TEOLOGI POLITIK
Oleh Paul SinlaEloE
Teologi politik
pemaknaannya tidak persis sama dari zaman ke zaman. Teologi politik dalam
pengertiannya yang sekarang, muncul pada tahun 1960-an sebagai suatu gerakan di
antara sarjana-sarjana Katholik Roma dan Protestan yang mengembangkan suatu
hermeneutik baru dalam pemikiran Kristen untuk menanggapi keadaan dan
masalah-masalah modern. Dengan menekankan pada refleksi terhadap konteks sosial
dan historis, teologi politik mengkritik bentuk-bentuk metode teologi yang
lain, yakni: Pertama, Thomisme tradisional dengan doktrinnya tentang
alam dan hukum alam dipandang sebagai anti sejarah. Kedua, Thomisme
transenden (Karl Rahner) yang menekankan subyek dianggap anti politik. Ketiga,
Pandangan Lutheranisme dengan teori dua kerajaan dan hukum dunia dikritik
karena bersifat dualistik dan statis. Keempat, Ajaran Protestan modern
(Rudolf Bultmann) dengan keteguhan eksistensialismenya dianggap individualis.
Terlepas dari
pemaknaan terhadap teologi politik dari sudut pandang yang berbeda-beda, namun
secara sederhana teologi politik pada tataran implementasi dapat dimaknai dalam
2 (dua) konteks sebagaimana yang diajarkan oleh F. Schüssler Fiorenza, yakni: Pertama, teologi politik dipahami sebagai pemakaian
lambang-lambang keagamaan, baik secara implisit maupun eksplisit, untuk
menginterpretasikan, membenarkan, atau mengkritisi peristiwa-peristiwa, sistem-sistem,
atau unit-unit politis. Kedua, teologi
politik berperan sebagai teologi fundamental yang menganalisa hubungan antara
pola-pola politik (political pattern)
dan kepercayaan keagamaan (religious
belief). Hubungan yang saling menguntungkan ini dipelajari untuk menyingkap
makna, kebenaran, dan praktek-praktek simbol-simbol keagamaan.
Para
penganjur pertama teologi politik berasal dari Jerman, dengan tokoh utamanya:
Johannes Baptist Metz, Jürgen Moltmann, Dorothee Soelle, Helmut Peukert. Ajaran
teologi politik ini kemudian dikembangkan dan berkembang di negara-negara Barat
lainnya seperti: di Spanyol dengan tokoh utamanya Alfredo Fierro, di Kanada oleh
Charles Davis, di Amerika oleh Matthew Lamb & John Cobb.
Gerakan
untuk mendukung ajaran teologi politik ini sangat kuat dipengaruhi oleh para
pembaharu Marxisme seperti: Ernst Bloch, Theodor W. Adorno, Max Hoekheimer,
Jürgen Habermas. Para pembaharu Marxis ini menyatukan konsep praktis Marxisme
dengan ajaran Kristen tentang eskatologi sebagai dasar untuk membangun
pengertian-pengertian tentang relasi antara dunia dan Allah, dosa dan
keselamatan, gereja dan masyarakat. Meskipun berorientasi praktis, teologi
politik telah berkembang menjadi suatu pendekatan sistematis terhadap etika.
Sejalan dengan itu, maka dalam tulisan ini akan di uraikan beberapa thema
khusus etika yang menonjol di dalam karya-karya di bidang ini.
