PARALEGAL dan KERJA-KERJA ADVOKASI1)
Oleh. Paul SinlaEloE2)
CATATAN PENGANTAR
Paralegal selaku pemberi bantuan hukum, memiliki peran penting dalam mendorong terciptanya peluang keadilan bagi masyarakat miskin, buta hukum, dan tertindas, terutama yang hidup di sekitar lingkungan tempat tinggal Paralegal. Selama ini, eksistensi Paralegal hanya memperoleh legitimasi sosial dari komunitasnya, sehingga dalam menjalankan peran dan tugas mulianya seringkali mendapat resistensi dari aparat penegak hukum maupun pemerintah. Dengan hadirnya UU No. 16 Tahun 2011, tentang Bantuan Hukum (UU BANKUM), yang diundangkan pada 2 November 2011 dalam LN-RI Tahun 2011 Nomor 104, Tambahan LN-RI Nomor 5246, eksistensi dari paralegal telah memiliki legitimasi yuridis sebagai bagian dari pemberi bantuan hukum.
Walaupun paralegal telah mendapat legitimasi yuridis, ironinya UU BANKUM tidak secara khusus mendefinisikan maupun mengatur tentang persyaratan dan peranan paralegal dalam pelaksanaan Bantuan Hukum. Namun secara eksplisit, pengaturan mengenai paralegal tersebar dalam berbagai Perundang-undangan, diantaranya: Pertama, UU No. 32 Tahun 2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mana pada Pasal 91 ayat (1) dengan tegas menyatakan bahwa Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Kedua, UU No. 23 Tahun 2004, tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang dalam Pasal 10 dan Pasal 23 yang memberikan kewenangan kepada relawan pendamping untuk memberikan pendampingan kepada korban dalam setiap tahapan pemeriksaan dari penyidikan sampai persidangan termasuk meminta kepada pengadilan untuk mendapatkan penetapan perlindungan.
Ketiga, UU No. 2 Tahun 2004, tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Indutrial, khususnya pada Pasal 87 yang memberikan kewenangan kepada Serikat Pekerja/ Buruh untuk beracara mewakili buruh/pekerja di pengadilan hubungan industrial. Keempat, UU No. 16 tahun 2011, tentang Bantuan Hukum yangmemberikan hak kepada Lembaga Pemberi Bantuan Hukum untuk merekrut Paralegal untuk menjalankan fungsi kebantuan hukuman.
Kelima, UU No. 11 tahun 2012, tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dimana pada Pasal 68 memberikan kewenangan kepada Tenaga Kesejahteraan Sosial untuk mendampingi anak yang berhadapan dengan system peradilan pidana baik sebagai korban, saksi, maupun tersangka/ terdakwa. Keenam, UU No. 35 Tahun 2014, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, khususnya pada Pasal 69A huruf c, Pasal 69A huruf d dan Pasal 69B yang membolehkan pendamping (pekerja sosial yang mempunyai kompetensi profesional dalam bidangnya) untuk: (1). Melakukan pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan. (2). Melakukan pendampingan pada setiap tingkat pemeriksaan mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan pemeriksaan di sidang pengadilan. (3). Membolehkan pendamping untuk terlibat dalam melakukan edukasi tentang pendidikan, ideologi, dan nilai nasionalisme, konseling tentang bahaya terorisme, rehabilitasi sosial dan pendampingan sosial.
APA ITU PARALEGAL
Istilah Paralegal ditujukan kepada seseorang yang bukan advokat, namun memiliki ketrampilan dan pengetahuan dibidang hukum, baik hukum materiil maupun hukum acara dengan pengawasan advokat atau organisasi bantuan hukum yang berperan membantu masyarakat pencari keadilan. Paralegal ini bisa bekerja sendiri di dalam komunitasnya, maupun bekerja untuk organisasi bantuan hukum atau firma hukum.
