PERDAGANGAN ANAK BERKEDOK ADOPSI
Oleh. Paul
SinlaEloE
Tindak Pidana Perdagangan
Orang (TPPO) merupakan
masalah yang cukup menarik perhatian masyarakat, baik nasional maupun
internasional. Berbagai upaya telah dilakukan guna pemberantasan terjadinya praktik TPPO. Secara normatif, terdapat
banyak produk hukum yang sudah
diciptakan guna mencegah dan mengatasi/menindak pelaku TPPO. Ironisnya, TPPO masih tetap berlangsung dengan modus
yang semakin bervariasi dan beragam.
Salah satu modus TPPO yang
saat ini mendapat sorotan dari berbagai pihak adalah perdagangan anak berkedok adopsi.
Kasus perdagangan anak berkedok adopsi ini, paling banyak ditemukan dan
diungkap oleh penegak hukum di Sumatera Utara. Walaupun demikian, bukan berarti
perdagangan anak berkedok adopsi hanya terjadi di Provinsi Sumatera Utara saja.
Secara subyektif, penulis menduga bahwa kasus perdagangan anak berkedok adopsi
terjadi juga dengan merata di seluruh wilayah Indonesia, namun belum terungkap.
Secara
substansi, TPPO yang terkait dengan pengangkatan anak (adopsi) diatur dalam Pasal 5 UUPTPPO
dengan rumusan delik sebagai berikut: “Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau
memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp.120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp.600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”.
Rumusan
Pasal 5 UUPTPPO mengandung 3 (tiga)
unsur delik, yakni: Pertama, Unsur Pelaku. Pelaku adalah subjek hukum yang
melakukan TPPO. Istilah ‘setiap orang’ yang terdapat dalam Pasal 5 UUPTPPO,
menunjukan bahwa yang menjadi pelaku TPPO adalah ‘orang perseorangan’ dan/atau korporasi (Pasal 1 angka 4
UUPTPPO). Orang perseorangan pada konteks setiap orang ini, dalam ilmu hukum pidana
dimaknai sebagai orang individu (naturlijk persoon), baik itu yang berwarga negara Indonesia maupun asing.
Sedangkan, korporasi berdasarkan Pasal 1 angka
3 UUPTPPO, diartikan sebagai kumpulan
orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun
bukan badan hukum.
Kedua,
Unsur Perbutan. Perbuaatan sebagai
unsur dari suatu tindak piadana dapat diartikan sebagai setiap
tindakan aktif dan/atau pasif yang dilakukan secara sadar maupun tidak dan dalam konteks Pasal 5 UUPTPPO tergambar dalam kalimat: ‘melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau
memberikan sesuatu’. Ketiga, Unsur Tujuan/Akibat. Tujuan dalam unsur ketiga
ini dipahami sebagai sesuatu
yang nantinya akan tercapai dan/atau
terwujud sebagai akibat dari tindakan dari pelaku, dalam hal ini dengan maksud untuk dieksploitasi.
Pasal
5 UUPTPPO, pada dasarnya didesain oleh perumus UUPTPPO sebagai delik formil
untuk melakukan perlindungan terhadap anak dengan cara mencegah sedini mungkin
terjadinya TPPO yang berkedok adopsi. Menurut E. Y. Kanter dan S. R. Sianturi (2012:237), delik
formal ialah delik yang dianggap telah selesai jika
perbuatan/tindakan
yang menjadi larangan dalam suatu rumusan delik
telah selesai dilakukan, tanpa
bergantung pada akibat yang timbul dari perbuatan.
Sebagai
konsekwensi dari delik formil, maka yang harus diperhatikan dalam penegakan
hukum terkait Pasal 5 UUPTPPO adalah walaupun unsur
tujuan/akibat, yakni dengan
maksud untuk dieksploitasi belum terwujud, namun
apabila unsur perbuatan/tindakan dalam hal ini melakukan pengangkatan
anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu telah terjadi
dengan sempurna, maka setiap orang
yang menjadi pelaku sudah
dapat dituntut pertanggungjawaban pidananya karena melakukan TPPO sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 5 UUPTPPO.
