ADVOKASI ANGGARAN: Alternatif Dalam
Meminimalisir Terjadinya Korupsi
Oleh. Paul SinlaEloE
Korupsi pada
dasarnya merupakan budaya kekuasaan karena dilakukan oleh oknum-oknum yang
memiliki kekuasaan di lingkungan birokrasi pemerintahan dan pelaku swasta yang
bersekongkol dengan oknum-oknum tersebut. Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan apabila dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, Tentang
Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
korupsi anggaran diartikan
sebagai perbuatan setiap orang baik pejabat pemerintah maupun swasta yang
secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau korporasi
yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Menurut Gatot
Sulistoni, Ervyn Kaffah & Syahrul (2003), korupsi biasanya terjadi sejak
pemerintah mengumpulkan anggaran dari rakyat (pajak, iuran, retribusi, dsb)
sebagai penerimaan negara, hingga pada saat anggaran tersebut direalisasikan
sebagai anggaran pembangunan. Pada konteks NTT, pendapat yang demikian sejalan
dengan hasil audit BPK RI Perwakilan IV Denpasar No. 133/5/XIV/4/05/2004, tanggal
7 Mei 2004. Dalam dokumen ini, jelas terlihat bahwa seluruh Pemkab dan Pemkot
yang berada di NTT tidak becus dalam mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD). Bahkan terdapat indikasi korupsi.
Berkaitan dengan
realitas di atas dan mengingat bahwa sampai dengan bulan Agustus 2004, NTT
telah menjadi propinsi yang menempati posisi ke-6 terkorup di Indonesia (ICW,
2004), maka pemberantasan korupsi di NTT atau paling tidak meminimalisir
terjadinya korupsi di NTT, merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditunda.
Untuk
memberantas korupsi di NTT, bukanlah persoalan yang mudah karena merumuskan
strategi pemberantasan yang efektif, idealnya salah satu point yang harus diketahui
terlebih dahulu jumlah dari para koruptor secara pasti. Hal ini menjadi penting karena
seringkali strategi pemberantasan korupsi dirumuskan bersama-sama dengan para
koruptor. Sejalan dengan itu, karena sampai dengan saat ini tidak
seorang/lembagapun yang mengetahui jumlah dari para koruptor di NTT secara
pasti, maka meminimalisir terjadinya korupsi di NTT adalah suatu pilihan yang
bijaksana.
Salah satu satu
alternatif yang dapat dipergunakan untuk meminimalisisr terjadinya korupsi di
NTT adalah dengan cara melakukan advokasi anggaran (APBD). Advokasi anggaran
(APBD) adalah upaya untuk mempengaruhi kebijakan anggaran (APBD) agar kebijakan
anggaran (APBD) dapat pro rakyat dan tidak disalahgunakan oleh pejabat negara
baik atas nama kepentingan instansi, kelompok yang berkuasa maupun pribadi.
Advokasi
anggaran (APBD) dapat dilakukan melalui jalur Litigasi maupun Non Litigasi.
Jika kita memerangi para koruptor di NTT untuk meminimalisisr terjadinya
korupsi dengan cara melakukan advokasi anggaran (APBD) dari jalur Litigasi,
otomatis kita akan berhadapan dengan para koruptor lewat sebuah institusi
formal, yakni pengadilan, yang sarat dengan berbagai aturan yang mengikat. Pada
hal sudah menjadi rahasia umum bahawa kondisi sistem dan lembaga peradilan kita
tidak independent dalam melakukan kerja-kerja judicial. Belum lagi berbagai
aturan atau kebijakan yang ada pada saat ini, lebih memihak pada para koruptor.
Namun semua itu
tidak berarti bahwa kerja-kerja advokasi ditingkat Litigasi untuk memerangi
para koruptor menjadi tidak penting. Menurut Stef Mira Mangngi (2001), Justru
dalam kondisi politik, hukum dan ekonomi seperti ini, kasus-kasus korupsi yang
diadvokasi lewat jalur Litigasi akan menjadi semacam test case sekaligus
untuk membangun opini publik.