Dalam praktik sehari-hari, peran paralegal sangat penting untuk menjadi jembatan bagi masyarakat pencari keadilan dengan advokat dan aparat penegak hukum lainnya untuk penyelesaian masalah hukum yang dialami individu maupun kelompok masyarakat. Dengan kata lain, kegiatan paralegal pada satu sisi bergerak di dalam hubungan-hubungan hukum sebagai fungsi yang menjembatani komunitas yang mengalami ketidakadilan atau pelanggaran HAM dengan sistem hukum yang berlaku, sementara pada sisi lain bergerak di dalam hubungan-hubungan sosial dalam fungsi-fungsi mediasi, advokasi dan pedampingan masyarakat.
SYARAT MENJADI PARALEGAL
Siapapun bisa menjadi paralegal, misal: Pemimpin komunitas, Ketua suku, Pemuka agama, Tokoh pemuda, Mahasiswa, Aktifis Serikat Buruh, Aktifis Serikat Tani, Guru, dan Anggota komunitas masyarakat lainnya. Untuk menjadi paralegal, seseorang paling tidak harus mengikuti pendidikan paralegal, baik pendidikan dasar, maupun pendidikan lanjutan.
NILAI-NILAI DASAR DAN KODE ETIK PARALEGAL
Ada sejumlah nilai dasar yang harus dipegang teguh oleh seorang paralegal, ketika melakukan kerja-kerja paralegal, yakni: Pertama, Kejujuran. Kedua, Keterbukaan. Ketiga, Berlaku Adil. Keempat, Bertanggung Jawab. Kelima, Anti Kekerasan. Keenam, Idependensi dalam bekerja atau Berdiri sendiri/tidak terikat oleh apapun. Ketujuh, Tidak membeda-bedakan seseorang atas dasar perbedaan suku, agama, budaya dan jenis kelamin. Selain itu, dalam melakukan kerja-kerjanya, paralegal juga harus patuh terhadap kode etiknya, antara lain: Pertama, Menjunjung tinggi nilai keadilan, kebenaran dan hak-hak asasi manusia, Kedua, Memiliki rasa percaya diri dan keberanian untuk menegakkan keadilan dengan berbagai resiko, Ketiga, Tidak menyalahgunakan peranannya untuk kepentingan pribadi maupun kelompok.
SIKAP DAN KEPRIBADIAN PARALEGAL
Seorang paralegal harus memiliki sikap dan kepribadian sebagai berikut: Pertama, Memiliki kejujuran. Kedua, Bersifat kesatria dan berbudi luhur. Ketiga, Menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kebenaran dan Hak Asasi Manusia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Keempat, Memperjuangkan hak-hak orang miskin, buta hukum dan tertindas tanpa membeda-bedakan seseorang dalam bentuk apapun. Kelima, Mampu menjaga kehormatan diri dan nama baik paralegal. Keenam, Bertindak bijaksana dan tidak mengabaikan kepentingan masyarakat. Ketujuh, Bersikap terbuka dan mau menerima kritikan yang bersifat membangun. Kedelapan, Mampu memperbaiki diri dan meningkatkan kemampuan dalam menjalankan perannya.
Kesembilan, Berpikir objektif dan mampu melakukan analisa sehingga dapat memahami masalah yang sebenarnya dan mencari jalan penyelesaian sebaik mungkin. Kesepuluh, Kreatif dalam memanfaatkan cara-cara etis dan sumber daya yang ada sehingga dapat digunakan untuk membantu masyarakat. Kesebelas, Mampu menggalang kerja sama dengan berbagai profesi dalam upaya menemukan masalah yang sebenarnya dan upaya pemecahannya. Keduabelas, Dalam mendampingi kasus-kasus yang bersifat keperdataan, sedapat mungkin menyelesaikan secara damai dan menghargai aturan, kebiasaan-kebiasaan, budaya dan tata nilai yang berlaku di masyarakat.
LARANGAN BAGI PARALEGAL
Ada sejumlah larangan bagi paralegal yang tidak boleh dilanggar ketika menjalankan kerja-kerja paralegal, yakni: Pertama, Menyalahgunakan perannya untuk mempromosikan diri demi mencapai kepentingan dan keuntungan diri sendiri. Kedua, Memungut, menetapkan dan membebankan biaya-biaya yang memberatkan masyarakat dan melanggar aturan hukum. Ketiga, Menelantarkan kasus masyarakat tanpa alasan yang jelas. Keempat, Merebut kasus masyarakat yang didampingi Paralegal lain. Kelima, Bersikap dan mengaku diri seperti seorang advokat. Keenam, Memberikan harapan dan menjanjikan kemenangan kepada masyarakat. Ketujuh, Mendukung dan memperkuat pola-pola yang membeda-bedakan seorang atas dasar perbedaan suku, agama, budaya dan jenis kelamin. Kedelapan, Berperan serta terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.