Aspek Kesengajaan dalam Perdagangan Anak
Berkedok Adopsi
Dalam konteks penegakan
hukum terkait kasus perdagangan anak berkedok adopsi, harus diingat bahwa frasa
‘dengan maksud’ yang
terdapat dalam unsur tujuan/akibat dari rumusan
delik Pasal 5 UUPTPPO menunjukan bahwa aspek kesengajaan dari setiap orang
(pelaku) dalam melakukan perbuatan pidana adalah point penting yang harus
dibuktikan, jika Pasal 5 UUPTPPO akan dipergunakan untuk menuntut
pertanggungjawaban pidana dari pelaku.
Kesengajaan dalam konteks
hukum pidana pemaknaannya selalu mengacu pada Memory van Toelichthing (MvT atau Penjelasan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Belanda/KUHPidana Belanda), yang menyebutkan bahwa: “Pidana hendaknya
dijatuhkan hanya pada barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan
dikehendaki dan diketahui”. Argumen ini disampaikan oleh Menteri Kehakiman Belanda,
ketika memberi masukan pada waktu mengajukan crimineel wetboek/wetboek van strafrecht
(KUHPidana Belanada) tahun 1881,
yang kemudian menjadi KUHPidana pada tahun 1951 (Moeljatno,
2002:186).
Berdasarkan pengertian
tersebut, oleh kebanyakan pakar kesengajaan selalu
dimaknai dalam 2 (dua)
indikator, yaitu: ‘menghendaki dan mengetahui’
atau ‘willens en wetens’. Maksud
dari istilah ‘menghendaki/willens’ dalam konteks kesengajaan adalah menghendaki
terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan arti dari istilah ‘mengetahui/wetens’ adalah mengetahui/menginsafi
akibat yang akan terjadi dari tindak pidana yang dilakukan. Dengan
demikan, dapatlah dikatakan bahwa setiap orang disebut telah
melakukan suatu perbuatan pidana dengan sengaja,
apabila setiap orang tersebut harus menghendaki perbuatan itu dan mengetahui/menginsafi atau menyadari tentang
apa yang dilakukan dan akibat yang akan timbul dari padanya.
Ada 2 (dua) teori dalam hukum pidana yang menjelaskan tentang kesengajaan,
yakni teori kehendak atau wills theorie dan teori membayangkan voorstellings theorie (Bambang
Poernomo, 1987:155-156). Teori Membayangkan (voorstellings theorie)
yang juga dikenal sebagai Teori Pengetahuan ini diajarkan oleh Frank
yang merupakan seorang ahli hukum Jerman, dalam karyanya
yang berjudul, ‘Voorstelling
und Wille in der Moderner
Doluslehre’, tahun 1890 dan ‘Ueber den Aufbaudes Schulsbegriffs’, tahun 1907, yang pada
intinya menerangkan bahwa tidaklah mungkin akibat dari suatu
perbuatan dapat dikehendaki oleh pelaku. Dalam kesengajaan, pelaku hanya dapat membayangkan atau
mengetahui akan akibat yang timbul dari perbuatannya. Orang tak
bisa menghendaki akibat, tapi hanya dapat membayangkannya
atau mengetahuinya. Teori ini menitikberatkan pada apa yang diketahui
atau dibayangkan oleh pelaku tentang apa yang akan terjadi
pada waktu pelaku akan melakukan suatu perbuatan
pidana.
