PAHLAWAN DEVISA DALAM PUSARAN TPPO
Oleh: Paul
SinlaEloE
Pahlawan devisa merupakan julukan yang diberikan kepada buruh
migran oleh rezim Orde Baru. Orang yang pertama kali menjuluki buruh migran
dengan sebutan pahlawan devisa adalah Laksamana Sudomo, Menteri Tenaga Kerja
pada masa Kabinet Pembangunan IV, Rezim Orde Baru, periode 1983/1988 (M.
Irsyadul Ibad, dkk, 2015:17).
Pada saat itu, Sudomo ‘sangat sukses’ mengendalikan dan mengontrol
kehidupan perburuhan yang penuh dengan
dinamika politik. Sudomo juga berhasil menjadikan istilah
‘pahlawan devisa’ sebagai ‘mantra’ untuk
memotivasi setiap warga Negara Indonesia untuk menjadi buruh migran. Padahal, motivasi/tujuan utama dari Pemerintahan Orde
Baru terkait dengan penempatan buruh migran di Luar Negeri adalah untuk
mendapatkan devisa, memperkecil gejala sosial
yang mungkin muncul akibat adanya pengangguran (bagian dari proses tertib
politik Orde Baru). Instrumen pertama yang dipergunakan untuk menempatan buruh migran di Luar Negeri adalah Keputusan
Menteri Tenaga Kerja (Kepmenaker) Nomor Kep.408/Men/1984, Tentang Pengerahan dan Pengiriman Tenaga Kerja ke
Malaysia.
Demi melanggengkan kewajiban pegiriman uang hasil kerja (remitansi), rezim Orde Baru menyiapkan
instrumen represif yang dikenakan kepada buruh migran Indonesia agar tidak
mengungkapkan kondisi kerja yang buruk. Dalam Kepmenaker
Nomor Kep.420/Men/1985, Tentang persyaratan dan Kewajiban Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja
Indonesia (PPTKI) ke Luar Negeri, ditegaskan
bahwa setiap buruh migran Indonesia yang menghadapi masalah dalam masa kerjanya
dilarang berbicara dengan pihak eksternal, terutama media massa. Kepmenaker Nomor
Kep.420/Men/1985, juga merupakan cikal bakal yang memupuk lahirnya industrialisasi penempatan buruh migran
melalui pemberian kewenangan kepada PPTKI untuk menjalankan bisnis penempatan
Tenaga Kerja Indonesia.
Menurut M. Irsyadul Ibad, dkk, (2015:18), kehendak yang lebih kuat
agar Indonesia secara sistematik meningkatkan perolehan remitansi dari
pengiriman buruh migran ke Luar Negeri, datang juga dari lembaga keuangan
internasional melalui paket-paket kondisionalitas yang mengikat Indonesia dalam
Letter of Intent (LoI) dengan International
Monetering Fund (IMF) yang ditandatangani pada Februari 1988.
Pada saat sekarang, program penempatan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri dilegitimasi dengan UU No. 39 Tahun 2004.
Substansinya pun masih sama
dan belum berpihak pada pekerja
migran. UU No. 39 Tahun 2004 hanya menjadi alat pemacu kucuran remitansi dari keringat pekerja migran
dan belum menjadi payung perlindungan bagi buruh migran.
Perlindungan terhadap buruh migran dan anggota keluarganya seakan
semakin menjauh dari harapan.
Padahal sudah sejak tanggal 2 Mei
2012, Indonesia telah mengesahkan
konvensi internasional
mengenai perlindungan hak-hak seluruh pekerja migran dan
anggota keluarganya dalam UU No. 6 Tahun 2012. Terobosan utama Konvensi
ini adalah orang-orang yang memenuhi kualifikasi sebagai pekerja migran dan
anggota keluarganya, sesuai ketentuan-ketentuan Konvensi, berhak untuk
menikmati hak asasi manusia, apapun status hukumnya.