Sedangkan
apabila kita melakukan perjuangan melawan para koruptor di NTT untuk
meminimalisir terjadinya korupsi dengan cara advokasi anggaran (APBD) melalui
jalur Non Litigasi, maka kita akan melakukan perlawanan terhadap para koruptor
di NTT dengan suatu kombinasi permainan yang lebih kompleks dan bersifat
politis.
Bertolak
argumen yang demikian, maka dalam tulisan ini akan diuraikan mengenai
bagaimana sehrusnya advokasi anggran (APBD) pada jalur Non Litigasi,
dilaksanakan. Secara sederhana langkah-langkah advokasi anggaran (APBD) melalui
jalur Non Litigasi dapat dilihat dalam bagan berikut ini:
Bagan diatas ini
pada dasarnya merupakan skema dasar dalam melakukan advokasi pada jalur Non
Litigasi. Dalam rangka meminimalisir terjadinya korupsi di NTT dengan cara
melakukan advokasi anggaran (APBD) melalui jalur Non Litigasi, Sri Mastuti
& Dian Kartikasari (2001) berpendapat bahwa langkah-langkah yang tertera
dalam bagan di atas ini idealnya harus dikembangkan dan di jabarkan, sebagai
berikut: PERTAMA,
TENTUKAN ISU.
Dalam advokasi anggaran, ada banyak isu yang dapat dimainkan, seperti:
kebijakan yang berkaitan dengan pengalokasian anggaran, kebijakan struktur
anggaran, kebijakan pengelolaan sumber-sumber penerimaan budgeter dan non
budgeter, kebijakan tender proyek, kebijakan kontrol dan akuntabilitas
anggaran, dll.
KEDUA, TENTUKAN
TARGET YANG INGIN DICAPAI.
Untuk menentukan target yang ingin dicapai, hendaknya harus diperhatikan prinsip-prinsip
sebagai berikut: Pertama, terfokus. Artinya, hasilnya yang diharapkan
harus spesifik dan jelas. Kedua, terukur. Maksudnya, hasil yang ingin
dicapai harus memiliki indikator yang jelas. Ketiga, rasional dan
realistis. Artinya, sasaran atau hasil yang ingin dicapai dapat dilaksanakan
dan diwujudkan. Keempat, waktu. Artinya, harus ada patokan waktu untuk
mewujudkan target yang ingin dicapai.
KETIGA, MENGUMPULKAN DATA. Data atau Informasi yang harus
dicari dan dikumpulkan dalam rangka melakukan advokasi anggaran (APBD) ialah
siklus penganggaran dan jadwalnya; Siapa yang terlibat dan berperan setiap
tahapan penganggaran; Dapatkan dokumen-dokumen anggaran (pidato pengantar nota
keuangan, nota keuangan, Propeda, Renstra, Poldas, Repetada, RASK, RAPBD, APBD,
nota perhitungan, LPJ, SKO, dll).
KEEMPAT, MELAKUKAN ANALISIS DATA. Analasis data dapat difokuskan
diantarnya pada: (a). Apakah proses pembahasan
dilakukan secara terbuka dan partisipatif?; (b). Apakah alokasi anggaran yang diajukan sudah proporsional, rasional,
efisien, efektif, akuntabel, dan transparan; (c). Dimana titik lemah dan
titik kuat dari APBD. Alangkah baiknya jika kita dapat melakukan analisis
ketika masih berupa draft, karena peluang untuk merubahnya akan lebih terbuka,
dibanding ketika telah disahkan; (d). Dimana peluang-peluang untuk mempengaruhi
kebijakan itu. Dalam menganalisis anggaran
(APBD), harus dibuat catatan kritis
berdasarkan aspek efisiensi (rasional anggaran=input & output), aspek normatif (kepatutan dengan
peraturan terkait), aspek efektivitas (input, outcome, benefit
& impact), sekaligus juga harus di buat rekomendasi dan masukan berdasarkan
permasalahan yang ditemukan.
KELIMA, MENENTUKAN
KONSTITUENSI DAN PENGORGANISASIAN. Konstituensi adalah sekelompok orang yang memiliki
kepentingan kelompok yang kita wakili dan orang-orang dari mana kita mendapat dukungan
politik. Konstituensi ini bisa beragam kelompok kepentingan, misalnya:
komunitas rakyat miskin, kelompok perempuan, kelompok petani, kelompok
pengungsi, dan lain sebagiannya. Sesudah kita menentukan konstituensi, idealnya
harus dilakukan pengorganisasian. Pengorganisasian merupakan usaha untuk
membangun kesadaran kritis dari konstituensi sehingga mereka dapat memahami
secara kritis akan lingkungannya serta mampu mengambil tindakan yang mandiri,
independent dan merdeka (tanpa paksaan) dalam rangka mengatasi persoalan yang
dihadapi.
