DAKWAAN TINDAK PIDANA
PERDAGANGAN ORANG BATAL DEMI HUKUM
Oleh. Paul SinlaEloE
Eksepsi atau keberatan/penolakan dari Penasihat Hukum Terdakwa Yosep Paragaye alias
Yosep, diterima dan surat dakwaan Penuntut Umum Nomor Reg. Perkara:
PDM-02/KEFAM/02/2017, tanggal 22 Maret 2017, batal demi hukum karena dakwaan Jaksa Penuntut Umum
(JPU) kabur, tidak memenuhi syarat formal dan materil. Itulah inti dari amar putusan sela terkait perkara Tindak Pidana
Perdagangan Orang (TPPO), yang di bacakan majelis hakim, pada sidang tanggal 28 April 2017 di Pengadilan
Negeri Kefamenanu.
Vonis batal demi hukum atas dakwaan Penuntut Umum Nomor Reg. Perkara:
PDM-02/KEFAM/02/2017, meninggalkan sejumlah
”tanda tanya” bagi masyarakat awam maupun korban beserta keluarganya. Tanggapan
dari para aktivis anti perdagangan orang dan pemerhati hukum diberbagai media
terkait dengan amar putusan sela ini adalah sangat beragam.
Keseluruhan tanggapan tersebut pada intinya mempertanyakan tentang: Pertama,
apakah JPU dari Kejaksaan Negeri Kefamenanu tidak mampu membuat suatu
surat dakwaan yang sempurna? Kedua, apakah terjadi kekeliruan penafsiran surat dakwaan oleh Majelis Hakim? Ketiga, apakah terjadi
proses negosiasi perkara
yang berimplikasi pada terjadinya korupsi dalam proses peradilan (judicial
corruption)?
Tulisan ini dibuat tidak dalam rangka untuk
mengkritisi dokumen dakwaan dari JPU ataupun menggugat materi putusan sela dari
Majelis Hakim. Tulisan ini dimaksudkan untuk membangun pemahaman bersama
tentang bagimana seharusnya menyusun suatu surat dakwaan yang sempurna dan
bagaimana modus korupsi dalam proses peradilan (judicial
corruption) terkait dengan penyusunan surat dakwaan.
Dalam tulisan ini akan dibahas juga tentang langkah-langkah yang harus
dilakukan oleh JPU terkait vonis batal demi hukum.
Surat
Dakwaan dan Judicial Corruption
Surat
Dakwaan (telastelegging) menempati
posisi sentral, strategis dan merupakan dasar dalam pemeriksaan perkara pidana
di pengadilan. Ditinjau dari berbagai kepentingan para pihak yang
berkepentingan dengan pemeriksaan perkara pidana, Paul SinlaEloE (2015:2)
berpendapat bahwa surat dakwaan berfungsi untuk: Pertama, Pengadilan/hakim. Surat dakwaan merupakan dasar dan
sekaligus membatasi ruang lingkup pemeriksaan, sebagai dasar melakukan
pemeriksaan di sidang pengadilan, dan dasar pertimbangan dalam penjatuhan
keputusan;
Kedua, Penuntut Umum. Surat dakwaan
merupakan dasar pembuktian, dasar melakukan penuntutan, dasar pembahasan
yuridis dalam requisitoir, dasar melakukan upaya hukum; Ketiga, Terdakwa/penasehat hukum. Surat dakwaan merupakan dasar
utama untuk mempersiapkan pembelaan dalam pledoi, dasar mengajukan bukti
meringankan, dasar mengajukan upaya hukum; Keempat,
Pemantau peradilan/masyarakat sipil, surat dakwaan merupakan dasar untuk
menilai kinerja penegak hukum dalam proses penegakan hukum.
Dengan
posisi surat dakwaan yang sangat penting (sentral dan strategis) dalam proses
penegakan hukum suatu tindak pidana (termasuk TPPO), maka tidaklah mengherankan
apabila dalam proses pembuatannya seringkali terjadi proses negosiasi perkara
yang berimplikasi pada terjadinya korupsi dalam proses peradilan (judicial corruption).