LINGKUP KERJA DARI PARALEGAL
Dalam konteks pemberian bantuan hukum, paralegal wajib menjalankan peran-peran sebagai berikut: Pertama, Memfasilitasi dan memotifasi masyarakat untuk mengorganisir dirinya dalam menghadapi masalah-masalah mereka, disamping membantu mereka untuk membentuk organisasi mereka sendiri, Kedua, Melakukan analisi sosial untuk membantu paralegal dan masayarakt agar memahami sifat struktural dari perkara yang dihadapi, sehingga dapat menemukan bagaimana jalan pemecahan terhadap persoalan-persoalan. Ketiga, Membimbing dan melakukan mediasi (perantara), yaitu memberikan bimbingan dan nasehat hukum serta melakukan mediasi dalam perselisihan yang timbul diantara anggota masyarakat. Keempat, Melakukan konseling bagi konsele (orang yang mendapat konseling oleh konselor yang dalam konteks makalah ini adalah korban dan atau pelaku), yaitu pemberian bantuan oleh seseorang yang ahli atau orang yang terlatih sedemikian rupa sehingga pemahaman dan kemampuan psikologis diri dari konsele meningkat dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi. Kelima, Membangun Jaringan kerja, yaitu menjalin hubungan kerja dengan organisasi-organisasi dan kelompok lain, serta individu-individu (wartawan, peneliti, dll) guna mendapatkan dukungan terhadap masalah-masalah yang dihadapi masyarakat.
Keenam, Advokasi, yaitu melakukan advokasi dengan mengangkat persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat kepermukaan, sehingga diperhatikan oleh para pembuat keputusan dan dapat mempengaruhi keputusan mereka. Dalam hal tertentu yang dimungkinkan oleh hukum dan peraturan yang berlaku, paralegal dapat mewakili, mendampingi dan/atau memberikan bantuan hukum pada masyarakat atau perseorangan dalam penyelesaian kasus dihadapan pemerintah, pengadilan atau forum-forum peradilan lainnya. Ketujuh, Mendidik dan melakukan penyadaran, yaitu meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai hak-hak mereka, memberikan informasi tentang hukum-hukum tertentu yang dapat melindungi mereka, memberikan informasi megenai program pengembangan dan kesejahteraan masyarakat yang dilaksanakan pemerintah dan bagaimana cara untuk berpartisipasi dalam melaksanakan program-program tersebut.
PARALEGAL DAN KONSELING
Konseling merupakan bagian dari kerja-kerja paralegal. Pelayanan konseling oleh paralegal untuk konsele dalam konteks advokasi, pada dasarnya bertujuan untuk: (a). Membantu konsele mengenali permasaalahannya dan menemukan cara-cara yang efektif untuk mengatasi persoalannya sendiri; (b). Memberdayakan konsele untuk dapat memutuskan masa depannya sendiri; (c). Menguatkan konsele dalam menghadapi proses yang dijalaninya; (d). Membuat konsele merasa diterima dan tidak dihakimi.
Pelayanan konseling ini harus dilakukan oleh paralegal/petugas (konselor) yang telah dididik/terlatih dan memiliki prespektif korban. Dalam melakukan konseling, seorang konselor harus memastikan bahwa konseling dilakukan di tempat yang menjamin rasa aman, nyaman dan kerahasiaan informasi dari korban.