Dalam
pengorganisasian untuk advokasi anggaran (APBD), yang harus dilakukan oleh
organizer adalah bangunkan kesadaran konstituensi dengan data, artinya hasil
analisis yang telah dilakukan wajib disampaikan pada mereka dan diskusikan
secara langsung dengan mereka (terutama tokoh-tokoh kuncinya). Pengorganisasian
untuk advokasi anggaran (APBD), harus juga meliputi pembentukan sistematika
kerja dalam rangka mencegah terjadinya korupsi. Dalam pengertian ini
pengorganisasian tidak selalu berarti formal. Pengorganisasian dapat dilakukan
dengan mendorong pembentukan organisasi-organisasi baru dan membangun
koordinasi/jaringan kerja.
KEENAM, ANALISIS POTENSI DAN ANCAMAN. Dua hal yang
penting untuk dilakukan dalam menganalisis potensi adalah: Analisis sumbrdaya
manusia dan analisis sumberdaya anggaran. Sedangkan dalam menganalisis ancaman,
satu hal yang tidak boleh diabaikan adalah analisis resiko. Ini penting
diperhatikan, mengingat kerja advokasi termasuk salah satu pekerjaan yang penuh
dengan resiko. Apalagi tidak semua orang dapat menerima apa yang menjadi
tuntutan kita. Karena itu, sebaiknya sejak awal kita sudah menyiapkan diri
untuk menghadapainya, termasuk ancaman teror, penculikan maupun tuntutan hukum
yang mungkin akan diajukan kepada kita.
KETUJUH, BERKOALISI/BERJEJARING. Advokasi
anggaran (APBD) harus dilakukan secara berjaringan/berkoalisi. Sebelum
memutuskan untuk berkoalisi, lihatlah terlebih dahulu, apakah koalisi sejenis
sudah ada atau belum. Kalau sudah ada, cobalah untuk mempertimbangkan bergabung
dalam koalisi tersebut. Jika ternyata kita merasa tidak dapat bersinergi dengan
koalisi yang ada, maka bangunlah koalisi sendiri. Hal-hal yang perlu di
pertimbangkan sebelum memutuskan untuk bergabung dalam suatu koalisi adalah: (a).
Apakah anggota dalam koalisi tersebut mempunyai reputasi yang baik?; (b).
Siapa yang berperan (Charge) dalam koalisi? Apakah kelompok/organisasi
yang ada dalam koalisi dapat bekerja sama dengan anda? Apakah mereka mempunyai
skill untuk memimpin?; (c). Apa tujuan, strategi dan pendekatan yang
dipakai oleh koalisi? Apakah ada konsensus antar anggota yang kuat dalam
persoalan yang menjadi fokus advokasi?; (d). Apakah anggota dari koalisi
mempunyai hubungan yang baik?; (e). Apa koalisi mempunyai sumber daya
yang memadai untuk melancarkan agendanya?; (f). Peran apa yang
ditawarkan pada organisasi anda sebagai anggota dari koalisi. Sedangkan untuk
membangun sebuah koalisi pertama-pertama tanyakan terlebih dahulu pada kolega
anda, apakah mereka mempunyai cukup waktu, energi dan komitmen yang dibutuhkan
untuk suatu koalisi. Kemudian identifikasikanlah organisasi-organisasi yang
bisa diajak berkoalisi.
Dalam memilih
rekan yang akan diajak untuk membangun suatu koalisi, hal-hal yang mesti
dijadikan pertimbangan adalah: (a). Bagaimana visi mereka?; (b).
Apakah ada pertentangan ideologi?; (c).
Apa potensi yang mereka miliki dan apa potensi yang lembaga kita miliki?; (d).