Walaupun
demikian, sistem penempatan buruh migran ke Luar Negeri yang didesain oleh Pemerintah Indonesia
sebagaimana yang terdapat dalam UU No. 39 Tahun 2004, telah lama
mengabaikan aspek perlindungan dan merentankan pekerja migran menjadi korban Tindak Pidana
Perdagangan Orang (TPPO). Proses penempatan calon pekerja migran, memang
berbeda dengan TPPO. Tetapi pada praktiknya, TPPO banyak dialami pekerja
migran. Bahkan, TPPO seakan telah menjadi bagian integral dalam proses migrasi
itu sendiri karena maraknya buruh migran yang menjadi korban TPPO.
Untuk pemberantasan TPPO, saat ini Indonesia sudah memiliki UU No.
21 Tahun 2007, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UUPTPPO).
Namun, kelemahan dari UUPTPPO ini dapat ditemukan dalam pengaturan pasal-pasal tindak pidananya, terutama yang terkait dengan TPPO untuk
tujuan eksploitasi di luar wilayah Republik Indonesia.
Rumusan Pasal 2 UUTPPO, hanya memberikan sanksi pada setiap orang
yang melakukan TPPO dengan tujuan mengeksploitasi orang di wilayah Negara
Republik Indonesia saja. Itu berarti, setiap orang yang melakukan TPPO untuk
tujuan mengeksploitasi di luar wilayah Negara Republik Indonesia, tidak bisa
dipidana karena dianggap telah melanggar Pasal 2 UUPTPPO.
Pengaturan TPPO dengan tujuan eksploitasi di luar wilayah Negara Republik Indonesia dalam UUPTPPO, terdapat
dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 6. Pada Pasal 3 UUPTPPO diatur tentang pemberian
sanksi, sekaligus melarang “setiap orang untuk
memasukkan orang ke wilayah Negara Republik Indonesia dengan maksud untuk
dieksploitasi di wilayah Negara Republik Indonesia atau dieksploitasi di Negara
lain...”. Dalam penjelasan dari
Pasal 3 UUPTPPO, dikatakan bahwa ketentuan ini dimaksudkan bahwa wilayah Negara
Republik Indonesia adalah sebagai Negara tujuan atau transit.
Kata ‘memasukan’ yang terdapat dalam rumusan Pasal 3 UUPTPPO, menunjukan
bahwa Warga Negara Asing-lah yang dilindungi dengan maksud untuk tidak dieksploitasi di
wilayah Negara Republik Indonesia. Artinya, pekerja migran Indonesia yang
dieksploitasi di Indonesia maupun di Luar Negeri, pelakunya tidak bisa dijerat dengan pasal ini.
UUTPPO juga melarang “setiap orang yang
membawa warga Negara Indonesia ke luar wilayah Negara Republik Indonesia dengan
maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah Negara Republik Indonesia...” (Pasal 4 UUPTPPO). Penekakanan dalam rumusan delik dari Pasal 4 UUPTPPO adalah
pada kata ‘membawa’ yang terdapat di unsur proses. Ironisnya,
pada bagian penjelasan dari Pasal 4 UUPTPPO
hanya disebutkan ‘cukup jelas’, tanpa
menguraikan apa yang dimaksud dari kata ‘membawa’
tersebut.
Jika mengacu pada Pasal 1 angka 9 UUPTPPO, maka membawa merupakan bagian
dari tindakan perekrutan. Namun ini bukan berarti membawa memiliki arti yang
sama dengan perekrutan. Dari aspek semantik, kata ‘membawa’ ini
memiliki makna yang sama dengan kata pengangkutan, pengiriman atau pemindahan. Itu
berarti, Pasal 4 UUPTPPO dirancang hanya untuk menjerat pelaku TPPO yang
membawa atau melakukan proses
pengangkutan, pengiriman atau pemindahan seseorang untuk tujuan eksploitasi di luar wilayah Negara Republik.
