PELINDUNGAN
PEKERJA MIGRAN
Oleh.
Paul SinlaEloE
Segenap bangsa
Indonesia pada dasarnya memberi apresiasi atas hadirnya UU No. 18 Tahun 2017,
tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UUPPMI), karena telah membawa
paradigma baru dalam pelindungan terhadap Pekerja Migran Indonesia (PMI).
UUPPMI yang disahkan diundangkan pada tanggal 22 November 2017, dalam LN RI
Tahun 2017 Nomor 242, tambahan LN RI Nomor 6141 ini, tidak lagi berorientasi
pada peningkatan produktivitas dan daya saing melalui optimalisasi pemberdayaan
dan pendayagunaan tenaga kerja, melainkan sudah mengedepankan penghormatan
terhadap hak asasi dari PMI sebagai manusia dan warga Negara.
Paradigma baru dalam
UUPPMI, tergambar juga pada subjek pelindungannya yang tidak hanya terbatas
pada Calon PMI dan/atau PMI, namun juga sudah mengatur tentang jaminan Pelindungan
terhadap hak keluarga dari PMI sebagaimana yang dimandatkan dalam Konvensi PBB 1990, tentang Perlindungan Hak-hak Pekerja
Migran dan Anggota Keluarganya. Bahkan pelindungan untuk Calon PMI
dan/atau PMI dan kelurgnya, dilakukan mulai dari sebelum bekerja, selama
bekerja, dan setelah bekerja dalam aspek hukum, ekonomi, dan sosial.
Aspek integral,
sinergitas dan koordinasi pada setiap level pemerintahan dalam kerja-kerja
pelayanan penempatan dan pelindungan bagi Calon PMI dan/atau PMI, merupakan
bagian dari paradigma baru yang terdapat dalam UUPPMI. Keterpaduan dan
sinergitas ini dijabarkan dalam pembagian tugas dan tanggungjawab.
Berdasarkan Pasal 11
ayat (1) dan Pasal 39 UUPPMI, tugas dan tanggung jawab pemerintah pusat dalam hal
Pelindungan PMI adalah: a. Mendistribusikan informasi dan permintaan PMI kepada
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melalui Pemerintah Daerah provinsi; b.
Menjamin Pelindungan Calon PMI dan/atau PMI dan keluarganya; c. Mengatur,
membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan; d. Menjamin
pemenuhan hak Calon PMI dan/atau PMI dan keluarganya;
e. Membentuk dan
mengembangkan sistem informasi terpadu dalam penyelenggaraan penempatan dan Pelindungan
PMI; f. Melakukan koordinasi kerja sama antar instansi terkait dalam menanggapi
pengaduan dan penanganan kasus Calon PMI dan/atau PMI; g. Mengurus kepulangan
PMI dalam hal terjadi peperangan, bencana alam, wabah penyakit, deportasi, dan
PMI bermasalah; h. Melakukan upaya untuk menjamin pemenuhan hak dan Pelindungan
PMI secara optimal di negara tujuan penempatan;
i. Menyusun kebijakan
mengenai Pelindungan PMI dan keluargan; j. Menghentikan atau melarang
penempatan PMI untuk negara tertentu atau pada jabatan tertentu di luar negeri;
k. Membuka negara atau jabatan tertentu yang tertutup bagi penempatan PMI; l.
Menerbitkan dan mencabut Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran
Indonesia (SIP3MI); menerbitkan dan mencabut Surat lzin Perekrutan Pekerja
Migran Indonesia (SIP2MI); m. Melakukan koordinasi antar instansi terkait
mengenai kebijakan Pelindungan PMI; n. mengangkat pejabat sebagai atase
ketenagakerjaan yang ditempatkan di kantor Perwakilan Republik Indonesia atas
usul Menteri; dan o. menyediakan dan memfasilitasi pelatihan Calon PMI melalui
pelatihan vokasi yang anggarannya berasal dari fungsi pendidikan.
Tugas dan tanggung
jawab Pemerintah Provinsi, terkait dengan Pelindungan PMI diatur dalam Pasal 11
ayat (1) dan Pasal 40 UUPPMI yaitu: a. Mendistribusikan informasi dan
permintaan PMI dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;
b. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan kerja oleh lembaga pendidikan dan
lembaga pelatihan kerja milik pemerintah dan/atau swasta yang terakreditasi; c.
