KORUPSI DILEGALKAN...???
Oleh. Paul SinlaEloE
Oleh. Paul SinlaEloE
Dengan sengaja tulisan ini diawali dengan satu kalimat tanya yang ”Bombastis”, dengan maksud untuk menggugat sekaligus menggugah para aparat penegak hukum untuk lebih serius dalam melakukan penegakan hukum terhadap suatu tindak korupsi. Hal ini bertolak dari asusmsi bahwa tingginya tingkat korupsi di Indonesia (NB: Termasusk di Nusa Tenggara Timur) tidak terlepas dari lemahnya proses penegakan hukum. Kelemahan ini baik secara sadar maupun tidak sadar, sering menjadi celah bagi para koruptor lepas bahkan bebas dari jeratan hukum.
Strategi ”canggih” yang sering dipergunakan oleh para para koruptor adalah membuat dan atau mendorong terbentuknya suatu produk peraturan perundangng-undangan untuk melegitimasi perbutan mereka yang diduga sebagai tindak korupsi. Padahal, dari sisi materi peraturan, terdapat banyak penyimpangan (Corrupt), baik terhadap peraturan yang lebih tinggi maupun dari aspek normatif lainnya seperti rasa keadilan, kepantasan umum atau kelaziman. Karena dipayungi dalam bentuk peraturan, korupsi jenis ini sering disebut sebagai korupsi yang dilegalkan atau legalisasi korupsi.
Bertolak dari argumen yang demikian, maka dalam tulisan ini akan difokuskan untuk mencermati indikasi terjadinya legalisasi korupsi dalam kasus Dana Tunjangan Komunikasi Insentif (TKI) dan Dana Penunjang Operasional (DPO) Pimpinan dan Anggota DPRD periode 2004-2009. Tulisan ini merupakan pendidikan hukum kritis bagi setiap orang yang peduli terhadap persoalan korupsi, sekaligus diharapkan dapat menjadi masukan bagi aparat penegak hukum dalam menegakan kasus korupsi.
Strategi ”canggih” yang sering dipergunakan oleh para para koruptor adalah membuat dan atau mendorong terbentuknya suatu produk peraturan perundangng-undangan untuk melegitimasi perbutan mereka yang diduga sebagai tindak korupsi. Padahal, dari sisi materi peraturan, terdapat banyak penyimpangan (Corrupt), baik terhadap peraturan yang lebih tinggi maupun dari aspek normatif lainnya seperti rasa keadilan, kepantasan umum atau kelaziman. Karena dipayungi dalam bentuk peraturan, korupsi jenis ini sering disebut sebagai korupsi yang dilegalkan atau legalisasi korupsi.
Bertolak dari argumen yang demikian, maka dalam tulisan ini akan difokuskan untuk mencermati indikasi terjadinya legalisasi korupsi dalam kasus Dana Tunjangan Komunikasi Insentif (TKI) dan Dana Penunjang Operasional (DPO) Pimpinan dan Anggota DPRD periode 2004-2009. Tulisan ini merupakan pendidikan hukum kritis bagi setiap orang yang peduli terhadap persoalan korupsi, sekaligus diharapkan dapat menjadi masukan bagi aparat penegak hukum dalam menegakan kasus korupsi.
Kasus Dana TKI dan DPO Pimpinan dan Anggota DPRD ini berawal ketika pada tanggal 14 November 2006 para pengambil kebijakan mengeluarkan PP No. 37 Tahun 2006. PP ini merupakan revisi kedua atas PP No. 24 Tahun 2004. Sebelumnya, telah dilakukan perbaikan dengan PP No. 37 Tahun 2005. Artinya, dalam kurun waktu dua setengah tahun, telah ditapkan tiga kali peraturan pemerintah tentang protokoler dan keuangan anggota DPRD.
Alasan utama dikeluarkannya PP No. 37 Tahun 2006 ini adalah untuk mendorong peningkatan kinerja DPRD sekaligus menaikan dana TKI dan DPO dari Pimpinan dan Anggota DPRD. Kenaikan dana TKI dan DPO dari Pimpinan dan Anggota DPRD, juga diberlakukan surut terhitung sejak 1 Januari 2006.
Keberadaan PP No. 37 Tahun 2006 ini, langsung mendapat penolakan dari berbagai kalangan, terutama dari akademisi dan kelompok aktivis anti korupsi. Betapa tidak, ketika rakyat berada dalam kondisi terpuruk (NB: Keadaan saat itu), seperti kelaparan, bencana, dan sakit penyakit yang mewabah, justru para wakil rakyat dan pemerintah sibuk sendiri untuk memperbaiki kesejahteraannya. Atau dengan kata lain, rakyat bergelut dengan persoalannya sendiri, sementara di satu sisi wakil rakyat ingin berpesta pora dengan anggaran rakyat.