Teori Kehendak (wills theorie)
ini mengajarkan bahwa kesengajaan itu merupakan kehendak membuat suatu
tindakan dan kehendak untuk menimbulkan suatu akibat dari tindakan itu
dan akibat dikehendaki ini yang menjadi maksud dari tindakan
tersebut. Dalam perkembangannya, Teori Kehendak (wills theorie) dikemukakan oleh Von
Hippel dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1903 dengan judul, ‘Die Grenze Vorsatz und Fahrlassigkeit’, bermetamorfosa
dan terbagi menjadi 2 (dua) ajaran,
yakni: (1). Ajaran Determinisme
yang berpegang teguh bahwa manusia tidak mempunyai kehendak bebas. Manusia
hanya dapat melakukan suatu perbuatan apabila didorong oleh beberapa
hal, baik yang berasal dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya;
(2). Ajaran Indeterminisme, yang muncul sebagai reaksi
dari aliran determinasi dan mengajarkan bahwa walaupun untuk
melakukan sesuatu perbuatan dipengaruhi oleh bakat dan milieu/lingkungan, tetapi
manusia dapat menentukan kehendaknya secara bebas.
Berdasarkan doktrin ilmu
hukum pidana, Leden Marpaung (1991:192) mengelompokan kesengajaan (dolus-Perancis; opzet-Belanda; doleus-Latin) kedalam 7 (tujuh) jenis, yakni: Pertama, dolus aberratio ictus, yaitu
dolus yang mana seseorang dengan sengaja melakukan
tindak pidana untuk tujuan terhadap objek tertentu, namun ternyata mengenai
objek yang lain; Kedua, dolus premeditates, yaitu dolus dengan rencana
terlebih dahulu; Ketiga, dolus determinatus, yaitu kesengajaan dengan
tingkat kepastian objek, misalnya menghendaki matinya
seseorang; Keempat, dolus indeterminatus, yaitu kesengajaan dengan tingkat
ketidakpastian objek, misalnya menembak segerombolan orang;
Kelima, dolus
alternatives, yaitu kesengajaan dimana pelaku dapat memperkirakan
satu dan lain akbat. Misalnya meracuni sumur; Keenam, dolus directus,
yaitu kesengajaan tidak hanya ditujukan kepada perbuatannya, tetapi juga kepada
akibat dari perbuatannya; Ketujuh, dolus
indirectus, yaitu bentuk kesengajaaan yang menyatakan bahwa semua akibat
dari perbuatan yang disengaja, dituju atau tidak dituju, diduga atau tidak
diduga, itu dianggap sebagai hal yang ditimbulkan dengan sengaja. Misalnya
dalam pertengkaran, seseorang mendorong orang lain, kemudian terjatuh dan
tergilas mobil (NB: dolus ini berlaku
pada Code Penal Perancis, namun KUHPidana Indonesia tidak menganut dolus ini).
Menurut P.
A. F. Lamintang (1984:295), dalam hal seseorang melakukan suatu
tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja,
maka akan terdapat 3 (tiga) bentuk
sikap batin yang menunjukkan tingkatan dari kesengajaan
tersebut, yakni: Pertama, kesengajaan
sebagai maksud (opzet als oogmerk);
Kedua, kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zekerheids
bewustzijn); dan Ketiga, kesengajaan
sebagai kemungkinan (opzet
bij mogelijkheids bewustzijn atau dolus eventualis).
Ketiga
bentuk dari kesengajaan berdasarkan tingkatatan ini, oleh banyak pakar
dimaknai dengan cara pandang yang berbeda sesuai dengan latar belakang dan
kepentingannya masing-masing, tetapi pada intinya dapat dijelaskan sebagai
berikut: Pertama, kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk). Kesengajaan
sebagai maksud pada dasarnya merupakan perbuatan dari pelaku dengan
tujuan untuk menimbulkan akibat yang dilarang. Dengan
kata lain, pelaku benar-benar menghendaki terwujudnya
akibat yang menjadi pokok alasan diadakan ancaman hukuman pidana.