Mengurus kepulangan PMI dalam hal terjadi peperangan, bencana alam, wabah
penyakit, deportasi, dan PMI bermasalah sesuai dengan kewenangannya; d.
Menerbitkan izin kantor cabang Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia
(PPPMI); e. Melaporkan hasil evaluasi terhadap PPPMI secara berjenjang dan
periodik kepada Menteri;
f. Memberikan Pelindungan
PMI sebelum bekerja dan setelah bekerja; menyediakan pos bantuan dan pelayanan
di tempat pemberangkatan dan pemulangan PMI yang memenuhi syarat dan standar
kesehatan; g. Menyediakan dan memfasilitasi pelatihan Calon PMI melalui
pelatihan vokasi yang anggarannya berasal dari fungsi pendidikan; h. Mengatur,
membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan PMI; dan i.
Dapat membentuk Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) penempatan dan Pelindungan PMI
di tingkat Provinsi.
Dalam melaksanakan Pelindungan
bagi Calon PMI dan/atau PMI dan kelurgnya, Pemerintah Kabupaten/Kota harus
menjalankan tugas dan tanggungjawab sesuai dengan amanat Pasal 11 ayat (2) dan
Pasal 41 UUPPMI, yakni: a. Melakukan sosialisasi informasi dan permintaan PMI
kepada masyarakat dengan melibatkan aparat Pemerintah Desa; b. Membuat
basis data PMI; c. Melaporkan hasil evaluasi terhadap PPPMI secara periodik
kepada Pemerintah Daerah Provinsi; d. Mengurus kepulangan PMI dalam hal terjadi
peperangan, bencana alam, wabah penyakit, deportasi, dan PMI bermasalah sesuai
dengan kewenangannya;
e. Memberikan Pelindungan
PMI sebelum bekerja dan setelah bekerja di daerah Kabupaten/Kota yang menjadi
tugas dan kewenangannya; f. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan kerja
kepada Calon PMI yang dapat bekerja sama dengan lembaga pendidikan dan lembaga
pelatihan kerja milik pemerintah dan/atau swasta yang terakreditasi; g.
Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap lembaga pendidikan dan lembaga
pelatihan kerja di Kabupaten/Kota;
h. Melakukan
reintegrasi sosial dan ekonomi bagi PMI dan keluarganya; i. Menyediakan dan
memfasilitasi pelatihan Calon PMI melalui pelatihan vokasi yang anggarannya
berasal dari fungsi pendidikan; j. Mengatur, membina, melaksanakan, dan
mengawasi penyelenggaraan penempatan PMI; dan k. Dapat membentuk LTSA
penempatan dan Pelindungan PMI di tingkat Kabupaten/Kota.
Menurut Pasal 42
UUPPMI, tugas dan tanggungjawab Pemerintah Desa dalam kaitanannya dengan Pelindungan
terhadap PMI adalah: a. Menerima dan memberikan informasi dan permintaan
pekerjaan dari instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
ketenagakerjaan; b. Melakukan verifikasi data dan pencatatan Calon PMI; c.
Memfasilitasi pemenuhan persyaratan administrasi kependudukan Calon PMI; d.
Melakukan pemantauan keberangkatan dan kepulangan PMI; dan e. Melakukan
pemberdayaan kepada Calon PMI, PMI, dan keluarganya.
Cacat Bawaan UUPPMI
Walaupun ada
perubahan paradigma terkait dengan Pelindungan bagi PMI, tetapi harus diingat
bahwa UUPMI adalah produk hukum yang dihasilkan oleh politisi yang
“bergerombol” di parlemen. Artinya, UUPPMI tentu bukan produk ideal dan
sempurna. Apalagi UUPMI lahir dari proses dan negoisasi politik yang panjang
hingga produk finalnya.
Buktinya, UUPPMI
masih menyimpan sejumlah kelemahan substantif, diantaranya: Pertama,
penandatanganan perjanjian kerja masih belum jelas diatur apakah termasuk dalam
layanan di LTSA. Selain itu, isi perjanjian kerja yang dimandatkan dalam UUPPMI
belum memastikan mekanisme keberlakuan perjanjian kerja di 2 (dua)
negara atau hanya di satu negara saja serta penyelesaiannya sengketanya.
