CATATAN PENGANTAR
Sesuai
dengan Term of Reference (TOR) yang
diberikan oleh penyelenggara kegiatan kepada saya, maka pada kesempatan ini
saya diminta untuk menyampaikan pemikiran/catatan kritis mengenai: “Proses Perekrutan Pimpinan Badan-Badan Lain Terkait Dengan Kekuasaan Kehakiman (POLRI, KEJAKSAAN, KPK, KY dan KOMNAS HAM) Dalam Sistem Ketatanegaraan”. Namun tanpa seijin penyelenggara
kegiatan, saya merubah judulnya menjadi sebagaimana yang tertera dalam makalah
ini. Untuk itu saya mohon maaf.
Agar
diskusi ini lebih terfokus pada judul, maka makalah ini akan dijabarkan dengan
sistematika sebagai berikut: Pertama,
Catatan Pengantar. Kedua, Memahami
Negara Hukum. Ketiga, Rekrutmen
Pemimpin POLRI. Keempat, Rekrutmen
Pemimpin Kejaksaan. Kelima, Rekrutmen
Komisioner (KPK, KY dan KOMNAS HAM).
Keenam, Catatan Penutup.
MEMAHAMI NEGARA HUKUM
Secara
embrionik, gagasan negara hukum telah dikemukakan oleh Plato, ketika ia mengintroduksi konsep Nomoi, sebagai karya
tulis ketiga yang dibuat di usia tuanya. Dalam Nomoi, Plato mengemukakan
bahwa penyelenggaraan negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan
(hukum) yang baik. Gagasan Plato
tentang negara hukum ini semakin tegas ketika didukung oleh muridnya,
Aristoteles, yang menuliskannya dalam buku Politica. Aristotoles mengemukakan ide Negara
hukum yang dikaitkannya dengan arti Negara yang dalam perumusannya masih
terkait kepada “polis”. Bagi Aristoteles,
yang memerintah dalam Negara bukanlah manusia, melainkan pikiran yang adil, dan
kesusilaanlah yang menentukan baik buruknya suatu hukum.
Dalam
perkembangannya, istilah negara hukum telah digunakan
berbeda-beda di negara-negara
Eropa dan Amerika. Negara Jerman dan Belanda
mempergunakan istilah rechtsstaat sebagai negara hukum, di negara
Perancis negara hukum dikenal dengan istilah etat de droit, di negara Spanyol menggunakan istilah estado de
derecho, sedangkan di Negara Italia negara hukum digunakan dalam istilah stato
di diritto. Berbeda
halnya dari negara-negara tersebut, negara Inggris menggunakan istilah negara
hukum dengan istilah the state according to law atau according to the
rule of law. Di Amerika Serikat istilah ini dikembangkan menjadi
jargon, yaitu The Rule of Law, and not of Man. Istilah yang berlaku di
Amerika Serikat ini untuk menggambarkan pengertian bahwa hukumlah yang
sesungguhnya memerintah atau memimpin dalam suatu negara, bukan manusia atau
orang.
Terlepas
dari beragamnya pemaknaan istilah negara hukum, namun secara sederhana negara hukum
dapat dipahami sebagai negara yang penyelenggaraan kekuasaan pemerintahannya
didasarkan atas hukum. Dalam negara hukum, kekuasaan menjalankan pemerintahan
harus berdasarkan kedaulatan hukum (supremasi
hukum) dan bertujuan untuk menjalankan ketertiban hukum dengan menjunjung
tinggi Hak Asasi Manusia.
Suatu negara jika disebut
sebagai negara hukum3) minimal memiliki ciri sebagai berikut: Pertama, Adanya pemenuhan, penghormtan dan
perlindungan terhadap hak-hak asasi. Kedua,
Terdapat Peradilan yang bebas dari suatu pengaruh kekuasaan atau kekuatan lain
dan tidak memihak. Ketiga, Adanya
jaminan kepastian hukum dimana ketentuan hukumnya dapat dipahami dan
dilaksanakan serta aman dalam melaksanakannya.
REKRUTMEN PEMIMPIN POLRI
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002, tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, telah mememerintahkan agar
Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat. Selain itu, di tegaskan pula bahwa Calon Kapolri adalah
Perwira Tinggi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang masih aktif dengan
memperhatikan jenjang kepangkatan dan karier.
