Oleh. Paul SinlaEloE
Dalam berbagai literatur ilmu sosial, pembangunan atau yang disebut dengan istilah apapun, semestinya diarahkan pada penciptaan kesejahteraan warganya. Itu berarti, tujuan utama pembangunan adalah kesejahteraan manusia (Human Welfare). Pada konteks Indonesia, UUD 1945-pun mengamanatkan kepada pemerintah untuk melakukan langkah-langkah dalam upaya perlindungan terhadap segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Di Nusa Tenggara Timur (NTT), yang masih merupakan bagian integral dari Indonesia, pembangunan yang mensejahterakan warga bukanlah sesuatu yang mudah dicapai. Ada banayak kendala yang dihadapi para pengambil kebijakan (Decision Makers) untuk melakukan pembangunan yang mensejahterakan warga. Salah satu diantaranya persoalan korupsi. Di NTT, praktik korupsi begitu subur dan menjamur. Media massa lokal setiap harinya selalu menyuguhkan kasus (dugaan) korupsi yang terjadi hampir semua tingkat birokrasi pemerintahan, mulai dari desa hingga provinsi. Bahkan, korupsi sudah menggerogoti lembaga eksekutif, legislative maupun yudikatif, sehingga muncul kesan, praktik itu telah menjadi ”gaya hidup” baru kalangan pejabat atau birokrat.
Catatan akhir tahun 2009 yang dikeluarkan oleh PIAR NTT menunjukan bahwa Dari 125 (Seratus Duapuluh Lima) kasus korupsi yang dipantau oleh PIAR NTT, terdapat indikasi kerugian negara sebesar Rp.256.337.335.434,00 (Dua Ratus Lima Puluh Enam Milyar Tiga Ratus Tiga Puluh Tujuh Juta Tiga Ratus Tiga Puluh Lima Ribu Empat Ratus Tiga Puluh Empat Rupiah). Pelaku bermasalah dari ke-125 (Seratus Duapuluh Lima) kasus korupsi yang terjadi di NTT ini sebanyak 514 (Lima Ratus Lima empat belas) orang. Dari 514 (Lima Ratus Lima empat belas) Pelaku bermasala/aktor ini terdapat 76 (Tujuh Puluh Enam) orang yang melakuakan pengulangan tindak korupsi.
Modus operandi yang dipergunakan oleh para pelaku bermasalah dalam tindak korupsi berdasarkan hasil pantauan PIAR NTT, dapat diperincikan sebagai berikut: Pertama, Mark Up 30 (24%) Kasus. Kedua, Manipulasi 27 (21,6%) Kasus. Ketiga, Penggelapan 25 (20%). Kasus Keempat, Penyelewengan Anggaran 17 (13,6%) Kasus. Kelima, Memperkaya Diri Sendiri/Orang Lain 13 (10,4%) Kasus. Keenam, Pengerjaan Proyek Tidak Sesuai Bestek 10 (8%) Kasus. Ketujuh, Mark Down 3 (2,4%) Kasus. Korupsi di NTT Juga terbanyak terjadi di sektor Pengadaan barang dan Jasa dengan jumlah sebanyak 58 (46,4%) kasus. Selanjutnya, sektor APBD 43 (34,4%) kasus, Sektor Dana Bantuan 20 (16%) kasus, Sektor Perbankan 2 (1,6%) kasus, sektor PEMILU/PILKADA 2 (1,6%) kasus.
Hasil pantauan PIAR NTT menemukan bahwa Korupsi di NTT paling banyak ditemui pada bidang Pemerintahan yakni 55 (44%) kasus, Pengembangan Kecamatan 14 (11,2%) kasus, Air Bersih 7 (5,6%) kasus, kehutanan dan perkebunan 7 (5,6%) kasus, Perikanan dan Kelautan 6 (4,8%) kasus, Perhubungan dan Transportasi 5 (4%) kasus, Perumahan dan Pertanahan 3 (2,4%) kasus, Energi dan Listrik 2 (1,6%) kasus, Perbankan 2 (1,6%) kasus, Kesehatan 2 (1,6%) kasus, PEMILU/PILKADA 2 (1,6%) kasus, BUMN 1 (0,8%) kasus, Komunikasi dan Informasi 1 (0,8%) kasus, Lain-lain 2 (1,6%) kasus.