Kedua, meskipun
asuransi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) swasta telah diganti dengan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, namun jaminan sosial bagi
PMI yang ditanggung oleh BPJS belum mencakup resiko yang dialami oleh PMI,
yaitu pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak dan gaji tidak dibayar; Ketiga,
terkait sanksi pidana yang meskipun telah mengatur tidak hanya untuk orang
peorangan tetapi juga pejabat publik, namun sanksi pidana yang ada belum
mencantumkan hukuman minimal tapi lebih kepada hukuman masksimal,
sehingga penjatuhan sanksi tergantung pada subyektifitas hakim dalam memberikan
putusan.
Keempat, bantuan
hukum dalam UUPMI tidak diatur dalam Bab khusus, sehingga tidak detail dan
jelas bagaimana cara mengaksesnya, lembaga mana yang harus dituju, mekanisme
penanganan kasus, berapa lama penyelesaian kasusnya dan apakah pemerintah
daerah dilibatkan dalam penanganan kasusnya serta bagaimana koordinasi
penanganan kasus ditingkat daerah dan pusat. Padahal, bantuan hukum bagi PMI
merupakan salah satu perwujudan negara hadir untuk melindungi PMI.
Keseluruhan kelemahan
substantif yang terdapat dalam UUPMI, memunjukan bahwa Pelindungan PMI masih
tetap belum optimal. Apalagi, sistem penempatan pekerja migran ke Luar Negeri
yang didesain oleh para pengambil kebijakan, belum banyak berubah dan selalu
merentankan PMI menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan
Tindak Pidana Penyelundupan Manusia (TPPM). Hal ini diperparah lagi dengan
kinerja dari para aparatus negara pada semua level pemerintahan mulai dari
Pusat hingga Desa beserta jaringan terkaitnya (BNP2TKI/BP3TKI, APJATI, Gugus
Tugas Anti Trafficking dan Satgas Anti Trafficking) yang tidak mampu melakukan
pencegahan terjadinya TPPO dan TPPM.
Bahkan para aparatus
yang ditugaskan oleh negara untuk menata sistem pengelolaan ketenagakerjaan,
masih terkesan tetap membiarkan berjalannya sistem pengelolaan ketenagakerjaan
yang buruk, mulai dari proses rekrutmen, pra penempatan, penempatan
sampai dengan purna penempatan. Buruknya Pelindungan bagi PMI sejak
sebelum bekerja (pendaftaran sampai pemberangkatan), selama bekerja (selama
PMI dan anggota keluarganya berada di luar negeri) dan setelah bekerja (mulai
dari tiba di debarkasi di Indonesia hingga kembali ke daerah asal, termasuk
pelayanan lanjutan menjadi pekerja produktif) adalah fakta
‘telanjang’ atas proses pembiaran dimaksud.
Problematika terkait Pelindungan
PMI yang merupakan cacat bawaan dari UUPMI ini, perlu dicari jalan keluar
terkait dengan implementasinya. Jalan keluarnya tidak semudah politisi parlemen
melakukan delegated legislation pada Peraturan Pelaksana (verordnung)
dan Peraturan Otonom (autonome satzung) yang merupakan
Peraturan-Peraturan yang terletak di bawah undang-undang yang berfungsi
menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang. Apalagi, sumber wewenang dari keduanya adalah
berbeda. Peraturan Pelaksana (verordnung) bersumber
dari kewenangan delegasi, sedangkan Peraturan Otonom (autonome
satzung) bersumber dari kewenangan atribusi. Pertanyaannya
adalah apa yang harus dikerjakan oleh semua komponen bangsa dalam
mengimplementasikan UUPMI demi terlindunginya PMI?
----------------------------------------------------------------------
KETERANGAN:
1. Penulis adalah Aktivis
PIAR NTT
2. Tulisan ini Pernah di
Publikasikan dalam http://www.zonalinenews.com/2019/05/Perlindungan-pekerja-migran/,
Pada Tanggal 25 Mei 2019.