PERANAN
MASYARAKAT
PENDAHULUAN
Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah “surga” nya
para pelaku Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Indikatornya bisa dilihat
dari maraknya media massa memberitakan berbagai kasus (dugaan) TPPO yang
terjadi hampir di semua wilayah Kab/Kota di NTT3). Indikator lainnya adalah lemahnya kinerja aparat dalam proses
penegakan hukum. Akibatnya, para pelaku TPPO sangat bebas berkeliaran di
pelupuk mata dari para penegak hukum4).
Merajalelanya TPPO di NTT, ditopang juga oleh
pemprov/pemkab/pemkot beserta jaringan terkaitnya (BNP2TKI/BP3TKI, APJATI dan Gugus
Tugas Trafficking) yang tidak mampu melakukan pencegahan dengan membiarkan
tetap berjalan system pengelolaan ketenagakerjaan yang buruk mulai dari rekrutmen
tenaga kerja, pra penempatan, penempatan sampai dengan purna penempatan5).
MEMAHAMI
TPPO
Berdasarkan Pasal 1 angka 2
UUPTPPO, TPPO
dipahami sebagai setiap tindakan atau serangkaian tindakan
yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam UUPTPPO. Secara
lebih terperinci Pasal 2 ayat (1) UUPTPPO mendefinisikan TPPO Sebagai berikut: Setiap orang yang melakukan perekrutan,
pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang
dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan,
pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan
utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari
orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang
tersebut di wilayah Negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp.120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp.600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)6).
Definisi TPPO sebagaimana yang terdapat dalam UUPTPPO ini
menunjukan bahwa TPPO merupakan delik formil, yaitu adanya TPPO cukup dengan
dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, dan tidak harus menimbulkan
akibat. Kata “untuk tujuan” sebelum
frasa “mengeskploitasi orang tersebut”
mempertegas bahwa TPPO merupakan delik formil.
Berdasarkan
pengertian TPPO sebagaimana yang terdapat dalam pasal 2 ayat (1) UUPTPPO, maka ada 4 (empat)
unsur7) yang terdapat dalam suatu TPPO, yakni: Pertama, Unsur PELAKU yang adalah Orang
Perseorangan, Korporasi, Kelompok Terorganisasi dan Penyelenggara Negara. Kedua, Unsur Proses/Tindakan. Urutan
pelaksanaan atau kejadian yang terjadi secara alami atau didesain, yang meliputi: Perekrutan, pengangkutan,
penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang.
Ketiga, Unsur Cara/Modus. Bentuk perbuatan/tindakan tertentu yang dilakukan untuk menjamin proses dapat
terlaksana, yang meliputi: ancaman kekerasan,
penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi
bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang
kendali atas orang lain.
Keempat, Unsur Tujuan/Akibat. Sesuatu yang nantinya akan
tercapai dan atau terwujud sebagai akibat dari tindakan pelaku TPPO yang
meliputi eksploitasi orang atau mengakibatkan orang tereksploitasi sebagaimana
yang diamanatkan dalam Pasal 1 angka
1, Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) UUPTPPO.
RUANG LINGKUP TPPO
Ruang lingkup bisa dimknai
sebagai batasan dalam hal materi dan/atau subjek yang diatur. UUPTPPO merumuskan ruang lingkup atau batasan dari TPPO
kedalam 3 (tiga) kategori, yakni: Pertama, ruang lingkup pelaku,
meliputi: (1). Orang perseorangan,
yang mencakup setiap individu/perorangan yang secara langsung melakukan TPPO. (2). Kelompok terorganisasi, yakni
kumpulan 2 (dua) orang atau lebih yang
bekerjasama melakukan TPPO.
(3). Korporasi, yaitu
kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum yang dalam kerja-kerjanya tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku sehingga terjadi TPPO. (4). Penyelenggara Negara, yakni pegawai negeri atau pejabat
pemerintah (NB: termasuk anggota Tentara
Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, aparat
keamanan, penegak hukum atau pejabat publik) yang menyalahgunakan
kekuasaannya untuk melakukan atau mempermudah TPPO.
Kedua, ruang
lingkup korban. Korban
berdasarkan pasal 1 angka 3 UUPTPPO,
dipahami sebagai seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik,
seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan TPPO. Ruang lingkup dari korban kejahatan termasuk korban TPPO8), mencakup 3 (tiga)
hal, yaitu: (1). Siapa yang menjadi
korban. (2). Penderitaan atau
kerugian apakah yang dialami oleh korban. (3).