Bentuk kesengajaan sebagai maksud ini,
memiliki arti yang sama dengan menghendaki (willens) untuk mewujudkan suatu
perbuatan (tindak pidana aktif), menghendaki untuk tidak berbuat/melalaikan
kewajiban hukum (tindak pidana
pasif) dan mengetahui serta
menghendaki timbulnya akibat dari perbuatan itu atau
yang sering disebut dengan tindak pidana materil (Adami Chazawi, 2002:96).
Kedua,
kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zekerheids bewustzijn). Suatu tindak pidana yang
dilakukan dengan sengaja dapat dikategorikan sebagai kesengajaan sebagai
kepastian apabila pelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai
akibat yang menjadi dasar dari perbuatan pidana, tetapi pelaku menyadari dengan
benar bahwa akibat yang dilarang pasti akan mengikuti perbuatannya tersebut (S. R. Sianturi,
1986:91). Sederhanya, pelaku dalam perbuatannya tidak
menghendaki akibat yang dilarang terjadi, tetapi dengan
tindakan pelaku yang demikian, pasti akibat yang tidak dikehendaki itu akan
terwujud.
Dalam bentuk kesengajaan
sebagai kepastian, perbuatan pelaku
mempunyai 2 (dua) akibat, yaitu: (1). Akibat yang memang
dituju oleh pelaku yang dapat merupakan delik tertentu
ataupun merupakan delik tersendiri. (2). Akibat yang tidak
diinginkan oleh pelaku, tapi merupakan suatu keharusan untuk
mencapai tujuan dalam akibat pada delik tertentu.
Ketiga, kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet
bij mogelijkheids bewustzijn atau dolus eventualis). Kesengajaan sebagai kemungkinan
adalah kesengajaan dari pelaku untuk melakukan suatu perbuatan yang
diketahuinya bahwa ada akibat lain yang mungkin dapat timbul yang pelaku tidak inginkan dari perbuatannya, namun begitu besarnya kehendak
untuk mewujudkan perbuatan, pelaku tidak
mundur dan siap mengambil resiko untuk melakukan perbuatan (Adami Chazawi, 2002:97).
Suatu perbuatan yang
dilakukan dengan kesengajaan sebagai kemungkinan, pada
dasarnya pelaku tidak menghendaki terjadinya akibat, namun pelaku menyadari bahwa kemungkinan besar akan
timbul akibat lain yang tidak dikehendakinya, jika perbuatan itu
dilakukan. Dalam perbuatan dengan kesengajaan
sebagai kemungkinan, yang harus dicermati adalah ada keadaan tertentu
yang semula mungkin terjadi, kemudian ternyata
benar-benar terjadi. Adanya kesengajaan sebagai kemungkinan diperlukan 2 (dua) syarat,
yaitu: (1). Pelaku mengetahui kemungkinan adanya akibat/keadaanya yang merupakan
delik. (2). Sikapnya terhadap
kemungkinan itu apabila benar terjadi, maka resiko tetap diterima
untuk mencapai apa yang dimaksud.
Terkait dengan ajaran
tentang bentuk kesengajaan, Edward Omar Syarif Hiariej (2016)
berpendapat bahwa apabila dalam suatu rumusan delik dipergunakan istilah ‘dengan maksud’, maka
tidak ada corak kesengajaan lain selain ‘sengaja sebagai
maksud atau opzet als oogmerk’. Itu berarti, istilah ‘dengan maksud’ dalam ajaran tentang kesengajaan tidak
dapat ditafsirkan sebagai kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zekerheids bewustzijn) ataupun kesengajaan
sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheids bewustzijn atau dolus eventualis).
Menurut Edward Omar Syarif
Hiariej
(2016), doktrin dalam hukum pidana
mengajarkan bahwa, istilah
‘dengan maksud’ yang terdapat dalam pasal pada
setiap produk hukum terkait pidana, menunjukan rumusan delik tersebut
mengandung atau menghendaki adanya motif. Dengan demikian, motif atau alasan yang terdapat dalam sikap batin
pelaku untuk melakukan kejahatan
adalah salah satu substansi yang wajib dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam persidangan terkait penegakan
hukum terkait Pasal 5 UUPTPPO.
