INSTRUMEN MELAWAN PERDAGANGAN
ORANG
Oleh.
Paul SinlaEloE
Perdagangan orang sudah ada
sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Perdagangan
orang merupakan tindakan yang merendahkan harkat
dan martabat manusia. Saat ini perdagangan
orang telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi maupun
tidak terorganisasi, baik bersifat antar negara maupun dalam negeri. Bahkan
perdagangan orang telah menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa, dan
negara, serta norma-norma kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak
asasi manusia.
Sebagai sebuah kejahatan
terhadap kemanusiaan, tidaklah mengherankan apabila banyak negara (termasuk Indonesia), bersepakat untuk
memberantas perdagangan orang dari muka bumi. Disahkan dan diundangkannya UU
No. 21 Tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang/UUPTPPO, dalam LN RI Tahun 2007
Nomor 58, Tambahan LN RI Nomor 4720, pada tanggal Tanggal 19 April 2007,
merupakan salah satu wujud dari komitmen Indonesia dalam melawan perdagangan orang.
Dalam konteks itu, memahami substansi dari
UUPTPPO dalam rangka berperang melawan perdagangan orang adalah sesuatu yang
mutlak diperlukan. Karenanya, tulisan ini akan menguraikan secara ringkas dan sederhana
tentang materi muatan dan ruang lingkup dari instrumen utama yang dimiliki
Indonesia untuk melawan perdagangan orang.
Materi
Muatan UUPTPPO
Dalam ilmu perundang-undangan, materi muatan
dipahami sebagai materi yang dimuat dalam suatu produk hukum sesuai dengan
jenis, fungsi, dan hierarki. Secara substansi, materi muatan dalam UUPTPPO
dikonstruksikan untuk mengantisipasi dan menjerat pelaku yang melakukan semua
jenis tindakan dalam proses, cara, atau semua bentuk eksploitasi yang mungkin
terjadi dalam praktik perdagangan orang, baik yang dilakukan antar wilayah
dalam negeri maupun secara antar negara.
Perlindungan saksi dan korban sebagai aspek
penting dalam penegakan hukum, merupakan bagian yang diatur dalam materi muatan
dari UUPTPPO. Selain itu, UUPTPPO dalam materi muatannya juga mengatur tentang
hak korban atas restitusi yang harus diberikan oleh pelaku Tindak Pidana
Perdagangan Orang (TPPO), sebagai ganti kerugian (baik materil maupun imateril) bagi korban. Sedangkan hak
rehabilitasi medis dan sosial, pemulangan serta reintegrasi, dimandatkan dalam
materi muatan dari UUPTPPO untuk dilakukan oleh negara, terutama bagi mereka
yang mengalami penderitaan fisik, psikis, dan sosial akibat TPPO.
Poin penting lainnya yang terdapat dalam
materi muatan dari UUPTPPO, yakni pencegahan dan penanganan TPPO yang tanggungjawabnya
diserahkan kepada Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat, dan keluarga untuk
dilaksanakan secara komprehensif dan terpadu dalam wadah gugus tugas. Aspek
lainnya dari materi muatan UUPTPPO adalah kerja sama internasional dalam bentuk
perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan/atau kerja sama teknis
lainnya.
Keseluruhan substansi dari materi muatan yang
terdapat dalam UUPTPPO ini, diuraikan secara terperinci dalam 9 (sembilan) Bab dan dijabarkan dalam 67
pasal. Pada Bab I dari UUPTPPO, diatur tentang ketentuan umum yang dalam Pasal
1 memuat 15 (lima belas) rumusan
akademik mengenai pengertian istilah dan frasa. Materi tentang TPPO diatur
dalam Bab II dan diuraikan mulai dari Pasal 2 sampai dengan Pasal 18. UUPTPPO
juga mengatur tentang tindak pidana lain
yang berkaitan
dengan TPPO dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 27
yang merupakan inti dari Bab III.
Aturan mengenai
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, diatur dalam 15
pasal yang terdapat dalam Bab IV UUPTPPO, yakni mulai dari Pasal 28 sampai
dengan Pasal 42. Pengaturan terkait perlindungan saksi dan korban, terdapat
pada Bab V dan dijabarkan dalam UUPTPPO mulai dari Pasal 43 sampai dengan Pasal
55. Dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 58 yang terdapat pada Bab VI UUPTPPO,
diatur tentang pencegahan dan penanganan. Sedangkan pengaturan mengenai kerja
sama internasional dan peran serta masyarakat diatur pada Bab VII UUPTPPO dan
diperincikan dalam Pasal 59 sampai dengan Pasal 63.