Menurut
Paul SinlaEloE (2015:3-4), pengalaman Pengembangan Inisiatif dan Advokasi
Rakyat (PIAR) Nusa Tenggara Timur dalam melakukan advokasi untuk membongkar
mafia peradilan, menemukan sejumlah modus korupsi dalam pembuatan surat
dakwaan, di antaranya: Pertama, pola utamanya adalah pengurangan
tuntutan dengan modus Jaksa akan menawarkan pada tersangka pasal apa yang akan
diterapkan kalau ingin tuntutan yang ringan dan konsekwensinya, tersangka harus
menyerahkan uang kepada Jaksa. Aktor dari modus ini adalah Jaksa, Penasehat
Hukum dan tersangka.
Kedua,
pola yang dipergunakan adalah melepaskan tersangka. Modus yang dipergunakan
adalah membuat dakwaan yang kabur (obscuur
libel) sehingga tersangka bisa bebas. Dengan demikian, tersangka akan
dibebaskan melalui pengadilan yang sah dan Jaksa/Penuntut Umum dan akan diberi
imbalan sesuai kesepakatan. Pada modus sepeti ini, Jaksa/Penuntut Umum dan
Penasehat Hukum yang menjadi aktornya.
Surat Dakwaan yang Sempurna
Dalam
proses penegakan hukum suatu tindak pidana, terdakwa hanya dapat dipidana
berdasarkan apa yang terbukti mengenai kualifikasi tindak pidana yang dilakukan
oleh seorang terdakwa menurut rumusan surat dakwaan (Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana/KUHAP).
Jadi walaupun terdakwa terbukti melakukan tindak pidana dalam pemeriksaan
persidangan tetapi tidak didakwakan dalam surat dakwaan, maka terdakwa dimaksud
tidak dapat dijatuhi hukuman dan hakim jadinya akan membebaskan terdakwa.
Bahkan menurut Pasal 191 ayat (2) KUHAP, jika pengadilan berpendapat
bahwa perbuatan yang didakwakan képada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu
tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa harus diputus lepas dari
segala tuntutan hukum (onslaag
van alle recht vervolging).
Berpijak pada aturan main yang demikian, maka
sudah seharusnya JPU yang adalah Jaksa pilihan dari institusi Kejaksaan dan
merupakan satu-satunya jabatan di Indonesia yang diberikan kewenangan oleh
negara untuk membuat surat dakwaan (Pasal 14 huruf d KUHAP), harus mampu membuat
suatu surat dakwaan yang sempurna. Sutau surat dakwaan dikatakan sempurna
apabila telah memenuhi syarat formil dan syarat materil serta diuraikan secara cermat, jelas dan lengkap. Apalagi dalam Pasal 143 ayat (2)
KUHAP dan Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor:
SE-004/JA/11/1993, Tentang Pembuatan Surat Dakwaan, telah diatur dengan cermat,
jelas dan lengkap bagaimana seharusnya suatu surat dakwaan dibuat.
Menurut Pasal 140 ayat (1) KUHAP, pembuatan surat dakwaan
dilakukan oleh Penuntut Umum bila ia berpendapat bahwa dari hasil penyidikan
dapat dilakukan penuntutan. Sesuai amanat Pasal 143 ayat (2) KUHAP, syarat formil dan syarat materil yang harus
terdapat dalam surat dakwaan adalah: Pertama,
Syarat Formil. Syarat formil yang harus dipenuhi atau
terdapat dalam suatu surat dakwaan, yakni harus terdapat tanggal dari surat
dakwaan, surat dakwaan harus ditandatangani oleh JPU dan wajib berikan identitas terdakwa/para terdakwa. Apabila
syarat formil yang terdapat dalam Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP tidak seluruhnya dipenuhi, maka surat dakwaan dapat
dibatalkan oleh hakim (vernietigbaar)
karena dinilai tidak jelas terhadap siapa dakwaan tersebut ditujukan.