Siapa yang bertanggungjawab dan/atau bagaimana penderitaan dan kerugian yang
dialami korban dapat dipulihkan.
Ketiga, ruang
lingkup tindakan. Menurut pasal 1 angka
2 UUPTPPO, setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur
TPPO adalah TPPO. Tindakan-tindakan yang yang memenuhi unsur-unsur TPPO
dimaksud, dalam UUPTPPO dirumuskan dan dijabarkan sebagai berikut: (1). Setiap tindakan atau serangkaian
tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam UUPTPPO.
(2). Setiap orang yang memasukkan orang ke wilayah
Negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi diwilayah Negara
Republik Indonesia atau dieksploitasi di negara lain. (3). Setiap orang yang membawa warga Negara Indonesia ke luar
wilayah Negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar
wilayah Negara Republik Indonesia.
(4). Setiap orang yang melakukan
pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan
maksud untuk dieksploitasi. (5). Setiap
penyelenggara negara yang menyalahgunakan kekuasaan yang mengakibatkan
terjadinya TPPO. (6). Setiap orang
yang berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan TPPO. (7). Setiap orang yang membantu atau
melakukan percobaan untuk melakukan TPPO. (8).
Setiap orang yang merencanakan atau melakukan permufakatan jahat untuk
melakukan TPPO.
(9). Setiap orang yang
memberikan atau memasukkan keterangan palsu pada dokumen negara atau dokumen
lain atau memalsukan dokumen negara atau dokumen lain, untuk mempermudah
terjadinya TPPO. (10). Setiap orang
yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung
atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, atau saksi dalam perkara perdagangan
orang. (11). Setiap orang yang
membantu pelarian pelaku TPPO dari proses peradilan pidana. (12). Setiap orang yang memberitahukan
identitas saksi atau korban padahal kepadanya telah diberitahukan, bahwa
identitas saksi atau korban tersebut harus dirahasiakan.
PENCEGAHAN
TPPO BERBASIS MASYARAKAT
Membahas konsep pencegahan kejahatan (termasuk TPPO),
harus difokuskan pada upaya pencegahannya dan tidak boleh terjebak pada aspek penjahat dan atau kejahatannya9). Pencegahan TPPO adalah langkah awal dalam
penanggulangan TPPO, karena itu membahas pencegahan TPPO tidak dapat terlepas
dari kebijakan kebijakan kriminal (criminal
policy), yang secara keseluruhan merupakan bagian yang komplementer dari
penegakan hukum (law enforcement) dan
sekaligus memberikan perlindungan pada masyarakat (social defence)10).
Pencegahan TPPO pada dasarnya bertujuan
mencegah sedini mungkin terjadinya TPPO (Pasal 56 UUPTPPO). Pemerintah,
Pemerintah Daerah, masyarakat, dan keluarga wajib mencegah terjadinya TPPO
(Pasal 57 ayat (1) UUPTPPO). Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membuat
kebijakan, program, kegiatan, dan mengalokasikan anggaran untuk melaksanakan
pencegahan dan penanganan masalah perdagangan orang (Pasal 57 ayat (2)
UUPTPPO).
Untuk melaksanakan pemberantasan TPPO,
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengambil langkah-langkah untuk
pencegahan dan penanganan TPPO (Pasal 58 ayat (1) UUPTPPO). Demi mengefektifkan
dan menjamin pelaksanaan langkah-langkah untuk pencegahan dan penanganan TPPO,
pemerintah membentuk gugus tugas yang beranggotakan wakil-wakil dari
pemerintah, penegak hukum, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat,
organisasi profesi, dan peneliti/akademisi (Pasal 58 ayat (2) UUPTPPO).
Dalam upaya pencegahan TPPO, masyarakat
diharapkan untuk membantu dan berperan serta (Pasal 60 ayat (1) UUPTPPO). Peran
serta masyarakat dalam pencegahan TPPO, diwujudkan dengan tindakan memberikan
informasi dan/atau melaporkan adanya
TPPO kepada penegak hukum atau
pihak yang berwajib (Pasal 60 ayat (2) UUPTPPO).