Pertama, Agen Moral Adalah Subyek
Politik. Menurut
ajaran teologi politik, dunia bukanlah sebuah kosmos (suatu keadaan yang
sempurna), dimana setiap satuan menempati suatu tempat yang merupakan kodratnya
dan yang dimaksudkan untuk menjalankan suatu fungsi tertentu. Ia bukanlah suatu
proses sosio-historis yang petunjuk
dan bentuk tetapnya telah ditentukan sejak semula. Karena itu, untuk menjadi
manusia, bukanlah dengan menjadi bagian dari suatu hukum dunia, tetapi menjadi
subyek, yang dalam interaksinya dengan orang lain diikutsertakan dalam pembentukan
masa depan yang kreatif. Dengan dasar ini, teologi politik adalah kritik, baik
secara tidak langsung terhadap determinisme yang menekankan pendekatan IPTEK
yang berlebihan terhadap masalah-masalah sosial, dan secara eksplisit terhadap
keterbatasan materialisme historis. Selain itu, teologi politik adalah kritik
terhadap semua struktur sosial yang meniadakan partisipasi politik orang-orang
dari berbagai kelas sosial sebagai dehumanisasi dan mendorong partisipasi dalam
perjuangan sejarah emansipasi.
Kedua, Janji Allah Sebagai Dasar
Keputusan Moral. Dari
perspektif teologi politik, sifat dari kehadiran Allah dalam dunia digambarkan
dalam kematian dan kebangkitan Kristus, yang secara dialektis berhubungan
dengan keadaan sekarang dan yang akan datang. Dalam penyaliban, Allah
dimengerti sebagai hadir dalam penderitaan semua ciptaan. Tanggapan manusia
terhadap aspek kehadiran Allah ini secara jelas nampak dalam terminologi
empati. Dalam kebangkitan, Allah dimengerti sebagai yang akan datang , sebagai
janji yang efektif dari suatu kerajaan yang penuh damai dan keadilan.
Kebangkitan adalah suatu simbol eskatologis dalam kontradiksi dimana kondisi
aktual dunia sekarang dilihat dan dinilai untuk apa ia ada. Janji Allah yang
demikian berfungsi dalam dua arah: sebagai dasar bagi pembentukan keputusan
moral dan dasar dari pengharapan bahwa semua struktur dunia dapat
ditransformasi.
Ketiga, Penderitaan Sebagai Masalah
Moral Dari Sejarah. Dalam
teologi politik, konsep penderitaan merupakan pokok yang menggambarkan pengalaman
manusia dalam sejarah. Penderitaan, dalam aspek moralnya, disebabkan dan
ditopang oleh dosa sosial, oleh tradisi-tradisi dan berbagai institusinya yang
menguntungkan beberapa orang, sementara sebagian lainnya tertekan dan mengalami
dehumanisasi. Moltmann mencirikan lima lingkaran setan kematian yang
melambangkan penderitaan dalam masyarakat kontemporer: (1). Kemiskinan
dalam bidang ekonomi. (2). Dominasi suatu kelas/bangsa terhadap lainnya
dalam kehidupan politik. (3). Struktur alienasi antara ras, gender,
kelompok etnis dalam hubungan kebudayaan. (4). Polusi industri di bidang
ekologi. (5). Ada perasaan dimana orang merasa diri tak berarti dan
kehilangan tujuan hidup. Menurut Metz, kelima lingkaran setan ini secara
bersama-sama merupakan tanda dari penyingkapan masyarakat yang samar-samar.
Menurut Lamb, lingkaran ini mendasari suatu dunia penderitaan yang membutuhkan
solidaritas dengan para korban.
Keempat, Solidaritas Sebagai Tujuan
Pokok Tindakan Moral. Ajaran
teologi politik memahami masalah moral adalah hasil dosa sosial dan karenanya
tindakan moral harus diarahkan kepada transformasi sosial. Tindakan moral
berawal dari solidaritas terhadap penderitaan, dengan orang miskin dan
tereksploitasi, tetapi motivasi pokoknya ialah keselamatan menyeluruh dari
seluruh dunia (Soelle, Cobb). Dengan demikian tindakan moral dengan sendirinya
tidak cukup efektif untuk mempengaruhi penyelamatan dalam pengertiannya yang
mistik (sebenarnya terlalu mengada-ada dan berbahaya untuk berpikir bahwa itu
mungkin). Yang dimaksudkan oleh teologi politik adalah suatu masyarakat global
baru: suatu masyarakat yang melebihi/mengatasi perebutan dan dominasi kelas,
suatu masyarakat yag penuh persahabatan (Moltmann) serta terbuka dan bebas
berkomunikasi (Peukert). Solidaritas kemudian menandakan suatu identitas sosial
yang lebih bersifat inklusif dan umum daripada hubungan saya-kau, yang
sebelumnya sudah dikenal dengan baik sekali, dan yang tidak membatasi
kepentingan pribadi dibanding relasi-relasi sosial yang saling memberi (Metz).