Pentingnya pencantuman tanggal dalam surat
dakwaan diperlukan guna memenuhi syarat sebagai suatu akte/surat. Selain itu,
pencantuman tanggal dalam surat dakwaan sangat bermanfaat untuk mengantisipasi
terjadinya pembuatan surat dakwaan mendahului terjadinya suatu peristiwa
pidana. Surat dakwaan harus ditanda tangani oleh Penuntut Umum dalam
rangka memenuhi syarat sebagai suatu akte/surat. Alasan lainnya terkait dengan
surat dakwaan harus ditanda tangani oleh Penuntut Umum adalah untuk menunjukan
identitas dari pihak yang bertanggung jawab atas surat dakwaan, sekaligus
merupakan penegasan tentang pihak yang berwenang (Pasal 14 huruf d KUHAP) untuk menandatangai suatu surat dakwaan.
Syarat
formil lainnya yang wajib terdapat dalam surat dakwaan adalah identitas dari terdakwa/para terdakwa. Pentingnya identitas
dari terdakwa/para terdakwa
dalam suatu surat dakwaan adalah untuk menghindari agar orang yang
didakwa dan diperiksa di depan sidang pengadilan adalah benar-benar terdakwa
yang sebenarnya dan bukan orang lain (error in persona). Menurut Pasal 143 ayat (2) huruf a KUHAP, identitas dari terdakwa/para terdakwa yang harus terdapat
dalam surat dakwaan meliputi nama lengkap, tempat lahir, umur atau
tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan
terdakwa.
Kedua, Syarat Materil. Pasal 143
ayat (2) huruf b KUHAP, mengamanatkan
bahwa surat dakwaan harus memuat secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai
tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana
dilakukan oleh terdakwa. Jika syarat materil ini tidak dipenuhi, maka Pasal 143
ayat (3) KUHAP mengharuskan dakwaan dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvanklijk verklaard) dan batal
demi hukum (absolut niettig).
Walaupun
di dalam KUHAP tidak dijelaskan tentang apa yang dimaksud dengan istilah
cermat, jelas, dan lengkap, namun dalam penyusunan surat dakwaan JPU harus
berpedoman pada amanat yang terdapat dalam Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia
Nomor: SE-004/JA/11/1993, Tentang Pembuatan Surat Dakwaan, yakni: Pertama, Uraian Harus Lengkap. Uraian
harus lengkap adalah bahwa dalam menyusun surat dakwaan uraian surat dakwaan
harus mencakup semua unsur yang ditentukan secara lengkap. Jangan sampai
terjadi ada unsur delik yang tidak dirumuskan secara lengkap atau tidak
diuraikan perbuatan materilnya secara tegas dalam dakwaan, sehingga berakibat
perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana menurut undang-undang.
Kedua, Uraian Harus
Cermat. Cermat yang dimaksud di sini adalah ketelitian
JPU dalam mempersiapkan surat dakwaan yang didasarkan undang-undang yang
berlaku bagi terdakwa, serta tidak terdapat kekurangan dan atau kekeliruan yang
dapat mengakibatkan batalnya surat akwaan atau tidak dapat dibuktikan. Dengan
kata lain, JPU diharuskan untuk bersikap teliti dengan semua hal yang
berhubungan dengan keberhasilan penuntutan perkara di persidangan, di
antaranya: (a) apakah ada pengaduan
dalam hal delik khusus atau tindak pidana umum?; (b) apakah penerapan hukumnya sudah tepat?; (c) apakah terdakwa dapat diminta pertanggungjawaban dalam suatu
tindak pidana; (d) apakah tindak
pidana tersebut belum atau sudah daluwarsa; (e) apakah tindak pidana yang didakwakan itu tidak nebis in idem, yakni terdakwa diadili
lebih dari satu kali atas satu perbuatan kalau sudah ada keputusan yang
menghukum atau membebaskannya.