Keuntungan-keuntugan apa yang dapat diperoleh jika kita melakukan koalisi
dengan lembaga tersebut?; (e). Hal-hal apa yang jadi penghambat? Untuk
memastikan bahwa koalisi yang kita bangun dapat bekerja secara efektif, maka
perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut : (a). Mulai dengan membangun
kepercayaan; (b). Harus ada kejelasan dalam pembagian kerja yang
didasarkan atas potensi masing-masing lembaga; (c). Adanya kesepakatan
antara anggota untuk memperjuangkan suatu isu untuk mencapai suatu tujuan yang
ditetapkan bersama; (d). Tetapkan fokus terhadap isu; (e).
Membuat aturan main yang disepakati bersama.
KEDELAPAN, MENGIDENTIFIKASI
PELUANG DAN HAMBATAN.
Dalam proses penyususnan anggaran, ada empat peluang yang dapat
dimanfaatkan untuk melakukan advokasi anggaran, yakni: Pertama, pada
tahap pembuatan draft anggaran. Kedua, pada tahap pembahasan anggaran. Ketiga,
pada tahap implementasi anggaran. Keempat, pada tahap
evaluasi anggaran. Untuk mengidentifikasi hambatan, yang perlu diketahui adalah
apa dan siapa yang menjadi penghambat. Kemudian menyiapkan solusi untuk
mengantisipasi dan mengatasinya.
KESEMBILAN, MENENTUKAN
STRATEGI ADVOKASI.
Kejelian dalam memilih strategi advokasi sangat menentukan keberhasilan
dalam melakukan advokasi anggaran. Kesalahan dalam menentukan strategi dapat
berakibat fatal sampai pada gagalnya upaya advokasi kita. Secara garis besar
strategi advokasi pada jalur Non Litigasi dapat dibagi menjadi dua strategi,
yaitu: Pertama, strategi proaktif, yang mana diantaranya adalah lobby, Hearing,
dan kampa. Kedua, strategi yang reaktif yang meliputi demonstrasi,
legal standing, class action, boikot, revolusi, dll. KESEPULUH, MELAKSANAKAN
AKSI. Aksi
yang dilaksanakan, idealnya harus berdasarkan strategi advokasi dan harus
dilaksanakan secara profesional dan tepat waktu. Jika tidak, maka aksi tersebut
dapat dipastikan tidak akan mencapai hasil yang optimal.
KESEBELAS, MONITORING DAN
EVALUASI. Monitoring
dan evaluasi (Monev), ini harus ditujukan untuk mengetahui apakah strategi yang
dipergunakan cukup efektif atau harus dirubah dan apakah isu ini masih dapat
diteruskan atau tidak. Untuk melakukan Monev, ada sejumlah prinsip yang harus
dipegang teguh, yakni: Pertama, Objektif. Artinya, pelaksanaan monev harus
dilakukan atas dasar indikator-indikator yang sudah disepakati tanpa
tndensi apriori. Kedua, Transparan (Keterbukaan). Pelaksanaan
monev harus dilakukan secara terbuka dan diinformasikan kepada seluruh pihak
yang terkait dengan pelaksanaan monev ini. Ketiga,
Partisipatif. Pelaksanaan monev harus melibatkan
secara aktif dan interaktif bagi para pelaku. Keempat, Akuntabilitas (Tanggung
Gugat). Pelaksanaan monev dapat dipertanggungjawabkan secara
internal maupun eksternal. Kelima, Tepat Waktu. Pelaksanaan monev harus sesuai
waktu yang dijadwalkan. Keenam, Berkesinambungan. Artinya, hasil
monev harus dipakai sebagai
umpan balik pempurnaan pada kebijakan berikut.
Pada akhirnya
harus diingat bahwa keseluruhan langkah dalam melakukan advokasi anggaran
(APBD) melalui jalur Non Litigasi untuk meminimalisir terjadinya korupsi di NTT
sebagaimana yang telah dipaparkan di atas ini, hendaknya dipahami secara
dinamis. Artinya langkah-langkah ini tidaklah bersifat kaku serta dapat
dikembangkan dan diterpkan sesuai kebutuhan. (Tulisan ini
pernah dipublikasikan dalam HU. KURSOR, pada tanggal 3 Desember 2004)
-----------------------
Penulis
adalah Staf Div. Anti Korupsi PIAR NTT.