Dalam melakukan konseling, paralegal/konselor harus memahami prosedur atau tahapan, yakni: (1). Konsele diterima konselor. (2). Bila kondisi konsele dalam situasi kritis, maka langkah awalnya konselor langsung memberikan pertolongan pertama dan apabila kondisi konsele parah, konselor segera membawanya ke dokter. (3). Penggalian informasi awal (identitas) dari konsele. Bila konsele adalah anak, maka penggalian informasi dilakukan dengan orangtua, wali atau pendamping. (4). Penggalian masalah dengan prinsip konseling berprespektif korban dan kalau korbannya adalah perempuan, maka prespektif gender tidak boleh diabaiakan: Pertama, Tidak mengadili korban/non judgement. Kedua, Membangun hubungan yang setara/egaliter. Ketiga, Memegang prinsip keputusan ditangan korban/self determination. Keempat, Melakukan pemberdayaan/empowerment (Penyadaran gender, menjelaskan tentang hak-hak dari konsele, memberikan dukungan, membantu memberikan pertimbangan atau solusi, membantu memahami masalahnya). Kelima, Menjaga kerahasiaan konsele. (5). Konselor dan konsele (bila anak dengan orangtu/wali, keluarga korban yang mendampingi) harus membuat membuat kesepakatan tentang: rujukan (kesepakatan rujukan termasuk rujukan ke psikolog bila konselor merasa konsele membutuhkan therapy khusus oleh psikolog), tindak lanjut penyelesaian masalah. (6). Konselor membuat dokumentasi (lisan, tertulis, visual): identitas konsele, kronologi kasus, layanan yang diberikan, kondisi konsele (psikis, fisik, seksual).
CATATAN PENUTUP
Demikianlah sumbangan pemikiran saya dalam rangka membangun pemahaman tentang kerja-kerja paralegal, kiranya bermanfaat dan bisa menjadi pengantar dalam diskusi yang lebih luas.
DAFTAR BACAAN
- Benny K. Harman & Anthony LP. Hutapea, Panduan Ringkas Paralegal Lingkungan, Penerbit WALHI dan YLBHI, Jakarta, 1992.
- LBH Yogyakarta, Kurikulum Pelatihan Hukum Untuk Paralegal, Penerbit LBH Yogyakarta, Yogyakarta, 2002.
- Libby SinlaEloE, Tri Soekirman dan Paul SinlaEloE, Jalan Panjang Menuju Keharmonisan Rumah Tangga, Penerbit Rumah Perempuan, Kota Kupang, 2011
- Paul SinlaEloE, Memahami Analsis Sosial, Makalah, disampaikan dalam diskusi thematik dengan berthema, “Analisis Sosial dan Urgensi Pelaksanaannya” yang dilaksanakan oleh PIAR NTT, di Kabupaten Kupang (Diskusi dengan masyarakat basis di Desa Nunsaen, Kecamatan Fatuleu), Kab. Kupang, pada tanggal 03 Februari 2004.
- Paul SinlaEloE, Memahami Paralegal, Makalah, disampaikan dalam diskusi terbatas, “Peranan Paralegal Dalam Melakukan Advokasi”, yang dilaksanakan oleh Rumah Perempuan dengan dukungan Brot For Die Welt (BFDW), di Aula Kantor Lurah Nefonaek, Kota Kupang, pada tanggal 26 Oktober 2013.
- Ritu R. Sharma, Pengantar Advokasi: Panduan Latihan, Penerbit Yayasan Obor Indonesia & Tifa, Jakarta, 2004.
- Stefanus Mira Mangngi, Pengorganisasian Massa (Rakyat): Upaya Menggapai Tatanan Indonesia Baru Yang Lebih Demokratis, Makalah, disampaikan dalam Kegiatan Penerimaan Anggota Baru GMNI Cab. Kota Kupang, yang dilaksanakan oleh GMNI Cab. Kota Kupang, di Aula Seroja, Kanwil Diknas NTT, Kupang, Pada Tanggal, 17 Nopember 2001.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004, tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004, tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Indutrial.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011, tentang Bantuan Hukum,
- Undang-Undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
- Yayasan Tifa, Panduan Pelatihan Paralegal, Penerbit Yayasan Tifa, Jakarta, 2010.
- Yayasan Tifa, Paralegal Berbasis Masyarakat: Pedoman Bagi Praktisi, Penerbit Yayasan Tifa, Jakarta, 2012.