Ketiga,
Uraian Harus Jelas. Uraian yang jelas dan mudah
dimengerti dengan cara menyusun redaksi yang mempertemukan fakta-fakta
(perbuatan materil) terdakwa dengan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan,
sehingga terdakwa atau penasehat hukum yang mendengar atau membacanya akan
mengerti dan mendapatkan gambaran tentang: (a)
siapa yang melakukan tindak pidana; (b) tindak
pidana apa yang dilakukan; (c) kapan
dan di mana tindak pidana tersebut dilakukan; (d) apa akibat yang ditimbulkan; dan (e) mengapa terdakwa melakukan tindak pidana itu. Uraian
komponen-komponen tersebut disusun secara sistematik dan kronologis dengan
bahasa yang sederhana. Hal ini dimaksudkan untuk para pihak yang terlibat dalam
berperkara dapat mengetahui secara jelas, apakah unsur yang diuraikan tersebut
sebagai tindak pidana dengan kualifikasi, misalnya penipuan atau penggelapan
atau pencurian, dsb.
Dalam
kejelasan terkait uraian pada surat dakwaan, harus diperincikan juga secara
jelas dan tegas tentang apakah terdakwa dalam melakukan tindak pidana yang
didakwakan tersebut dalam kapasitas sebagai pelaku (dader) dengan peran: Orang yang melakukan (pleger), orang yang menyuruh melakukan (doenpleger), orang yang turut serta melakukan (medepleger), orang yang menganjurkan untuk melakukan (uitlokker), atau hanya sebagai pembantu
melakukan (medeplichting). Khusus
untuk kasus TPPO harus cermati juga apakah terdakwa merupakan subjek hukum yang
berkategori pelaku dengan peran sebagai orang yang merencanakan melakukan (ontwerpen) suatu tindak pidana.
Putusan Sela dan Perlawanan JPU
Putusan sela (interim
meascure) adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim sebelum memeriksa
substansi atau pokok perkara. Materi putusan sela hanya terkait dengan aspek
kesempurnaan dari suatu surat dakwaan yang telah disyaratkan dalam produk hukum
acara pidana. Putusan sela merupakan bagian dari mekanisme kontrol terhadap
kinerja Jaksa/Penuntut Umum, yang mana dimaksudkan agar mereka tidak gegabah
dalam membuat surat dakwaan, dalam mengajukan suatu tuntutan atau dalam
melakukan suatu penyidikan. Dalam Praktik pemeriksaan perkara pidana, putusan
sela biasanya dijatuhkan karena adanya eksepsi (keberatan/penolakan atas
dakwaan) dari terdakwa atau Penasihat Hukumnya.
Terhadap eksepsi yang
disampaikan terdakwa maupun penasihat hukumnya, hakim dapat menjatuhkan putusan
sela berupa: Pertama, putusan yang
berisi pernyataan tentang tidak berwenangnya pengadilan untuk mengadili suatu
perkara (onbevoegde verklaring). Sesuai dengan pasal 148 ayat (1) dan
ayat (2) KUHAP, perkara tersebut diserahkan kembali kepada penuntut umum untuk
selanjutnya dilimpahkan kepada pengadilan negeri di wilayah yang berhak untuk
mengadilinya. Kedua, putusan yang
menyatakan bahwa surat dakwaan penuntut umum batal (nietig) karena tidak memenuhi syarat formil yang terdapat dalam 143
ayat (2) huruf a KUHAP atau putusan
dinyatakan batal demi hukum karena tidak memenuhi syarat materil yang terdapat
dalam 143 ayat (2) huruf b KUHAP.
Ketiga, putusan yang berisi pernyataan bahwa
surat dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima (niet ontvelijk verklaard),
misalnya karena perkara yang diajukan oleh penuntut umum sudah daluarsa, nebis in idem, perkara memerlukan syarat
aduan (klacht delict). Keempat, Putusan yang berisi penundaan pemeriksaan perkara oleh karena ada
perselisihan prejedusiel (perselisihan kewenangan), karena di dalam
perkara yang bersangkutan diperlakukan untuk menunggu suatu putusan hakim
perdata. Kelima, putusan yang
menyatakan bahwa keberatan dari terdakwa atau penasihat hukumnya tidak dapat
diterima atau hakim berpendapat bahwa hal tersebut baru diputus setelah selesai
pemeriksaan perkara a quo, maka
dakwaan penuntut umum dinyatakan sah dan persidangan dapat dilanjutkan untuk
pemeriksaan materi pokok perkara, sesuai degan ketentuan dalam Pasal 156 ayat
(2) KUHAP.
