RINGKASAN FILM: “In The Times of Butterflies”
Oleh. Paul SinlaEloE
Setiap tanggal 25 November, dunia memperingati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau International Day for the Elimination of Violence Againts Women. Peringatan Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP), awalnya hanya dilaksanakan oleh negara-negara di Amerika Latin sejak Tahun 1981, berdasarkan hasil keputusan Kongres Perempuan Amerika Latin yang pertama.
Dalam perkembangannya, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations General Assembly), pada tanggal 20 Desember 1999 mengadopsi Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan melalui resolusi 48/104 untuk pemberantasan kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia. Selanjutnya, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa juga mengadopsi resolusi 54/134, pada 7 Februari 2000 dan secara resmi menetapkan 25 November sebagai Hari Internasional untuk Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.
Dipilih dan ditetapkannya tanggal 25 November sebagai HAKTP, dimaksudkan untuk memberi penghormatan atas meninggalnya Mirabal bersaudara, yakni Patria, Minerva dan Maria Teresa, yang dibunuh oleh diktator yang berkuasa di Republik Dominika.
Kisah perjuangan dari Patria, Minerva dan Maria Teresa dalam melawan Presiden Rafael Leonidas Trujillo, diktator yang berkuasa secara represif di Republik Dominika, pada tahun 1950-1960-an telah direkonstruksi kembali dalam film “In The Times of Butterflies”. Pemeran utama dari film ini adalah Salma Hayek (Minerva Argentina Mirabal Reyes) dan Marc Anthony (Virgilio Morales/Suaminya Minerva Argentina Mirabal Reyes).
Dalam Film “In The Times of Butterflies”, dikisahkan bahwa perlawanan Minerva sebenarnya sudah dilakukan sejak sekolah dasar (NB: Walaupun secara tidak sadar) dimana dalam pentas drama tentang kebebasan, Trujillo hampir saja terbunuh lewat bidikan panah Minerva kalau saja tidak segera dihentikan pementasannya oleh para guru. Akibat tindakannya ini, Enrique Mirabal, ayah dari Minerva, yang dalam Film ini diperankan oleh Fernando Becerril, diciduk, dinetrogasi dan disiksa oleh pasukan Trujillo.
Perlawanan Minerva terhadap kediktatoran Trujillo, memuncak ketika dewasa. Apalagi setelah mengetahui Trujillo selalu memperlakukan kaum perempuan secara semena-mena. Trujillo juga tidak membolehkan kaum perempuan untuk kuliah di Fakultas Hukum yang ada di Republik Dominika, kecuali Minerva. Minerva merupakan satu-satunya perempuan pada saat itu yang diperbolehkan menyelesaikan studynya dan memperoleh gelar sarjana hukum setelah menantang dan memenangkan “taruhan” melawan Trujillo, namun tidak diperbolehkan untuk mendapatkan ijasahnya.
Sejak duduk di bangku kuliah inilah, Minerva bergabung dengan kelompok pembebasan yang dipimpin oleh Virgilio Morales yang berjuang untuk melawan kediktatoran rezim Trujillo. Salah satu gerakan dari kelompok pembebasan yang sangat mengganggu Trujillo adalah "Catorce de Junio" atau "Gerakan 14 Juni".
Sebagai salah seorang pejuang pembebasan yang cukup berpengaruh, Minerva mendapatkan julukan La Miraposa (Kupu-kupu) sebagai sandi dalam gerakannya. La Miraposa menjadi tokoh sentral dalam menginsipirasikan perlawanan masyarakat terhadap Trujillo. La Miraposa mampu mensinergikan gerakan untuk menuntut hak-hak kaum perempuan dengan gerakan untuk menumbangkan rezim Trujillo.
Minerva tampil sebagai perempuan intelektual dan punya semangat perlawanan yang tinggi. Tokoh yang begitu dikagumi oleh hampir semua anggota gerakan perlawanan. Sebaliknya, di mata Trujillo, La Miraposa menjadi momok yang selalu mengintai tampuk kekuasaannya. Kecantikan Minerva menjadi daya pikatnya namun keberaniannya menjadi ancaman.
Dalam perjuanagnnya, Minerva tidak mengabaikan perannya sebagai perempuan dalam sebuah keluarga. Secara profesional, Minerva mampu melaksanakan fungsinya sebagai seorang perempuan sesuai dengan norma sosial yang ada di masyarakat setempat. Disuatu sisi dia harus berhadapan mengasuh anak, hingga memasak untuk sang suami. Pada sisi yang lain dia harus memimpin gerakan perlawan terhadap Trujillo.
Perjuangan Minerva telah mengantarkan dirinya pada penderitaan yang berkepanjangan. Minerva harus terpisah dengan dua anaknya diciduk serta dipaksa untuk menyerah oleh rezim otoritarian Republik dominika yang dipimpin oleh Rafael Leonidas Trujillo, dengan cara menghadirkan Minerva pada saat suaminya disiksa. Suaminyapun akhirnya dibunuh. Namun semua itu, tidaklah membuat La Miraposa bergeming. Dia tetap pada pendiriannya dan fokus pada tujuan perjuangan. Akhirnya, Minerva juga dipenjarakan dan disiksa seperti suaminya. Tekanan dunia internasional terhadap rezim Trujillo-lah yang membuat Minerva dan saudaranya dibebaskan. Trujillo menyadari bahwa Minerva dan dua saudaranya merupakan ancaman utama bagi kekuasaannya.
Pada tanggal 25 November 1960, Minerva dan dua orang saudara perempuannya, yakni Aida Patria Mercedes Mirabal Reyes dan Maria Teresa Mirabal Reyes, dibunuh dengan cara yang sangat keji oleh orang suruhan dari Trujillo. Mereka bertiga dipukul dengan palu, popor senjata dan dirajam dengan batu sampai meninggal. Selama menjalani sikasaan yang sangat tidak berperikemanusiaan ini, Mirabal bersaudara terus berpelukan sambil memuji “Tuhan Sang Gembala Yang Baik”, dengan berulang kali melafalkan Mazmur 23 : 1-6 sampai akhirnya menutup mata dan maut menjemput mereka satu persatu.
Film drama yang diangkat dari novel fiksi sejarah karya Julia Alvarez dengan judul, “In The Times of Butterflies” ini disutradarai oleh Mariano Barroso. Walaupun sudah dirilis sejak 21 Oktober 2001, namun film “In The Times of Butterflies” masih sangat layak dan relevan untuk ditonton saat ini oleh semua kalangan. Selamat merayakan HAKTP…!!!