Ketentuan peralihan
diatur dalam Pasal 64 UUPTPPO yang terdapat pada Bab VIII. Substansi ketentuan
peralihan dalam UUPTPPO adalah
penyesuaian pengaturan hubungan hukum atau tindakan hukum yang sudah ada
berdasarkan produk hukum yang lama terhadap produk hukum yang baru. Pengaturan
tentang ketentuan peralihan dalam UUPTPPO, bertujuan untuk: (a). Menghindari terjadinya kekosongan
hukum; (b). Menjamin kepastian
hukum; (c). Memberikan perlindungan
hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan dari produk hukum; dan
(d). Mengatur hal-hal yang bersifat
transisional atau bersifat sementara.
Pada Bab yang terakhir
dari UUPTPPO, yakni Bab IX diatur tentang ketentuan penutup yang diuraikan
mulai dari Pasal 65 sampai dengan Pasal 67. Ketentuan
Penutup dari UUPTPPO, pada intinya memuat ketentuan mengenai: Pertama, penunjukan organ atau alat
kelengkapan yang melaksanakan produk hukum. Kedua, status produk hukum yang sudah ada. Ketiga, saat mulai berlaku dari produk hukum.
Dalam UUPTPPO, terdapat
bagian terkait penjelasan umum dan ada juga bagian penjelasan pasal demi pasal.
Penjelasan umum memuat uraian secara sistematis mengenai latar belakang
pemikiran, maksud, dan tujuan penyusunan UUPTPPO yang telah tercantum secara
singkat dalam butir konsiderans, serta asas, tujuan, atau materi pokok yang
terkandung dalam batang tubuh. Sedangkan, bagian penjelasan pasal demi pasal
berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk UUPTPPO atas norma tertentu yang
terdapat dalam batang tubuh.
Ruang
Lingkup UUPTPPO
Ruang lingkup atau batasan pemberlakuan dari
UUPTPPO tidak berbeda dengan ruang lingkup berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHPidana). Hal ini disebabkan karena TPPO merupakan kekhususan dari
disiplin ilmu pidana. Ruang lingkup pemberlakuan UUPTPPO dikelompokan dalam 2 (dua) kategori, yakni menurut waktu dan
menurut tempat.
Batasan pemberlakuan UUPTPPO menurut waktu
adalah kapan (menyangkut waktu)
seseorang melakukan suatu tindak pidana khususnya TPPO. Sedangkan ruang lingkup
berlakunya UUPTPPO menurut tempat, merupakan pemberlakuan UUPTPPO dengan
berpatokan pada wilayah hukum atau teritorial dimana terjadinya suatu TPPO
sekaligus dengan subjek hukumnya atau siapa pelakunya.
Ruang lingkup UUPTPPO dibatasi dengan
asas-asas hukum pidana. Artinya, ketika UUPTPPO diimplementasikan, asas-asas
hukum pidana harus dijadikan sebagai pedoman. Menurut Paul SinlaEloE (2017:25),
asas hukum merupakan pikiran dasar yang umum dan
bersifat abstrak, serta bukan merupakan hukum yang konkrit, namun terdapat
dalam setiap sistem hukum dan menjelma dalam setiap produk hukum.
Asas hukum memiliki makna
yang hampir sama dengan norma hukum. Norma hukum merupakan pedoman untuk
berperilaku dalam masyarakat, berupa aturan hukum yang dibuat oleh pihak
berwenang dan apabila terjadi pelanggaran atas norma, maka pelanggar akan di berikan
sanksi.
Secara konseptual, Paul
SinlaEloE (2017:25) menjelaskan bahwa terdapat
perbedaan antara norma hukum dan asas hukum. Norma hukum merupakan penjabaran
atas ide atau konsepsi, sedangkan asas hukum merupakan konsepsi dasar yang
dijabarkan dalam norma hukum.
Dalam pemberlakuan UUPTPPO, terdapat sejumlah
asas hukum pidana yang merupakan batasan yang tidak boleh dilanggar dan harus
dipedomani. Asas-asas dimaksud adalah asas teritorial, asas personalitas (asas nasional aktif), asas perlindungan
(asas nasional pasif) dan asas universal yang merupakan pedoman dalam pemberlakuan
UUPTPPO berdasarkan tempat. Asas lainnya adalah asas legalitas yang
dipergunakan untuk menjadi pedoman dalam pemberlakuan UUPTPPO menurut waktu.