Pentingnya keterlibatan masyarakat dalam
upaya pencegahan TPPO diperlukan bukan hanya untuk kepentingan pemulihan dan
reintegrasi bagi korban secara individual maupun sekedar bertujuan memperluas
dukungan/keterlibatan untuk gerakan pencegahan, tetapi dalam rangka hak dan
demokrasi. Hal ini menjadi penting sebab masyarakat/komunitas dimaksud adalah
“pilar” terdepan yang langsung berhadapan dengan kebijakan kriminal (criminal policy) terkait pencegahan
TPPO.
Selama ini, masyarakat/komunitas selalu
direduksi haknya atas nama kepentingan negara. Padahal substansinya dikorbankan
secara sistematis oleh pelaksana negara beserta aparatusnya yang gagal
menjalankan 3 (tiga) jenis
kewajibannya, yaitu: Pertama,
Kewajiban untuk menghormati (respect).
Kewajiban ini menuntut negara, dan semua aparaturnya untuk tidak bertindak
apapun yang melanggar integritas individu atau kelompok atau pelanggaran pada
kebebasan mereka.
Kedua, Kewajiban untuk
melindungi (protect). Kewajiban untuk
melindungi menuntut negara dan aparaturnya melakukan tindakan yang memadai guna
melindungi warga individu dari pelanggaran hak-hak individu atau kelompok,
termasuk pencegahan atau pelanggaran atas penikmat kebebasan mereka. Ketiga, Kewajiban untuk memenuhi (fulfill). Kewajiban untuk memenuhi ini
menuntut negara melakukan tindakan yang memadai untuk pemenuhan hak setiap
orang di yang tidak dapat dipenuhi oleh upaya pribadi.
Konsekwensi dari gagalnya negara beserta
aparatusnya dalam menjalankan kewajibannya, berdampak pada semakin marak
terjadi TPPO. Karenanya, untuk tujuan pencegahan TPPO, pemerintah wajib membuka
akses seluas-luasnya bagi peran serta masyarakat, baik nasional maupun
internasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, hukum, dan
kebiasaan internasional yang berlaku (Pasal 61 UUPTPPO). Untuk melaksanakan
peran sertanya, masyarakat berhak untuk memperoleh perlindungan hukum (Pasal 62
UUPTPPO). Peran serta masyarakat harus dilaksanakan secara bertanggung jawab
(Pasal 63 UUPTPPO).
Dalam rangka membuka akses seluas-luasnya
bagi peran serta masyarakat terkait dengan pencegahan TPPO, maka pendekatan
pencegahan TPPO berbasis masyarakat (community
based approach) adalah sesuatu yang rasional dan relevan. Pencegahan TPPO
dengan pendekatan berbasis masyarakat (community
based approach) ini, dapat dipahami sebagai segala upaya yang dilakukan
melalui pendidikan dan pemberdayaan masyarakat dalam mencegah terjadinya TPPO.
Pencegahan TPPO dengan pendekatan berbasis
masyarakat/komunitas, pada tataran implementasi harus berpegang teguh pada
prinsip-prinsip, sebagai berikut: kemandirian, imparsialitas (perlakuan yang
adil), sinergitas, partisipatif, transparansi, akuntabilitas dan kesetaraan.
Pencegahan TPPO dengan pendekatan berbasis masyarakat/komunitas harus merupakan
suatu gerakan yang terorganisir dan terlembaga.
Ada sejumlah aktivitas yang dapat dilakukan
oleh masyarakat/komunitas dalam konteks pencegahan TPPO dengan pendekatan
berbasis masyarakat/komunitas, diantaranya: Pertama, Membentuk Lembaga Anti Perdagangan Orang pada level desa,
guna menggagalkan setiap pengiriman tenaga kerja ke luar negeri maupun dalam
negeri secara ilegal/non prosedural (pemalsuan umur dan dokumen lainnya).
Lembaga Anti Perdaganagan Orang ini harus bersinergi dengan pihak terkait
seperti lembaga keagamaan, pemerintah desa setempat, LSM/NGO, institusi penegak
hukum dan gugus tugas trafficking;
Kedua, Ketujuh, Melakukan pertemuan rutin dan pelatihan secara berkala
untuk meningkatkan kapasitas dari Lembaga Anti Perdaganagan Orang dalam
menangani/advokasi kasus-kasus terkait TPPO; Ketiga, Melakukan deteksi dini terhadap kesiapan mental dan
ketrampilan dari warga yang ingin/akan bermigrasi, dengan cara pendokumentasian
(pencatatan) setiap warga yang akan bermigrasi. Pendokumentasian ini terkait
dengan: identitas penduduk yang bermigrasi, fakta kebenaran kelengkapan
dokumen, pengalaman pendidikan dan pelatihan yang dimiliki oleh calon pekerja
migran serta dukungan keluarga;
Keempat, Melakukan
pengumpulan data, pemetaan, dan pendokumentasian kasus-kasus korban TPPO.