Dalam kaitannya dengan vonis putusan sela yang menyatakan bahwa
dakwaan Penuntut Umum Nomor Reg. Perkara:
PDM-02/KEFAM/02/2017, tanggal 22 Maret 2017 adalah batal demi hukum,
maka sudah seharusnya JPU mengajukan upaya hukum berupa perlawanan (verzet) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 156 ayat (3) KUHAP.
Apalagi dalam amar putusan sela atas kasus TPPO dengan nomor perkara
7/Pid.Sus/2017/PN Kfm, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kefamenanu juga memerintahkan mengembalikan berkas perkara ini kepada
Penuntut Umum; memerintahkan terdakwa dibebaskan dari tahanan segera setelah
putusan ini diucapkan; dan membebankan biaya perkara kepada Negara.
Perlawanan (verzet)
sebagai upaya hukum dari JPU atas putusan sela yang menyatakan bahwa dakwaan Penuntut Umum Nomor Reg. Perkara:
PDM-02/KEFAM/02/2017, tanggal 22 Maret 2017 adalah batal demi hukum, pada dasarnya bertujuan untuk membuktikan apakah
dakwaan JPU memang lemah atau terjadi kekeliruan penafsiran oleh majelis hakim.
Mekanismenya adalah JPU mengajikan perlawanan
(verzet) ke Pengadilan Tinggi, melalui Pengadilan Negeri dimana perkara
tersebut diperiksa. Walaupun upaya hukum perlawanan (verzet) ini
diperiksa oleh Pengadilan Tinggi, namun upaya hukum perlawanan (verzet)
tidaklah sama dengan upaya hukum banding.
Secara sederhana Yahya Harahap (2002:456-457) menjelaskan bahwa anatara upaya
hukum perlawanan (verzet) dengan upaya hukum banding, memiliki beberapa
perbedaan pokok, yaitu: Pertama,
upaya perlawanan bersifat insidentil karena disediakan oleh Undang-Undang dalam
hal-hal tertentu. Kedua, upaya
perlawanan tidak ditujukan terhadap putusan akhir. Ketiga, upaya perlawanan hanya dapat diajukan terhadap putusan atau
penetapan Pengadilan Negeri yang berkaitan dengan perlawanan tersangka atau
penasehat hukum terhadap perpanjangan penahanan (Pasal 29 ayat (2) KUHAP),
perlawanan Penuntut Umum atas penetapan pengadilan negeri tentang tidak
berwenang mengadili (Pasal 154 ayat (1) KUHAP); dan perlawanan terhadap putusan
eksepsi sesuai dengan ketentuan Pasal 156 KUHAP. Keempat, proses pemeriksaan perlawanan sangat sederhana jika
dibandingkan dengan pemeriksaan perkara di tingkat banding.
DAFTAR RUJUKAN
1. Paul
SinlaEloE, Memahami Surat Dakwaan,
Penerbit Perkumpulan Pengembangan
Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR NTT), Kota Kupang, 2015.
2. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Penerbit Sinar
Grafika, Jakarta, 2002.
3. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 8 tahun 1981, Tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
4. Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor:
SE-004/JA/11/1993, Tentang Pembuatan Surat Dakwaan.
5. Dokumen Putusan Sela atas Perkara Nomor
7/Pid.Sus/2017/PN Kfm, tanggal 28 April 2017.
6. Dokumen Surat Dakwaan Nomor
Reg. Perkara: PDM-02/KEFAM/02/2017, tanggal 22 Maret 2017.
-------------------------------------------------------------
KETERANGAN:
1.
Penulis
adalah Aktivis PIAR NTT
2. Tulisan ini merupakan hasil editing (Pengoreksian dan
Penyempurnaan) dari
makalah berjudul: Kinerja Jaksa Dalam Perkara Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang
dipresentasikan dalam diskusi terbatas “Peranan Jaksa Dalam
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang”, yang dilaksanakan oleh Lembaga Advokasi
Masyarakat Sipil Cendana Wangi (Lakmas CW - NTT), di Kantor Lakmas CW - NTT, Kefamenanu, pada tanggal 2 Mei 2017.