KEJAHATAN
TERHADAP NYAWAOleh. Paul SinlaEloE
Kejahatan terhadap nyawa (misdrijven tegen bet leven) merupakan tindakan penyerangan terhadap nyawa orang lain. Kepentingan hukum yang dilindungi dan yang merupakan obyek kejahatan ini adalah nyawa (leven) manusia.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kejahatan Terhadap Nyawa diatur pada Buku II, Bab XIX dan dijabarkan mulai darii Pasal 338 KUHP s/d Pasal 350 KUHP, yang pada intinya mengatur tentang kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja (dolus misdrijven). Pada KUHP diatur juga tentang kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan tidak sengaja (culpose misdrijven) sebagaimana yang terdapat dalam Bab XXI khususnya Pasal 359 KUHP.
Kejahatan terhadap nyawa yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja. Tulisan ini hanya akan menguraikan secara umum dan komplementer tentang kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja sebagaimana yang diatur dalam Pasal 338 KUHP dan Pasal 340 KUHP.
Rumusan Pasal 338 KUHP yang menyebutkan unsur objektifnya adalah “menghilangkan nyawa orang lain, menunjukan bahwa kejahatan terhadap nyawa yang dimaksud dalam Pasal 338 KUHP merupakan delik materil. Dalam delik materil unsur perbuatan yang dilarang, bukanlah merupakan persoalan inti yang harus dipersoalkan. Sebab setiap orang baru akan dihukum apabila unsur akibat yang dilarang telah terwujud. Artinya, sempurnanya suatu tindak pidana pada delik materil bukan bergantung pada selesainya wujud perbuatan, tetapi ditentukan pada apakah dari wujud perbuatan itu, akibat yang dilarang telah timbul. Dengan demikian, jika akibat yang dilarang belum terjadi, maka tindak pidana dimaksud dianggap belum selesai/terjadi atau bisa juga dikategorikan dalam percobaan melakukan tindak pidana.
Perbuatan menghilangkan nyawa (nyawa orang lain) yang terdapat dalam unsur objektif dari Pasal 338 KUHP, harus memenuhi 3 (tiga) syarat, yakni: 1. Adanya wujud perbuatan; 2. Adanya suatu kematian (orang lain); dan 3. Adanya hubungan causalitas antara perbuatan dengan akibat hilangnya nyawa (orang lain).
Ketiga syarat inilah yang harus dibuktikan dalam unsur perbuatan menghilangkan nyawa orang lain. Walaupun ketiga syarat ini dapat dibedakan, namun tidak boleh dipisahkan karena ketiga syarat ini merupakan suatu kesatuan yang komplementer. Artinya, jika tidak terdapat salah satu syarat diantara ketiga syarat dimaksud, maka perbuatan menghilangkan nyawa tidak terjadi.
Dalam hal pembuktian Pasal 338 KUHP, tidak boleh diabaikan bahwa diantara unsur subyektif "dengan sengaja" dan wujud perbuatan dari unsur objektif, yakni "menghilangkan nyawa" terdapat unsur yang juga harus dibuktikan, yaitu "pelaksanaan perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) harus tidak lama setelah timbulnya kehendak (niat) untuk menghilangkan nyawa orang lain". Apabila terdapat tenggang waktu yang cukup lama, sejak timbulnya atau terbentuknya kehendak untuk menghilangkan nyawa dengan pelaksanaannya, di mana dalam tenggang waktu yang cukup larna itu pelaku dapat memikirkan tentang berbagai hal, misalnya memikirkan apakah kehendaknya itu akan diwujudkan dalam pelaksanaan ataukah tidak, dengan cara apa kehendak itu akan diwujudkan dan sebagainya, maka perbuatan menghilangkan nyawa itu telah masuk ke dalam kejahatan terhadap nyawa sebagaimana maksud dari Pasal 340 KUHP, dan bukan lagi masusk dalam kategori kejahatan terhadap nyawa yang dimaksud dalam Pasal 338 KUHP.
Pasal 340 KUHP pada intinya mengamanatkan bahwa: “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord), dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lama dua puluh tahun”. Kejahatan terhadap nyawa sebagaimana maksud dari Pasal 340 KUHP pada intinya merupakan kejahatan terhadap nyawa dalam artian Pasal 338 KUHP yang ditambah dengan unsur dengan rencana terlebih dahulu.
Jika dilihat dari aspek legal drafting (perancangan hukum/peraturan perundang-undangan), dimana rumusan Pasal 340 KUHP yang dirumuskan dengan cara mengulang kembali seluruh unsur dalam Pasal 338 KUHP, kemudian ditambah dengan satu unsur subjektif lagi yakni "dengan rencana terlebih dahulu", maka kejahatan terhadap nyawa yang diatur dalam Pasal 340 KUHP harus dianggap sebagai kejahatan yang berdiri sendiri (een zelfstanding misdrijf) lepas dan lain dengan Kejahatan terhadap nyawa dalam bentuk pokok sebagaimana yang diatur dala Pasal 338 KUHP.
Unsur dengan rencana terlebih dahulu yang terdapat pada Pasal 340 KUHP, pada dasarnya mengandung 3 syarat, yaitu: 1. Memutuskan kehendak dalam suasana tenang; 2. Ada tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak; dan 3. Pelaksanaan kehendak (perbuatan) dalam suasana tenang.