Pendokumentasian kasus korban TPPO terkait: identitas dan kondisi korban, fakta
dan informasi yang berhubungan dengan terjadinya TPPO, pengalaman dan harapan
korban, serta kondisi korban sejak berangkat sampai dinyatakan sebagai korban TPPO;
Kelima, Melakukan
kajian dan pendidikan masyarakat sebagai dasar melakukan advokasi dan
sosialisasi untuk peningkatan kesadaran publik tentang TPPO, kepada
kelompok-kelompok masyarakat; Keenam,
Melakukan advokasi yang mendorong/merevisi terbitnya kebijakan (PERDA/PERDES)
tentang TPPO dan mekanisme layanan bagi korban; Ketujuh, Meningkatkan partisipasi masyarakat dan penguatan
kelembagaan tentang perlindungan terhadap korban TPPO (terutama perempuan dan
anak);
Kedelapan, Melakukan
penyuluhan hukum terkait pemberantasan TPPO yang melibatkan Kepolisian dan/atau
Kejaksaan Negeri; Kesembilan,
Membangun dan memperkuat jaringan masyarakat sipil, khususnya kalangan
perempuan yang termarjinalkan melalui pendidikan kritis, pengorganisasian dan
konsolidasi; Kesepuluh, Melakukan
pelatihan keterampilan bagi para calan/pekerja migran tentang manajemen
keuangan agar mampu mengelola keuangan secara tepat.
PENUTUP
Demikianlah Sumbangan pemikiran saya. Semoga
bermanfaat dan materi ini dapat menjadi bahan pengantar untuk suatu disuksi
yang lebih luas. LAWAN MAFIA PERDAGANGAN ORANG..!!
DAFTAR BACAAN
- Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2012.
- Henny Nuraeny, Tindak Pidana Perdagnagn Orang (Kebijakan Hukum Pidana dan Pencegahannya), Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2013.
- Paul SinlaEloE, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Makalah, dipresentasikan dalam Diskusi Komunitas: “Penegakan Hukum Terhadap Perdagangan Orang”, yang dilaksanakan oleh Pemuda Desa Oelnasi di Kantor Desa Oelnasi, Kec. Kupang Tengah, Kab. Kupang, Pada tanggal 23 Maret 2014.
- Paul SinlaEloE, Memahami Tindak Pidana Perdagangan Orang, Makalah, dipresentasikan dalam Diskusi Komunitas: “Mendorong Partisipasi Masyarakat dalam Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang”, yang dilaksanakan kelompok simpan pinjam (KSP) Sejahtera Bersama, di sekretariat kelompok simpan pinjam (KSP) Sejahtera Bersama, Desa Noelbaki, Kec. Kupang Tengah, Kab. Kupang, pada tanggal 14 November 2015.
- Sarah Lery Mboeik, Advokasi Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Prespektif Hak Asasi Manusia, Makalah, disampaikan dalam Workshop: “Perumusan strategi advokasi untuk Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang”, yang dilaksanakan oleh Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR NTT), di Hotel Joniar, Kota Kupang, pada tanggal 20 Februari 2012.
- UU No. 21 Tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
CATATAN KAKI:
1) Makalah ini
disampaikan dalam diskusi komunitas: “Menggagas Keterlibatan Masyarakat dalam
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang”, yang dilaksanakan oleh Panitia
HUT Wilayah (Mata Jemaat) Bileno, di Gedung Gereja (GMIT) Imanuel Taitnama,
Desa Kuanheum, Kec. Amabi Oefeto – Kab. Kupang, pada tanggal 9 Juli 2016.