Perdagangan Anak Berkedok Adopsi
Berbeda dengan Adopsi Anak Secara Ilegal
Dalam perspektif yuridis, adopsi (pengangkatan anak) dipahami sebagai suatu perbuatan hukum
yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang
sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan
membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat (Pasal 1 angka 2 Peraturan
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007, tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak/PP Pengangkatan Anak).
Pengertian adopsi (pengangkatan anak) yang terdapat dalam Pasal 1 angka 2 PP Pengangkatan Anak, sejalan dengan pemaknaan
tentang anak adopsi atau anak angkat, yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 PP Pengangkatan Anak, maupun Pasal 1 angka 9 UU No. 35 Tahun 2014, Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (UU Perlindungan
Anak), yakni: “Anak Angkat adalah Anak yang haknya dialihkan
dari lingkungan kekuasaan Keluarga Orang Tua, Wali yang sah, atau orang lain
yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan Anak
tersebut ke dalam lingkungan Keluarga Orang Tua angkatnya berdasarkan putusan
atau penetapan pengadilan”.
Jika Anak yang
dalam Pasal 1 angka 5 UUPTPPO dan
Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Anak didefinisikan
sebagi seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan, diadopsi atau
diangkat tidak sesuai dengan
aturan/illegal, maka sesuai amanat Pasal 79 UU Perlindungan Anak, pelaku
akan dikenai sanksi pidana berupa penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Berpijak dari pengertian adopsi beserta sanksinya,
maka dapat ditarik titik simpul bahwa perdagangan anak
berkedok adopsi dan adopsi ilegal merupakan dua hal yang berbeda. Dari
aspek pengertiannya perdagangan anak berkedok adopsi dapat dipahami sebagai serangkaian
tindakan dari pelaku yang telah sempurna memenuhi unsur-unsur TPPO dari Pasal 5 UUPTPPO. Sedangkan yang dimaksud dengan adopsi anak secara
illegal adalah pengangkatan anak yang
dilakukan dengan cara tidak mematuhi aturan hukum.
DAFTAR RUJUKAN
- Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Penerbit PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2002.
- Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit Ghalia Indonesia, Yogyakarta, 1987.
- Edward Omar Syarif Hiariej, Tentang Pasal Pembunuhan Berencana Tak Memerlukan Motif, Keterangan Ahli, disampaikan dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tanggal 25 Agustus 2016, dipublikasikan pada tanggal 25 Agustus 2016 dalam: https://www.youtube.com/watch?v=Fq52cBFxusQ, diakses pada tanggal 29 Agustus 2017 - 08:39AM WITA.
- E. Y. Kanter dan S. R. Sianturi. Asas-Asas hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Penerbit Storia Grafika, Jakarta, 2012.
- Leden Marpaung. Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik). Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1991.
- Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 2002.
- P. A. F. Lamintang, Dasar-Dasar untuk Mempelajari Hukum Pidana yang Berlaku di Indonesia, Penerbit Sinar-Baru, Bandung, 1984.
- S. R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Penerbit Alumni Ahaem-Petehaem, Jakarta, 1986.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014, Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, Tentang Perlindungan Anak (UUPA).
- Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007, tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.
--------------------------------------------
KETERANGAN:
1.
Penulis adalah Aktivis PIAR NTT.
2. Tulisan ini merupakan hasil editing (Pengoreksian dan Penyempurnaan) dari makalah berjudul: Perdagangan Anak Berkedok Adopsi, yang
dipresentasikan dalam diskusi terbatas “Perdagangan Anak Dalam Konteks Tindak Pidana Perdagangan Orang”, yang dilaksanakan oleh Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi
Rakyat (PIAR-NTT), di Kantor PIAR NTT, Kota Kupang, pada tanggal 2 September 2017.