Penolakan secara serentak di setiap daerah di Indonesia ini memperoleh hasil. PP No. 37 Tahun 2006 kemudian dirubah dengan PP No. 21 Tahun 2007. Bersamaan dengan keluarnya PP No. 21 Tahun 2007, Menteri Dalam Negeri juga mengeluarkan Permendagri No. 21 Tahun 2007 sekaligus Surat Edaran bernomor 700/08/SJ. Initnya, dengan terbitnya aturan-aturan hukum tersebut, anggota DPRD yang tidak mengembalikan dana TKI dan DPO hingga sebulan sebelum masa jabatannya berakhir, mereka akan dipidanakan.
Akan tetapi belakangan, usaha mengembalikan uang negara dalam hal ini dana TKI dan DPO dari Pimpinan dan Anggota DPRD, terhambat. Pasalnya, pada 18 Agustus 2009, Mendagri menerbitkan Surat Edaran nomor 555/3032/SJ, yang mana dalam Angka 3-nya disebutkan bahwa ketentuan pelimpahan kasus ke aparat penegak hukum bagi anggota DPRD yang belum mengembalikan dana TKI dan DPO sebulan sebelum anggota DPRD periode 2004-2009 lengser dinyatakan tidak berlaku.
Menurut Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Soc.Sc, dkk (2009), berpendapat bahwa, keluarnya Surat Edaran nomor 555/3032/SJ menandakan bahwa ada semacam legalisasi perbuatan koruptif anggota Dewan dari Mendagri. Lebih jauh, Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Soc.Sc, dkk (2009), juga berkesimpulan, ada inkonsistensi Mendagri dalam menangani pengembalian dana TKI dan DPO.
Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Soc.Sc, dkk (2009) dalam kajiannya, juga menyatakan bahwa dalam praktik kegiatan administrasi negara dapat dikeluarkan aturan kebijakan (pseudo-wetgeving/quasi legislations/policy rules). Aturan kebijakan ini pada prinsipnya hanya mengatur administrasi negara, akan tetapi karena sifat tugas administrasi negara menyangkut pihak luar maka secara tidak langsung mengenai masyarakat umum. Aturan kebijakan ini merupakan wujud perbuatan administrasi negara yang bertujuan menampakkan keluar sebagai kebijakan tertulis yang tanpa disertai kewenangan pembentukan baik secara atributif maupun delegatif. Sebagai suatu kebijakan yang dikeluarkan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dalam arti sempit, materi muatan aturan kebijakan harus dalam batas kerangka hukum yang hanya mencerminkan pengaturan operasional suatu peraturan perundang-undangan.
Secara substansi, Surat Edaran Mendagri Nomor 555/3032/SJ juga menemui pertentangan: Pertama, Surat Edaran Nomor 555/3032/SJ, bertentangan dengan PP No. 21 Tahun 2007 serta Permendagri No. 21 Tahun 2007; Pada Pasal 29A PP No. 21 Tahun 2007 disebutkan, ”Pimpinan dan Anggota DPRD yang telah menerima tunjangan komunikasi intensif dan pimpinan DPRD yang telah menerima dana operasional sebagaimana dimaksud di dalam PP No. 37 tahun 2006 (Pasal 10A) harus menyetorkan kembali ke Kas Umum Daerah paling lambat 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya masa bakti anggota DPRD periode 2004-2009”. (NB: Pada konteks NTT, hasil analisis PIAR NTT menunjukan bahwa total keseluruhan DPO dan TKI untuk semua pimpinan dan anggota DPRD periode 2004-2009 baik pada level Provinsi maupun Kab./Kota di Provinsi NTT yang harus dikembalikan ke kas Negara adalah sebesar: Rp. 51,639,240,000.00).
Dalam prespektif yuridis, sebuah ketentuan harus bermakna imperatif yang memberikan kewajiban untuk dilaksanakan tanpa perlu perintah lebih lanjut. Perintah pengembalian tersebut tidak dapat direduksi Surat Edaran Mendagri nomor 555/3032/SJ, Ketika PP No. 21 Tahun 2007 telah mengimperatifkan pengembalian, maka berarti termasuk di dalamnya ancaman hukuman ketika uang tersebut tidak dikembalikan.
