cara mengatsi persoalan korupsi dalam proses pengadaan barang dan jasa..???
Pengadaan barang dan jasa merupakan suatu aktivitas dari pemerintah dalam hal pengadaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sehubungan dengan fungsinya sebagai pelayan masyarakat. (Sarah Lery Mboeik, 2005). Menurut Nugraha (2003), ada 2 (dua) pertimbangan kenapa penadaan barang dan jasa harus dilakukan melalui tender. Pertama, supaya barang yang diperoleh sesuai dengan kebutuhan yang diharapkan. Baik itu dari segi kualitas maupun kuantitas dengan harga yang lebih bersaing. Kedua, barang dan jasa tersebut dapat diperoleh sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan (effisien dan effektif). Sedangkan Praya Arie Indrayana (2003) berpendapat bahwa keterbatasan akan keahlian dan ketrampilan specifik (Expert Skills) dari pegawai pemerintah merupakan alasan utama dilakukan tender.
Untuk pengadaan barang dan jasa, ada sejumlah metode yang menurut KEPPRES No. 80 Tahun 2003, boleh dipergunakan, yakni: metode lelang, metode pemilihan langsung, metode penunjukan langsung, metode swakelola dan metodeseleksi dengan persaingan. Dalam KEPPRES No. 80 Tahun 2003, juga dikenal beberapa tahapan yang harus dilalui berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa. Ironisnya, dari ke-15 (Lima Belas) tahapan ini, semua tahapannya sering terjadi penyimpangan-penyimpangan yang menyebabkan marak terjadinya korupsi disektor pengadaaan barang dan jasa. (Lihat Tabel. 2).
Selain penyimpanan-penyimpangan pada tabel ini, suap dan pemerasan menjadi modus paling dominan yang terjadi dalam setiap tahapan. Hal ini disebabkan karena nyatanya pembayaran ilegal untuk memenangi kontrak dan konsesi besar secara umum telah menjadi ajang bisnis para pejabat tinggi dan kontraktor.
Menurut Adnan Topan Husodo (2006), penyuapan dan pemerasan dalam proses pengadaan barang dan jasa dapat dideskripsikan sebagai mekanisme saling menukar sumber daya kekuasaan dan uang. Untuk itu, memandang korupsi pengadaan barang dan jasa tidak serta-merta hanya dianggap sebagai gejala penyimpangan yang dilakukan oleh aparatur birokrasi belaka, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari memperoleh sumber daya politik dan sumber daya ekonomi. Karena Secara alamiah, keinginan untuk tetap berkuasa ada pada diri setiap politikus. Tidak hanya mempertahankan, melainkan juga melanggengkan dan memperbesar pengaruh kekuasaannya. Dengan kepemilikan otoritas dan kekuasaan, mereka bisa menggunakannya untuk memperkuat posisi bisnis, sedangkan keuntungan dari bisnis itu digunakan untuk memperluas dan mempengaruhi kekuasaan. Dengan kata lain, korupsi pengadaan bukan saja bicara soal korupsi birokrasi, melainkan mempunyai korelasi yang erat dengan korupsi politik.
Secara teknis, Susan Rose-Ackerman (2006), berpendapat bahwa penyuapan dan pemerasan dalam proses pengadaan barang dan jasa dilakukan untuk mendapatkan beberapa tujuan, yakni: Pertama, perusahaan atau pengusaha rela membayar untuk bisa diikutsertakan dalam daftar prakualifikasi dan untuk membatasi peserta tender. Kedua, perusahaan juga rela membayar untuk mendapatkan informasi mengenai proyek dari orang dalam. Ketiga, pembayaran ilegal membuat pejabat dapat pengatur spesifikasi tender sehingga perusahaan yang membayar itu akan menjadi satu-satunya pemasok yang lolos prakualifikasi. Keempat, pembayaran ilegal itu dimaksudkan untuk memenangi kontrak. Ketika proses ini terjadi dalam satu kali putaran, konsekuensi yang harus diterima adalah adanya penggelembungan harga dan penurunan kualitas barang dan jasa yang dihasilkan.
Berkaiatan dengan fakta yang demikian, maka harus diakui bahwa keseluruhan Penyimpangan-penyimpangan sebagimana yang tertera dalam tabel diatas, disebabkan oleh lemahnya aturan mengenai pengadaan barang dan jasa. Untuk itu, ada beberapa gagasan dalam rangka menanggulangi persoalan korupsi disektor pengadaaan barang dan jasa, yakni: Pertama, MEMBENAHI KEMBALI SISTEM HUKUM PENGADAAN BARANG DAN JASA. Pengadaan barang dan jasa selama ini hanya diatur dalam KEPPRES. Didalam KEPPRES kesalahan prosedur pengadaan barang dan jasa belum atau tidak digolongkan sebagai tindak korupsi, sebelum atau asal tidak ada kerugian keuangan negara. Karenanya dalam rangka pemberantasan korupsi, sudah seharusnya pengadaan barang dan jasa diatur dengan Undang-Undang. Jika diatur dengan Undang-Undang, pelanggaran prosedur dan tidak ada kehati-hatian untuk memastikan kepatuhan hukum pada pelaksana proyek (Panitia Lelang, Pimpro, Benpro), Pengguna anggaran di daerah (Gubernur, Bupati/Walikota, Kepal Dinas/Badan/Kantor) dapat dipidana sebagi melangggar ketentuan Undang-Undang Pengadaan barang dan jasa serta dapat dituduh melanggar Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kedua, REFORMASI KEPANITIAAN TENDER. Sistem Pengadaan barang dan jasa yang ada telah menempatkan aparatur pemerintah (Pimpro/panitia pengadaan) hanya sebatas peran manajerial. Hal ini sesuai dengan alasan utama dilakukannya tender, yakni: Keterbatasan akan keahlian dan ketrampilan specifik (Expert Skills) dari pegawai pemerintah. Untuk itu, kedepan harus dipikirkan untuk dibuat aturan yang mengharuskan pihak diluar pegawai pemerintah (Orang-orang yang berkualitas dan berkompeten) untuk dapat menjadi panitia tender.