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002, tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, juga mengamantkan bahwa
usul pengangkatan dan pemberhentian Kapolri diajukan oleh Presiden kepada Dewan
Perwakilan Rakyat disertai dengan alasannya. Untuk persetujuan atau penolakan
Dewan Perwakilan Rakyat terhadap usul Presiden harus diberikan dalam jangka
waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal surat Presiden
diterima oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak
memberikan jawaban dalam rentang waktu yang telah ditentukan, maka calon yang
diajukan oleh Presiden dianggap disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Jika dalam
keadaan mendesak, maka Presiden dapat memberhentikan sementara Kapolri dan
mengangkat pelaksana tugas Kapolri dan selanjutnya dimintakan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.
Pengangkatan Kapolri yang selama ini
dilakukan presiden barangkali terkesan sebagai peristiwa pemerintahan biasa.
Namun jika dicermati kepentingan yang ditaruh oleh banyak pihak pada proses rekrutmen pemimpin
POLRI ini, maka akan jelas terlihat bahwa pengangkatan Kapolri ternyata telah
berubah menjadi peristiwa politik.
Momentum pengangkatan Kapolri menjadi
ajang bagi segenap kekuatan politik menunjukkan hegemoninya. Semua pihak
bermanuver supaya proses berjalan sesuai kehendaknya. Hal ini dapat dimaklumi
karena masyarakat, pemerintah, maupun elit politik memiliki kepentingan terhadap
Polri berbeda-beda. Masyarakat menuntut Polri total menjalankan fungsi
pengamanan sebagai pengayom, pemerintah berkepentingan menggunakannya untuk
meligitimasi kekuasaan, sedangkan elit politik bermaksud menggunakannya sebagai
pengawal kepentingan-kepentingan politisnya.
Dengan model perekrutan seperti ini,
maka tidaklah mengherankan apabila usulan Kapolri biasanya sudah mencantumkan
”jago” yang dikehendaki oleh Presiden atau calon yang telah disepakati bersama
antara DPR dan Presiden. Itulah mengapa terkadang didapati promosi dan kenaikan
pangkat dari seorang calon Kapolri diperoleh secara mendadak.4)
Untuk menghindari hal tersebut, presiden
dalam menjalankan hak prerogatifnya sebaiknya tidak bekerja sendiri. Presiden
perlu membentuk tim independen yang terdiri dari berbgai kalangan untuk
menetapkan kriteria sekaligus merekomendasikan nama calon Kapolri. Selain
perwakilan dari POLRI tim ini harus diisi oleh perwakilan LSM pemantau polisi,
praktisi hukum, dan Kompolnas. Mekansime ini patut dipertimbangkan untuk
menghindari subjektifitas presiden yang berlebihan sekaligus juga dimaksudkan
untuk mengurangi intervensi dari lembaga politik.
REKRUTMEN PEMIMPIN KEJAKSAAN
Secara yuridis, Kejaksaan Republik
Indonesia termasuk salah satu badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman.5) Untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan
Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan
Negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak mana pun.
Pada
sisi yang lain, pasal 19 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, tentang Kejaksaan
Republik Indonesia mengamantkan bahwa Jaksa Agung adalah pejabat Negara yang
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Sementara pasal 22 Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2004, juga secara tegas menyatakan bahwa Jaksa Agung
diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena meninggal dunia, permintaan
sendiri, sakit jasmani atau rohani terus menerus, berakhir masa jabatannya, dan
tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 21
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, tentang Kejaksaan Republik Indonesia.6) Pemberhentian dengan hormat ini harus ditetapkan dengan
keputusan Presiden.
Bertolak
dari realita yang demikian, maka yang menjadi pertanyaannya adalah sejauh mana
independensi dari kejaksaan jika pengangkatan dan pemebrhentian pemimpinnya
dilakukan oleh presiden? Pada konteks ini, pengangkatan dan pemebrhentian
pimimpinan
kejaksaan sebaiknya diatur dalam sebuah peraturan perundang-undangan yang
merupakan norma hukum tertinggi dalam sebuah negara, yaitu konstitusi. Dengan
diatur dalam konstitusi diharapkan pengangkatan dan pemberhentian pimpinan
kejaksaan akan lebih terjamin independensinya dari pengaruh-pengaruh kekuasaan
politik presiden atau pengaruh dari mana pun juga datangnya.
Langkah
lainnya yang bisa menjadi pertimbangan untuk menjamin independensi dari lembaga
kejaksaan adalah presiden dalam menjalankan prerogatifnya sebaiknya tidak
bekerja sendiri. Presiden perlu membentuk tim independen yang terdiri dari
berbgai kalangan untuk menetapkan kriteria sekaligus merekomendasikan nama
calon pimpinan kejaksaan. Mekansime ini patut dipertimbangkan untuk menghindari
subjektifitas presiden yang berlebihan sekaligus juga dimaksudkan untuk
mengurangi intervensi dari lembaga politik.