Ruang
Lingkup TPPO
Ruang lingkup bisa dimaknai
sebagai batasan dalam hal materi dan/atau subjek yang diatur dari suatu produk
hukum. Menurut Paul SinlaEloE (2017:14-16), ruang
lingkup atau batasan dari TPPO dalam UUPTPPO dapat diklaster dalam 3 (tiga) kategori, yakni: ruang lingkup pelaku,
ruang lingkup korban dan ruang lingkup tindakan.
Pelaku dalam konteks UUPTPPO dipahami sebagai
pihak atau subjek hukum yang melakukan TPPO. Ruang lingkup pelaku ini,
meliputi: Pertama, orang
perseorangan, yang mencakup setiap individu/perorangan yang secara langsung
melakukan TPPO; Kedua, korporasi,
yaitu kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan
hukum maupun bukan badan hukum yang dalam kerja-kerjanya tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga terjadi TPPO;
Ketiga,
kelompok terorganisasi, yakni kelompok terstruktur yang terdiri dari 3 (tiga) orang atau lebih, yang
eksistensinya untuk waktu tertentu dan bertindak dengan tujuan melakukan satu
atau lebih TPPO dengan tujuan memperoleh keuntungan materiil atau finansial
baik langsung maupun tidak langsung (Penjelasan Pasal 16 UUPTPPO); dan Keempat, penyelenggara negara, yakni
pegawai negeri atau pejabat pemerintah (NB: termasuk
anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia, aparat keamanan, penegak hukum atau pejabat publik) yang
menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan TPPO atau mempermudah terjadinya
TPPO.
Korban berdasarkan Pasal 1 angka 3 UUPTPPO, dipahami sebagai
seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi,
dan/atau sosial, yang diakibatkan TPPO. Menurut Farhana (2012:158), ruang
lingkup dari korban kejahatan termasuk korban TPPO, mencakup 3 (tiga) hal, yaitu: (1). Siapa yang menjadi korban; (2). Penderitaan atau kerugian apakah yang dialami oleh korban; (3). Siapa yang bertanggungjawab
dan/atau bagaimana penderitaan dan kerugian yang dialami korban dapat
dipulihkan.
Ruang lingkup tindakan
merupakan setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur
TPPO (Pasal 1 angka 2 UUPTPPO). Rumusan
Pasal 1 angka 2 UUPTPPO menunjukan bahawa faktor
penentu (determinant) dalam setiap TPPO adalah
setiap perbuatan/tindakan yang pada hakikatnya menyebabkan tereksploitasinya
seseorang dalam penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau
sosial, yang diakibatkan TPPO.
Dalam UUPTPPO, tindakan-tindakan
yang disebut TPPO dikonstruksi dan dijabarkan sebagai berikut: Pertama, memasukkan orang ke wilayah
negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah Negara
Republik Indonesia atau dieksploitasi di negara lain; Kedua,
penyalahgunaan kekuasaan mengakibatkan terjadinya TPPO; Ketiga, berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan TPPO, dan
tindak pidana itu tidak terjadi; Keempat,
membantu atau melakukan percobaan untuk melakukan TPPO;
Kelima,
melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau
penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,
penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi
rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh
persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik
yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi
atau mengakibatkan orang tereksploitasi; Keenam,
membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah Negara Republik Indonesia dengan
maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia;
Ketujuh,
melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu
dengan maksud untuk dieksploitasi; Kedelapan,
melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang
mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi; Kesembilan, merencanakan atau melakukan permufakatan jahat untuk
melakukan TPPO; Kesepuluh, menggunakan
atau memanfaatkan korban TPPO dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan
cabul lainnya dengan korban TPPO, mempekerjakan korban TPPO untuk meneruskan
praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari hasil TPPO;
Kesebelas,
memberikan atau memasukkan keterangan palsu pada dokumen negara atau dokumen
lain atau memalsukan dokumen negara atau dokumen lain, untuk mempermudah
terjadinya TPPO; Keduabelas,
memberikan kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti palsu atau barang bukti
palsu, atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum di sidang pengadilan TPPO; Ketigabelas, melakukan penyerangan
fisik terhadap saksi atau petugas di persidangan dalam perkara TPPO;
-------------------------------
KETERANGAN:
1.
Penulis
adalah aktivis PIAR NTT
2. Tulisan ini pernah dipublikasikan
dalam http://www.zonalinenews.com/2017/09/instrumen-melawan-perdagangan-orang/, pada
tanggal 27 September 2017.