Maraknya kasus korupsi di NTT ini sangat berkorelasi positif dengan persoalan kemiskinan. Buktinya, Data kehidupan bernegara di NTT sebagaimana yang dipublis BPS, menunjukan bahwa penduduk miskin provinsi NTT pada Maret 2010 mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan Maret 2009. Pada tahun 2009 penduduk miskin di NTT sebanyak 1.013.200 orang (23,31%) sedangkan pada tahun 2010 penduduk miskin di NTT sebanyak 1.014.100 orang (23,03%). Posisi NTT juga termasuk 10 besar Provinsi miskin di Indonesia dengan peringkatkat: Pertama, Provinsi Papua 36,80%. Kedua, Papua Barat 34,88%. Ketiga, Maluku 27,74. Keempat, Sulawesi Barat 23,19%. Kelima, Gorontalo 23,10%. Keenam, NTT 23,03%. Ketujuh, NTB 21,55%. Kedelapan, Aceh 20,98%. Kesembilan, Lampung 18,94%. Kesepuluh, Bengkulu 18,30%.
Angka statistik juga menunjukan Jumlah Angkatan kerja NTT pada Februari 2010 mencapai 2,39 juta orang,atau bertambah 44,9 ribu orang jika dibandingkan angkatan kerja Februari 2009 sebesar 2,34 juta orang. Secara nasional angkatan kerja di Indonesia pada Februari 2010 mencapai 115,9 juta orang, bertambah 2,2 juta orang dibanding angkatan kerja Februari 2009 sebesar 113,7 juta orang. Penduduk yang bekerja di Nusa Tenggara Timur pada Februari 2010 mencapai 2,30 juta orang, bertambah 26,7 ribu orang dibanding dengan keadaan pada Februari 2009 sebesar 2,28 juta orang. Secara nasional, penduduk yang bekerja di Indonesia pada Februari 2010 mencapai 107,4 juta orang, bertambah hampir 3 juta orang dibanding dengan Februari 2009 sebesar 104,5 juta orang.
Untuk Pengangguran Terbuka (TPT) NTT pada Februari 2010 mencapai 3,49 persen, atau naik 0,71 poin dari Februari 2009 sebesar 2,78 persen. Secara nasional TPT Indonesia pada Februari 2010 mencapai 7,41 persen, turun 0,73 poin dibanding keadaan Februari 2009 sebesar 8,14 persen. Data BPS juga menunjukan bahwa Tingkat pendidikan tenaga kerja NTT juga sangat rendah yaitu lebih dari 70% berpendidikan SD kebawah, bahkan sebanyak 7,7% tenaga kerja NTT tidak pernah bersekolah. Dari sisi status pekerjaan, sebanyak 34% tenaga kerja NTT masuk kategori Pekerja tidak dibayar.
Dari aspek kesehatan, data UNICEF tahun 2009 menunjukan bahwa Di NTT lebih buruk lagi. Kesehatan masyarakat NTT paling jeblok. Untuk angka kematian ibu (AKI), NTT masih di atas rata-rata nasional. AKI NTT tercatat 554 per 100.000 kelahiran. Rata-rata nasional, 307 per 100.000 kelahiran. Angka Kematian Bayi (AKB) NTT juga terbilang tinggi, 62 per 1.000 kelahiran. Artinya sebanyak 62 bayi meninggal dari setiap 1.000 kelahiran hidup. Dua angka indikator kesehatan ini terbilang tinggi. Hampir semua kabupaten di NTT ikut menyumbang membengkaknya AKI dan AKB.