2) Aktivis PIAR NTT
3) Maraknya
kasus TPPO di NTT, bisa dilihat juga dalam: Pertama, data pendampingan/advokasi dari
Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR NTT), dimana pada
pada tahun 2013, PIAR NTT beserta jaringannya melakukan advokasi 4 kasus TPPO
dengan jumlah korban sebanyak 127 orang. Tahun 2014, ada 6 kasus TPPO yang
diadvokasi dengan korban sebanyak 216 orang. Tahun 2015, ada 3 kasus TPPO yang
advokasi dengan korban berjumlah 21 orang dan di tahun 2016 (sampai dengan
bulan juni), PIAR NTT dan jaringannya telah melakukan advokasi 5 kasus TPPO
dengan jumlah korban sebanyak 37 orang. Kedua, Laporan Akhir Tahun 2015 dari
POLDA NTT terkait dengan penegakan hukum kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang
yang menjelaskan bahwa di tahun 2015 pihak POLDA
NTT telah menangani 27 kasus trafficking, dengan jumlah tersangka 31 orang dan
jumlah korban 238 orang. Dari total 27
kasus trafficking yang ditangani POLDA NTT ini, 9 kasus diantaranya telah
lengkap penyidikannya (P-21), sedangkan 4 kasus lainnya masih dilengkapi
petunjuk jaksa (P-19), 11 kasus dalam tahap penyidikan, dan 3 kasus dalam
penyelidaikan.
4) Salah satu contoh kasus adalah
Direktur
PT Vio-vioken Kencana Mandiri Kupang Aleks Massang yang diduga merekrut
dan mengirim pekerja migran yang masih berusia anak, yakni Marlis Tefa
(14) dan Dina Mariana Fallo (16) untuk bekerja di Malaysia, sudah di
tetapkan sebaga Daftar Pencarian Orang (DPO) namun
masih bebas berkeliaran dan belum ditangkap. Padahal, 3 orang Petugas Lapangan
(PL)-nya, yakni: Rongky Tfuakani, Mellianus Olla dan Armen Mamo sudah ditangkap
sejak 24 Oktober 2015 dan sejak 23 Februar 2016 sudah menjalani proses
persidangangan di PN Soe. (Selengkapnya Lihat: http://www.zonalinenews.com/2016/03/polres-tts-biarkan-aleks-massang-pelaku-human-trafficking-bebas-berkeliaran/).
5)
Menurut Sarah lery Mboeik, maraknya kasus TPPO di NTT di sebabkan oleh berbagai
faktor, diantaranya: Pembangunan yang memiskinkan, hak rakyat atas pekerjaan
yang terabaikan, politik gender yang timpang, rakyat pekerja yang tidak
berdaulat atas pangan, masyarakat sipil yang belum fokus pada rakyat pekerja,
lemahnya proses penegakan hukum, pelayanan publik yang korup dan sistem
ketenagakerjaan yang korup. Lihat Sarah
Lery Mboeik, Advokasi Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Prespektif Hak Asasi Manusia,
Makalah, disampaikan dalam Workshop: “Perumusan
strategi advokasi untuk Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang”,
yang dilaksanakan oleh Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat
(PIAR NTT), di Hotel Joniar, Kota Kupang, pada tanggal 20 Februari 2012.
6) Menurut Pasal 2
ayat (2) UUPTPPO, sanksi sebagaimana seperti yang terdapat dalam pasal 2 ayat
(1) UUPTPPO, juga berlaku dan dikenakan pada setiap tindakan yang dilakukan
oleh pelaku yang mengakibatkan orang tereksploitasi.
7) Urain lebih terperinci terkait dengan
unsur-unsur dari TPPO berdasarkan Pasal 1 angka 1
UU No. 21 Tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Jo. Pasal 2 Ayat (1) UUTPPO
dapat dilihat dalam Paul SinlaEloE, Tindak Pidana
Perdagangan Orang, Makalah, dipresentasikan dalam dikusi komunitas: “Penegakan Hukum Terhadap Perdagangan Orang”,
yang dilaksanakan oleh Pemuda Desa Oelnasi di Kantor Desa Oelnasi, Kec. Kupang
Tengah, Kab. Kupang, Pada tanggal 23 Maret 2014.
8) Farhana, Aspek
Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta,
2012, Hal. 158.
9) Paul SinlaEloE, Memahami
Tindak Pidana Perdagangan Orang, Makalah, dipresentasikan dalam Diskusi
Komunitas: “Mendorong Partisipasi Masyarakat dalam Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang”, yang dilaksanakan kelompok simpan pinjam (KSP) Sejahtera
Bersama, di sekretariat kelompok simpan pinjam (KSP) Sejahtera Bersama, Desa
Noelbaki, Kec. Kupang Tengah, Kab. Kupang, pada tanggal 14 November 2015.
10) Bandingkan dengan Henny Nuraeny, Tindak Pidana Perdagnagn Orang (Kebijakan Hukum Pidana dan
Pencegahannya), Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2013, Hal. 320.