Ketiga, PENGAWASAN OLEH MASYARAKAT. Dalam KEPPRES mengatur bahwa unit pengawasan intern akan menampung dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat berkaitan dengan penyimpangan dalam pengadaan barang dan jasa, namun tidak diatur mekanisme bagaimana masyarakat dapat terlibat dalam pengawasan. Bagaimana masyarakat bisa mengetahui danya penyimpangan dalam pengadaaan barang dan jasa kalau masyarakat tidak di beri akses untuk mengawasi jalannya proses pengadaan. Harus mulai dipikirkan mekanisme pengawasan barang dan jasa: (1). Siapa yang boleh mengawasi? Apakah semua orang, asosiasi profesi atau asosiasi engusaha, atau siapa? (2). Mekanismenya seperti apa? Yang dapat menjamin bahwa proses pengadaan barang dan jasa dapat transparan bagi semua orang? (3). Kalau pengumuman lelang ditampilkan dalam media massa, mengapa hasil dan proses pelelangan juga tidak ditaampilkan di media Massa..??? (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian UMUM, ROTE NDAO POS, tanggal 29 November 2007).
---------------------
Penulis: Staf Div. Anti Korupsi PIAR NTT.
Bertolak dari realita yang demikian, maka sudah sepantasnya pemberantasan korupsi disektor pengadaan barang dan jasa harus mendapat perhatian serius dari seluruh komponen bangsa. Apalagi sudah menjadi rahasia umum bahwa sekitar Rp. 240 Triliun dari total APBN 2007 sebesar Rp. 763 Triliun, direncanakan digunakan untuk belanja barang dan belanja modal yang menggunakan sistem pengadaan barang/jasa pemerintah. Pertanyaannya, mengapa pengadaan barang dan jasa sarat dengan praktik korupsi...?? Bagaimana Modus Operandinya...?? Dan bagaimanankah cara mengatsi persoalan korupsi dalam proses pengadaan barang dan jasa..???
Pengadaan barang dan jasa merupakan suatu aktivitas dari pemerintah dalam hal pengadaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sehubungan dengan fungsinya sebagai pelayan masyarakat. (Sarah Lery Mboeik, 2005). Menurut Nugraha (2003), ada 2 (dua) pertimbangan kenapa penadaan barang dan jasa harus dilakukan melalui tender. Pertama, supaya barang yang diperoleh sesuai dengan kebutuhan yang diharapkan. Baik itu dari segi kualitas maupun kuantitas dengan harga yang lebih bersaing. Kedua, barang dan jasa tersebut dapat diperoleh sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan (effisien dan effektif). Sedangkan Praya Arie Indrayana (2003) berpendapat bahwa keterbatasan akan keahlian dan ketrampilan specifik (Expert Skills) dari pegawai pemerintah merupakan alasan utama dilakukan tender.
Untuk pengadaan barang dan jasa, ada sejumlah metode yang menurut KEPPRES No. 80 Tahun 2003, boleh dipergunakan, yakni: metode lelang, metode pemilihan langsung, metode penunjukan langsung, metode swakelola dan metodeseleksi dengan persaingan. Dalam KEPPRES No. 80 Tahun 2003, juga dikenal beberapa tahapan yang harus dilalui berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa. Ironisnya, dari ke-15 (Lima Belas) tahapan ini, semua tahapannya sering terjadi penyimpangan-penyimpangan yang menyebabkan marak terjadinya korupsi disektor pengadaaan barang dan jasa. (Lihat Tabel. 2).
Selain penyimpanan-penyimpangan pada tabel ini, suap dan pemerasan menjadi modus paling dominan yang terjadi dalam setiap tahapan. Hal ini disebabkan karena nyatanya pembayaran ilegal untuk memenangi kontrak dan konsesi besar secara umum telah menjadi ajang bisnis para pejabat tinggi dan kontraktor.