Sejalan dari realitas korupsi dan kemiskinan diatas, maka secara logika yang logis akan timbul pertanyaan: Apakah korupsi sebagai penyebab ataukah merupakan akibat dari kemiskinan...??? Dalam melihat korupsi dan kemiskinan di NTT sebagai suatu hubungan kausalitas (sebab-akibat) dari prespektif teoritis, memang tidaklah gampang karena akan timbul perdebatan yang hasilnya dapat diprediksi yakni “Akbar Tanjung” (Baca: Akan Berakhir Tanpa Ujung). Apalagi sudah menjadi rahasia umum bahwa hasil dari suatu perdebatan sangat tergantung dari latar belakang dan kepentingan dari pihak yang mengeluarkan argumen sehingga akan mengaburkan kondisi riil yang terjadi di NTT.
Pengalaman PIAR NTT dalam melakukan advokasi kasus korupsi dan persoalan kemiskinan menunjukan bahwa kemiskinan merupakan akibat dari korupsi. Buktinya, kasus-kasus korupsi disektor kesehatan seperti kasus SARKES yang terindikasi merugikan keuangan negara sebesar Rp. 3,38 Milyar (NB: Kasus ini Belum Dituntaskan), padahal kondisi kesehatan masyarakat NTT sangat memprihatinkan. Bukti lainnya adalah banyak kasus korupsi di sektor pendidikan pada hal pendidikan di NTT begitu terpuruk di level nasional.
Bertolak dari keyakinan penuh bahwa Korupsi merupakan salah satu penyebab utama kemiskinan di NTT, maka sudah seharusnya “Para Petinggi” di NTT dan segenap jajarannya, harus lebih serius dalam memberantas korupsi. Keberhasilan pemberantasan korupsi sangat ditentukan oleh ada tidaknya dukungan politik hukum dari “penguasa” di NTT. Dukungan politik hukum ini dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk kebijakan, yang kesemua itu bermuara pada ruang, keadaan, dan situasi yang mendukung program pemberantasan korupsi untuk bekerja lebih efektif. Disisi lain adanya dukungan politik hukum “penguasa” di NTT dapat juga mendorong partisipasi masyarakat untuk bersama-sama memberantas kourpsi. Pemberantasan korupsi di NTT juga, harus dilaksanakan lintas sektoral.
Dengan paradigma seperti ini, maka seharusnya dalam konsep pembangunan NTT tahun 2011 yang berthemakan: “Peningkatan kesejahteraan dan penguatan kapasitas perekonomian masyarakat melalui pembangunan berbasis desa dan kelurahan”, program pemberantasan korupsi harus menjadi prioritas urama. Pemberantasan korupsi juga harus menjadi mainstreaming dalam penyusunan Kebijakan Umum APBD Prov. NTT Tahun Anggaran 2011 & Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) APBD Prov. NTT Tahun Anggaran 2011.
Ironisnya, dalam Kebijakan Umum APBD Prov. NTT Tahun Anggaran 2011 & Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) APBD Prov. NTT Tahun Anggaran 2011 dengan proyeksi pendapatan sebesar Rp. 1.063.441.769.000,- (NB: dalam proyeksi ini pos lain-lain pendapatan yang sah diasumsikan nol/tidak ada), hanya terdapat 1 (satu) issue yang berkaiatan dengan pemberantasan korupsi yakni: Meningkatkan penegakan supremasi hukum dalam rangka menjelmakan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN serta mewujudkan masyarakat yang adil dan sadar hukum. Program utamanya adalah Program Penataan Kelembagaan dan Ketatalaksanaan; Program Penerapan Kepemerintahan Yang Baik; Program Peningkatan Kapasitas Aparatur Pemerintah. Dengan program utama seperti ini, maka aktivitas seperti yang sudah sering dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya diprediksi akan berulang kembali. Untuk itu, pertanyaannya adalah sudahkah para “petinggi” di NTT serius untuk memberantas korupsi…??? ONLY HEAVEN KNOWS…!!! (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian Pagi TIMOR EXPRESS, tanggal 6 Oktober 2010).
Penulis: Staf Divisi Anti Korupsi PIAR NTT