REKRUTMEN KOMISIONER
(KPK, KOMISI YUDISIAL dan KOMNAS HAM)
(KPK, KOMISI YUDISIAL dan KOMNAS HAM)
Dalam
proses transisi dari rezim otoritarian menuju rezim yang lebih demokratis di
suatu Negara, biasanya dibutuhkan begitu banyak state independent bodies
yang berguna sebagai penunjang tugas negara di tengah kompleksitas kebutuhan
ketatanegaraan. Sebagai konsekuensi logisnya dibutuhkan komisioner yang berkualitas sehingga mereka
benar-benar mampu mengawal lembaga negara independen yang dapat menunjang
kehidupan bernegara.
Untuk
mendapatkan mendapatkan komisioner yang benar-benar bermutu, punya integritas,
punya kapabilitas baik secara keilmuan dan keberanian, serta punya
akseptabilitas yang kuat di publik, diperlukan proses rekrutmen yang lebih
baik. Masalah yang terlihat dalam proses seleksi komisioner setidaknya dari
berbagai proses seleksi yang sudah ada selama ini adalah Pertama, perihal open recruitment yang dikenakan pada
kandidat calon komisioner. Model rekrutmen terbuka sebenarnya cukup menarik
untuk mendapatkan calon yang baik. Namun, model terbuka ini membuat para
pelamar bukan hanya orang yang benar-benar mau memimpin lembaga negara
independen untuk perbaikan, tetapi malah kebanyakan pencari kerja. Model ini
berimplikasi pada anggaran untuk melakukan tracking rekam jejak. Dengan
alur pikir seperti ini, model rekrutmen terbuka untuk para komisioner layaknya
diganti dengan model rekrutmen khusus patut dipikirkan dan dipergunakan.
Kedua, persoalan politik di fit and proper test. Wajah fit
and proper test telah mengubah kemungkinan mendapatkan orang terbaik bagi
publik, tetapi hanya terbaik bagi para politisi. Pada prinsipnya, fit and
proper test yang selama ini ada membutuhkan sentuhan perbaikan. Kalaupun mekanisme Fit and proper test
masih diperlukan dalam suatu proses rekrutmen, maka model panel ahli akan jauh
lebih tepat untuk menutup peluang pembunuhan karakter oleh DPR yang terjadi
selama ini.
CATATAN PENUTUP
Demikianlah sumbangan pemikiran saya
mengenai Rekrutmen Pimpinan Penegak Hukum. Kiranya bermanfaat dan ini dapat
mengantarkan kita pada suatu diskusi yang lebih luas.
DAFTAR BACAAN
1. Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga
Negara Pasca Reformasi, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2010.
2. Nurmadjito, Refleksi Hukum Birokrasi, Penerbit Indonesiasatu Publisher,
Jakarta, 2009.
3. Paul SinlaEloE, Menggugat Profesionalisme Jaksa,
Artikel yang dipublikasikan dalam Harian Pagi Timor Express, tanggal 19
Februari 2008.
4.
Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakan Hukum,
Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2011.
5.
Ridwan HR, Hukum
Adminstrasi Negara, Penerbit UII Press, Yogyakarta, 2003.
6.
Zainal
Arifin Mochtar, Memperbaiki Seleksi
Komisioner Lembaga Independen, Artikel yang dipublikasikan dalam http://metrotvnews.com,
tanggal 2 Juni 2010.
7. Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999, tentang Hak Asasi Manusia
8. Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000, tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
9. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
10. Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002, tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
11. Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2004, tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
12. Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2011, tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004,
Tentang Komisi Yudisial.
13. KEPutusan PRESiden Nomor 50 Tahun
1993, KOMNAS HAM.
14. Peraturan
Presiden Nomor 52 Tahun 2010, tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Kepolisian Negara RI.
CATATAN KAKI:
1)
Materi ini dipresentasikan dalam Kegiatan
Deseminasi Rekomendasi Kebijakan Hukum Nasional yang berthema: “Perekrutan Pimpinan Badan-Badan Lain Terkait Dengan Kekuasaan Kehakiman (POLRI, KEJAKSAAN, KPK, KY dan KOMNAS HAM) Dalam Sistem Ketatanegaraan”, yang dilaksanakan oleh Komisi Hukum
Nasional (KHN), di Restoran Nelayan-Kota Kupang, pada tanggal 12 November 2012.