Kelima, Dasar Misi Gereja Adalah
Kritik Moral Terhadap Masyarakat. Gereja menurut teologi politik adalah suatu
perkumpulan mesianik dalam masyarakat, yang membangun persekutuan dengan dua
sisi sejarah, yakni dari penderitaan dan pembebasan. Ingatan/ kenangan yang
berbahaya (Metz) dari penyaliban dan kebangkitan Kristus merupakan suatu
panggilan untuk memihak kepada orang-orang yang diabaikan dan yang dikorbankan
dan untuk mulai mengikutsertakan mereka dalam praktek yang emansipatif dalam
kehidupan sehari-hari yang membebaskan. Dalam beberapa hal gereja bersifat
politik, tetapi untuk menjadi benar dalam misinya di dunia modern, gereja harus
menjalani suatu reformasi radikal. Secara internal, ia harus menghilangkan
tradisi patriakhal dan menjadi gereja yang berasal dari dan untuk semua orang.
Secara eksternal, gereja harus menjadi suatu kekuatan yang efektif yang
mewakili pemahaman mengenai kerajaan Allah dalam sejarah melalui suatu kritik
terhadap pengilahian ekonomi, social dan budaya dan melalui mandat pemuridan
yakni keadilan dan cinta yang spesifik/khas.
Keenam, Sosialisme Demokratik
Sebagai Prinsip Utama Moralitas Masyarakat. Dengan menghubungkan kelima lingkaran setan
kematian, Moltmann menentukan sejumlah jalan ke arah liberalisasi: sosialisme
dalam bidang ekonomi, demokrasi dalam bidang politik, penghargaan terhadap
sesama di bidang hubungan kebudayaan, berdamai dengan alam di bidang lingkungan
hidup dan di atas semua itu keberanian untuk mewujudkannya. Semua jalan ini
menandakan kerajaan Allah yang dijanjikan yakni perwujudan kebenaran. Umumnya
teologi politik mendukung sosialisme demokratik dan hak asasi manusia, tetapi
Cobb, menghubungkan teologi politik dengan proses berpikir, yang memperdalam
dan mengembangkan prinsip-prinsip keadilan sehingga mencakup pula bidang
lingkungan hidup. Menghadapi penggunaan kekerasan untuk merubah suatu
masyarakat, teologi politik cenderung untuk mengadopsi pandangan bahwa hal
tersebut merupakan langkah terakhir dan digunakan secara terbatas. Tetapi,
Moltmann menduga bahwa pasivisme (paham yang mengutamakan perdamaian) merupakan
satu-satunya tanggapan terhadap ancaman bencana di kemudian hari.
Bertolak
dari keseluruhan pemaparan diatas, maka diakhir tulisan ini patut diingat oleh
para pemuda kristen bahwa Teori etika harus dikembangkan dan dikaitkan dengan
prinsip-prinsip hermeneutik secara tepat untuk membangun pengertian-pengertian
tentang relasi antara dunia dan Allah, dosa dan keselamatan, gereja dan
masyarakat. Hal ini menjadi penting karena relasi antara dunia dan Allah, dosa
dan keselamatan, gereja dan masyarakat mewakili suatu orientasi etik yang
sungguh-sungguh berkaitan dengan dunia modern. LAUDATE PUERI DOMINUM &
SOLA SCRIPTURA VERBUM DEI (Pujilah TUHAN
Hai Anak-Anak ALLAH dan Hanya Alkitablah Firman ALLAH).
--------------------------------
PENULIS: Aktivis
Pemuda Gereja (GMIT) Ebenhaezer Tarus Barat