Terbitnya Surat Edaran Mendagri Nomor 555/3032/SJ telah mengecilkan makna imperatif dari PP No. 21 Tahun 2007 tersebut di atas. Seharusnya, tanpa terbitnya Surat Edaran Mendagri Nomor 555/3032/SJ, berkaitan dengan berakhirnya batas waktu pengembalian (dalam hal ini 1 bulan sebelum berakhirnya masa jabatan seperti yang tertera dalam PP No. 21 Tahun 2007), maka bagi siapa saja yang belum mengembalikan dana yang telah cair, langsung dapat dituntut secara hukum. Bahkan, aparat penegak hukum seharusnya langsung dapat menindaklanjuti/memproses anggota DPRD yang belum mengembalikan dana sebagimana yang dimaksud Pasal 29A Ayat 1 a quo.
Kedua, Surat Edaran Mendagri Nomor 555/3032/SJ sebenarnya hanyalah salah satu contoh yang terkuak seringnya pejabat publik membuat aturan kebijakan yang melampaui kewenangan (NB: dapat dibaca juga penyalahgunaan kewenangan) dengan mem-by pass peraturan perundang-undangan. Dengan anggapan agar tidak terjadi kekosongan hukum, Mendagri telah menerbitkan Surat Edaran Mendagri Nomor 555/3032/SJ meskipun secara kasat mata bertentangan dengan PP No. 21 Tahun 2007 dan Permendagri 21 No. Tahun 2007.
Ketiga, Pada angka 1 Surat Edaran Mendagri Nomor 555/3032/SJ yang menyebutkan perihal mapping pengembalian dana TKI dan DPO yang saat ini sedang dilakukan dianggap mengada-mengada. Sebab, mapping itu seharusnya sudah selesai dilakukan pada awal penerbitan PP No. 21 Tahun 2007 yang merubah PP No. 37 Tahun 2006. Tentunya mengherankan, ketika kejadian yang telah merugikan keuangan negara terjadi sekitar dua tahun yang lalu, mapping-nya baru dilakukan saat ini. Terlebih, setiap tahun BPK telah melakukan audit sehingga kebutuhan untuk melakukan mapping pengembalian dana TKI dan DPO telah terjawab.
Keempat, Surat Edaran Mendagri Nomor 555/3032/SJ tidak dapat menciptakan norma hukum baru di luar ketentuan peraturan perundang-undangan atau meniadakan keberlakuan suatu peraturan perundangundangan, karena kedudukan peraturan perundang-undangan sangat kuat, sebagai produk hukum legislatif yang dapat bersifat atributif atau delegatif.
Dalam prespektif hukum pidana, terbitnya Surat Edaran Mendagri Nomor 700/08/SJ tertanggal 5 Januari 2009 & Surat Edaran Mendagri Nomor 555/3032/SJ, seharusnya dipahami sebagai berikut: Pertama, Ada atau tidak ada Surat Edaran Mendagri, Pimpinan & Anggota DPRD periode 2004-2009 yang tidak mengembalikan dana TKI dan DPO paling lambat 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya masa bakti anggota DPRD periode 2004-2009 adalah TINDAK KORUPSI dan dapat dituntut dengan Pasal 2 ayat (1), pasal 3 & pasal 8 UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kedua, Memberikan kesan solah-olah korupsi adalah delik aduan padahal Korupsi adalah kejahatan yang tidak memerlukan pengaduan sebagai syarat untuk memproses perkara tersebut. Ketiga, Adanya uji materiil terhadap PP No. 21 Tahun 2007 bukanlah syarat ”tangguh” untuk memproses suatu perkara pidana.
Pada akhirnya, patut dihimbau agar Aparat Penegak Hukum, Polisi, Jaksa dan KPK dapat langsung memproses Pimpinan dan Anggota DPRD yang sampai dengan saat ini belum mengembalikan dana TKI dan DPO karena telah merugikan keuangan negara. Selain itu, sebagai pejabat yang menerbitkan Surat Edaran Mendagri Nomor 555/3032/SJ, Mendagri patut diduga telah melakukan tindak korupsi dengan kualifikasi Doen Plegen (yang menyuruh lakukan) atau setidaknya Obstruction Of Justice karena dengan terbitnya Surat Edaran Mendagri Nomor 555/3032/SJ mengandung materi tidak perlu mengembalikan TKI dan DPO sampai uji materiil diputuskan. LAWAN KEKUATAN POLITIK KORUPTIF...!!! (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian Pagi TIMOR EXPRESS, tanggal 1 Desember 2009).
-------------
Penulis: Staf Div. Anti Korupsi PIAR NTT