Menurut Adnan Topan Husodo (2006), penyuapan dan pemerasan dalam proses pengadaan barang dan jasa dapat dideskripsikan sebagai mekanisme saling menukar sumber daya kekuasaan dan uang. Untuk itu, memandang korupsi pengadaan barang dan jasa tidak serta-merta hanya dianggap sebagai gejala penyimpangan yang dilakukan oleh aparatur birokrasi belaka, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari memperoleh sumber daya politik dan sumber daya ekonomi. Karena Secara alamiah, keinginan untuk tetap berkuasa ada pada diri setiap politikus. Tidak hanya mempertahankan, melainkan juga melanggengkan dan memperbesar pengaruh kekuasaannya. Dengan kepemilikan otoritas dan kekuasaan, mereka bisa menggunakannya untuk memperkuat posisi bisnis, sedangkan keuntungan dari bisnis itu digunakan untuk memperluas dan mempengaruhi kekuasaan. Dengan kata lain, korupsi pengadaan bukan saja bicara soal korupsi birokrasi, melainkan mempunyai korelasi yang erat dengan korupsi politik.
Secara teknis, Susan Rose-Ackerman (2006), berpendapat bahwa penyuapan dan pemerasan dalam proses pengadaan barang dan jasa dilakukan untuk mendapatkan beberapa tujuan, yakni: Pertama, perusahaan atau pengusaha rela membayar untuk bisa diikutsertakan dalam daftar prakualifikasi dan untuk membatasi peserta tender. Kedua, perusahaan juga rela membayar untuk mendapatkan informasi mengenai proyek dari orang dalam. Ketiga, pembayaran ilegal membuat pejabat dapat pengatur spesifikasi tender sehingga perusahaan yang membayar itu akan menjadi satu-satunya pemasok yang lolos prakualifikasi. Keempat, pembayaran ilegal itu dimaksudkan untuk memenangi kontrak. Ketika proses ini terjadi dalam satu kali putaran, konsekuensi yang harus diterima adalah adanya penggelembungan harga dan penurunan kualitas barang dan jasa yang dihasilkan.
Berkaiatan dengan fakta yang demikian, maka harus diakui bahwa keseluruhan Penyimpangan-penyimpangan sebagimana yang tertera dalam tabel diatas, disebabkan oleh lemahnya aturan mengenai pengadaan barang dan jasa. Untuk itu, ada beberapa gagasan dalam rangka menanggulangi persoalan korupsi disektor pengadaaan barang dan jasa, yakni: Pertama, MEMBENAHI KEMBALI SISTEM HUKUM PENGADAAN BARANG DAN JASA. Pengadaan barang dan jasa selama ini hanya diatur dalam KEPPRES. Didalam KEPPRES kesalahan prosedur pengadaan barang dan jasa belum atau tidak digolongkan sebagai tindak korupsi, sebelum atau asal tidak ada kerugian keuangan negara. Karenanya dalam rangka pemberantasan korupsi, sudah seharusnya pengadaan barang dan jasa diatur dengan Undang-Undang. Jika diatur dengan Undang-Undang, pelanggaran prosedur dan tidak ada kehati-hatian untuk memastikan kepatuhan hukum pada pelaksana proyek (Panitia Lelang, Pimpro, Benpro), Pengguna anggaran di daerah (Gubernur, Bupati/Walikota, Kepal Dinas/Badan/Kantor) dapat dipidana sebagi melangggar ketentuan Undang-Undang Pengadaan barang dan jasa serta dapat dituduh melanggar Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kedua, REFORMASI KEPANITIAAN TENDER. Sistem Pengadaan barang dan jasa yang ada telah menempatkan aparatur pemerintah (Pimpro/panitia pengadaan) hanya sebatas peran manajerial. Hal ini sesuai dengan alasan utama dilakukannya tender, yakni: Keterbatasan akan keahlian dan ketrampilan specifik (Expert Skills) dari pegawai pemerintah. Untuk itu, kedepan harus dipikirkan untuk dibuat aturan yang mengharuskan pihak diluar pegawai pemerintah (Orang-orang yang berkualitas dan berkompeten) untuk dapat menjadi panitia tender.
Ketiga, PENGAWASAN OLEH MASYARAKAT. Dalam KEPPRES mengatur bahwa unit pengawasan intern akan menampung dan menindaklanjuti pengaduan masyarakat berkaitan dengan penyimpangan dalam pengadaan barang dan jasa, namun tidak diatur mekanisme bagaimana masyarakat dapat terlibat dalam pengawasan. Bagaimana masyarakat bisa mengetahui danya penyimpangan dalam pengadaaan barang dan jasa kalau masyarakat tidak di beri akses untuk mengawasi jalannya proses pengadaan. Harus mulai dipikirkan mekanisme pengawasan barang dan jasa: (1). Siapa yang boleh mengawasi? Apakah semua orang, asosiasi profesi atau asosiasi engusaha, atau siapa? (2). Mekanismenya seperti apa? Yang dapat menjamin bahwa proses pengadaan barang dan jasa dapat transparan bagi semua orang? (3). Kalau pengumuman lelang ditampilkan dalam media massa, mengapa hasil dan proses pelelangan juga tidak ditaampilkan di media Massa..??? (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian UMUM, ROTE NDAO POS, tanggal 29 November 2007).
---------------------
Penulis: Staf Div. Anti Korupsi PIAR NTT.