Memutuskan kehendak dalam suasana tenang maksudnya ketika memutuskan kehendak untuk menghilangkan nyawa itu dilakukan dalam suasana (batin) yang tenang. Suasana (batin) yang tenang, adalah suasana tidak tergesa-gesa atau tiba-tiba, atau seketika tidak dalam keadaan terpaksa dan emosi yang tinggi. Sebagai indikatornya ialah sebelum memutuskan kehendak untuk menghilangkan nyawa orang lain, telah dipikirnya dan dipertimbangkannya, telah dikaji untung dan ruginya. Pemikiran serta pertimbangan seperti ini hanya dapat dilakukan apabila ada dalam suasana tenang, dan dalam suasana tenang sebagaimana waktu pelaku memikirkan dan mempertimbangkan dengan mendalam itulah, pelaku akhirnya memutuskan kehendak untuk berbuat. Sedangkan perbuatannya tidak diwujudkannya seketika itu juga.
Ada tenggang waktu yang cukup, antara sejak timbulnya/diputuskannya kehendak sampai dengan pelaksanaan keputusan kehendaknya itu. Waktu yang cukup ini adalah relatif, dalam arti tidak diukur dari lamanya waktu tertentu, melainkan bergantung pada keadaan atau kejadian konkrit yang berlaku. Tidak terlalu singkat, karena jika terlalu singkat, maka tidak lagi mempunyai kesempatan untuk berpikir-pikir karena tergesa-gesa. Waktu yang demikian sudah tidak menggambarkan suasana yang tenang. Begitu juga tidak boleh terlalu lama. Sebab bila terlalu lama, maka sudah tidak lagi menggambarkan ada hubungan antara pengambilan putusan kehendak untuk menghilangkan nyawa dengan pelaksanaan untuk menghilangkan nyawa.
Dalam tenggang waktu itu masih tampak adanya hubungan antara pengambilan putusan kehendak dengan pelaksanaan untuk menghilangkan nyawa. Adanya hubungan itu, dapat dilihat dari indikatornya bahwa pada saat kejadian: (1). pelaku masih sempat untuk menarik kehendaknya menghilangkan nyawa; dan (2). bila kehendaknya sudah bulat, ada waktu yang cukup untuk memikirkan misalnya bagaimana cara dan dengan alat apa akan melaksanakannya, bagaimana cara untuk menghilangkan jejak, untuk menghindar dari tanggung jawab, punya kesempatan untuk memikirkan rekayasa.
Pelaksanaan menghilangkan nyawa itu dilakukan dalam suasana (batin) tenang yang merupakan syarat yang ketiga, yang oleh banyak pakar pidana dianggap sebagai yang terpenting karena dipandang sebagai syarat untuk membuktikan telah adanya kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu dan bukannya untuk membuktikan adanya berencana. Suasana hati pada syarat ketiga ini menunjakan bahwa pada saat melaksanakan kejahatan terhadap nyawa itu,, pelaku tidak dalam suasana yang tergesa-gesa, amarah yang tinggi, rasa takut yang berlebihan dan lain sebagainya.
Ketiga syarat dari unsur “dengan rencana terlebih dahulu” sebagaimana yang sudah diuraikan adalah bersifat kumulatif dan saling berhubungan ibarat suatu mata rantai yang utuh dan tidak terpisahkan. Sebab bila sudah terpisah/terputus, maka sudah tidak ada lagi “dengan rencana terlebih dahulu”.
Hal menarik dari Pasal 338 KUHP dan Pasal 340 KUHP adalah dalam kedua pasal ini, dipergunakan istilah “dengan sengaja” yang dalam ilmu hukum pidana dimaknai secara sama dengan istilah “kesengajaan” yang berarti kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang.
Dalam ilmu hukum pidana, kesengajaan dipahami dengan 2 (dua) indikator yang sifatnya komplementer, yaitu: ‘menghendaki dan mengetahui’ atau ‘willens en wetens’. Maksud dari istilah ‘menghendaki atau willens’ dalam konteks kesengajaan adalah menghendaki terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan arti dari istilah ‘mengetahui atau wetens’ adalah mengetahui/menginsafi akibat yang akan terjadi dari tindak pidana yang dilakukan.
Dengan demikan, dalam konteks kejahatan terhadap nyawa dapatlah dikatakan bahwa barang siapa (hij die) disebut telah melakukan suatu kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan “dengan sengaja”, apabila batrang siapa(hij die) tersebut harus menghendaki perbuatan itu dan mengetahui/menginsafi atau menyadari tentang apa yang dilakukan dan akibat yang akan timbul dari padanya.
Perbedaan dari istilah “dengan sengaja” yang terdapat dalam kedua pasal tersebut adalah pada Pasal 338 KUHP istilah “dengan sengaja” dimaknai sebagai dolus repentinus, yaitu kesengajaan kesengajaan yang mendadak timbul, karena naik pitam seketika atau situasi kejiwaan yang menyebabkan pelaku terguncang hebat perasaannya lalu menghilangkan nyawa orang lain. Sedangkan, istilah “dengan sengaja” yang terdapat dalam rumusan Pasal 340 KUHP bermakna sebagai dolus premeditatus, yaitu kesengajaan yang direncanakan terlebih dahulu. Dolus premeditatus ini secara substansi merupakan kebalikan dari dolus repentinus.
Penulis adalah Aktivis PIAR NTT