2)
Staf Div. Anti Korupsi PIAR NTT.
3)
Secara Konstitusional, pasal 1 ayat (3) UUD 1945 secara tegas menyebutkan bahwa
Indonesia adalah negara hukum. Sebagai sebuah negara hukum sudah seharusnya
kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakan hukum dan keadilan (pasal 24 ayat (1) UUD 1945).
4)
Proses pengangkatan Komjen (Pol) Timur Pradopo sebagai Kapolri merupakan fakta
yang tidak dapat dipungkiri. unculnya nama Komjen (Pol) Timur Pradopo sebagai
calon tunggal Kapolri yang diusulkan Presiden SBY ke DPR RI terkesan
tergesa-gesa dan cenderung mengabaikan 2 (dua) nama calon Kapolri yang sebelumnya
diusulkan Kompolnas, yakni Komjen (Pol) Nanan Sukarna dan Komjen (Pol) Imam
Sudjarwo. Pengangkatan Komjen (Pol) Timur Pradopo sebagai Kapolri tak diduga
banyak kalangan. Pasalnya, dalam proses seleksi awal yang dilakukan Komisi
Kepolisian Nasional (Kompolnas), nama Timur Pradopo tidak masuk dalam nominasi
calon Kapolri. Dalam proses seleksi Kompolnas hanya muncul 2 (dua) nama calon
kuat Kapolri, yakni Komjen (Pol) Nanan Sukarna dan Irjen (Pol) Imam Sudjarwo.
Saat diusulkan sebagai calon Kapolri, Komjen (Pol) Nanan Sukarna masih menjabat
sebagai Irwasum, sedangkan Irjen (Pol) Imam Sudjarwo menjabat sebagai Kepala
Lemdiklat. Dengan keluarnya Peraturan Presiden No. 52 Tahun 2010 tentang
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara RI, maka pangkat Kalemdiklat
harus Komjen, sehingga Kapolri Bambang Hendarso mengusulkan kenaikan pangkat
Irjen (Pol) Imam Sudjarwo menjadi Komjen. Penetapan Komjen (Pol) Timur Pradopo
sebagai Kapolri sempat menimbulkan banyak pertanyaan. Munculnya ungkapan “Pagi
bintang dua, sore bintang tiga dan esoknya bintang empat” merupakan gambaran
proses kenaikan pangkat yang sangat begitu cepat. Sebelumnya, Timur Pradopo
menjabat Kapolda Metro Jaya selama 4 (empat) bulan dan selanjutnya diangkat
menjadi Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan (Kabaharkam) selama 11 hari. Selama
menjabat Kapolda Metro Jaya tidak ada prestasi menonjol yang ditunjukkan Timur
Pradopo, justru terjadi aksi kerusuhan antar preman yang merenggut 3 korban
jiwa di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Meskipun berdasarkan UU No. 2
tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, Presiden memiliki kewenangan untuk
menyetujui kenaikan pangkat level Jenderal dan mengangkat Kapolri, namun
kebijakan tersebut tentunya dapat berdampak kurang baik bagi pembinaan SDM
Polri. Proses kenaikan pangkat yang begitu cepat tanpa terlebih dahulu
dibuktikan dengan prestasi akan menjadi contoh kurang baik bagi proses kenaikan
pangkat personil Polri dibawahnya.
5)
Walaupun keberadaan kejaksaan tidak diatur secara tegas dalam UUD 1945, namun
secara tersirat/implisit pasal 24 ayat (3) UUD 1945 juga mengakui keberadaan
badan/lembaga lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Oleh
karena Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2004, tentang Kejaksaan Republik Indonesia mewajibkan
Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di
bidang penuntutan yang nota bene merupakan bagian dari kerja-kerja penegakan
hukum yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman.
6)
Pasal 21 Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2004, tentang Kejaksaan Republik Indonesia menegaskan bahwa Jaksa Agung dilarang
merangkap menjadi: Pejabat negara lain atau penyelenggara negara menurut
peraturan perundang-undangan; advokat;
wali, kurator/pengampu, dan/atau pejabat yang terkait dalam perkara yang sedang
diperiksa olehnya; pengusaha, pengurus atau karyawan badan usaha milik
negara/daerah, atau badan usaha swasta; notaris, notaris pengganti, atau
pejabat pembuat akta tanah; arbiter, badan atau panitia penyelesaian sengketa
yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan; pejabat lembaga
berbentuk komisi yang dibentuk berdasarkan undang-undang; atau pejabat pada
jabatan lainnya yang ditentukan berdasarkan undang-undang.