Dengan demikian, jelaslah bahwa Pasal 4 UUPTPPO tidak dikonstruksi untuk menjerat pelaku TPPO yang membawa atau melakukan proses pengangkutan, pengiriman atau pemindahan seseorang untuk tujuan eksploitasi di dalam wilayah Negara Republik Indonesia. Selain itu, pelaku yang melakukan proses perekrutan, penampungan atau
penerimaan seseorang untuk tujuan eksploitasi di luar wilayah Indonesia, tidak dapat dijerat dengan Pasal 4 UUPTPPO.
Pasal 6 UUPTPPO pada
dasarnya dirumuskan untuk melindungi anak agar tidak menjadi korban TPPO. Pasal 6 UUPTPPO
mempidanakan pelaku yang melakukan TPPO terhadap anak,
dengan rumusan delik sebagai berikut: “setiap orang yang melakukan
pengiriman anak ke dalam atau ke Luar Negeri dengan cara apa pun yang
mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi…”.
Frasa ‘dengan cara apapun’ yang terdapat dalam Pasal 6 UUPTPPO menunjukan bahwa semua cara yang dilakukan oleh pelaku dan mengakibatkan tereksploitasinya anak, termasuk cara-cara
yang tercantum dalam Pasal
2 UUPTPPO, yakni: dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan,
penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,
penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, walaupun memperoleh
persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, dapat dijerat
dengan Pasal ini.
Pasal 6 UUPTPPO ini didesain oleh
para perumus sebagai delik materil, bukannya delik formil.
Artinya, TPPO sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 UUPTPPO
dikatakan telah sempurna dan pelakunya dapat dipidana, apabila unsur akibat
yang dilarang telah terwujud. Karena dikonstruksi sebagai
delik materil, maka aspek pencegahan terjadinya eksploitasi anak dalam Pasal 6 UUPTPPO, terkesan diabaikan. Bahkan, rumusan norma yang terdapat pada Pasal 6 UUPTPPO ini dikonstruksi dengan kurang mempertimbangkan hak-hak anak yang harus
dilindungi.
Konsekuensinya, perbuatan mengirim anak ke Luar Negeri khususnya
untuk tujuan eksploitasi tidak dapat dilakukan penegakan hukum. Karena, Pasal 6
UUPTPPO ini hanya dapat dilakukan penegakan hukumnya apabila perbuatan
pengiriman anak ke dalam atau ke Luar Negeri dengan cara apapun, sudah
menimbulkan akibat, yakni anak tereksploitasi. Dengan kata lain, untuk melakukan penegakan hukum berdasarkan
Pasal 6 UUPTPPO, harus menunggu anak yang dikirim ke Luar Negeri untuk
dieksploitasi, sudah tereksploitasi di Luar Negeri, sebagai akibat dari
rangkaian perbuatan pengiriman anak ke Luar Negeri.
Berpijak pada keseluruhan
argumen diatas, maka bisa ditarik suatu titik simpul bahwa UUPTPPO tidak dapat
menjangkau keseluruhan TPPO dengan korban pahlawan devisa dan/atau calon
pekerja migran. Walaupun demikian, bukan berarti pelaku TPPO tidak dapat
dipidana karena melakukan eksploitasi terhadap ‘pahlawan devisa’ dan/atau calon pekerja migran, sebab Indonesia telah memiliki
banyak produk hukum yang bisa dipergunakan untuk menindak atau menghukum pelaku
TPPO, apabila dipahami dan diimplementasikan dengan baik oleh mereka yang diberi kewenanagan oleh
Negara.
----------------------------------------
Keteranagan:
1. Penulis
adalah Aktivis PIAR NTT.
2.Tulisan ini pernah dipublikasikan dengan judul: "Pahlawan Devisa dan TPPO", dalam Harian
Umum Victory News, pada tanggal 06 Juli 2017.