MENGGUGAT
TATA RUANG KOTA KUPANG
Oleh. Paul SinlaEloE
Menjelang
Pilkada Kota Kupang tahun 2017, Walikota Kupang, Jonas Salean dan Wakil
Walikota Kupang, Herman Man, terlihat sangat tidak serius dan tidak kompak
dalam menata pembangunan. Mereka lebih tertarik untuk memproklamirkan diri
sebagai calon Walikota dan Wakil Walikota pada periode mendatang dengan
pasangan barunya masing-masing. Mereka, juga terkesan tidak peduli dengan
persoalan tata ruang di Kota Kupang dan lebih sibuk mencari simpati pemilih
yang diduga sudah “muak” dengan kepemimpinan mereka.
Apabila
diamati secara cerdas pembangunan Kota Kupang yang diarsiteki oleh Jonas Salean
(Walikota Kupang) dan Herman Man (Wakil Walikota Kupang), maka akan ditemui sejumlah
pola pikir dan pola tindak yang sangat tertinggal terkait tata ruang kota, jika
dibandingkan dengan para ‘arsitek utama’ kota-kota besar di Indonesia. Para
pemimpin yang sukses membangun daerahnya, tidak hanya bicara soal layanan
publik (public service) yang sudah
dilakukan tetapi biasanya tidak lari dari persoalan utama sebuah kota, yakni
tata ruang kota. Dua orang ‘arsitek kota’ kontemporer di Indonesia adalah Ahok
(Gubernur Daerah Khusus Ibukota), dan Risma (Walikota Surabaya). Dengan
karakternya masing-masing, keduanya sedang meniggalkan warisan yang akan
dilihat dalam satuan chronos, atau
era.
Di
Kota Kupang, dalam berbagai diskusi informal tentang politik tata ruang ibukota
Provinsi Nusa Tenggara Timur, biasanya dengan enteng para pendukung/loyalis dari
Jonas Salean dan Herman Man (dan mungkin mereka sendiri) akan menjawab bahwa ‘ini
warisan rezim sebelumnya’. Rezim pada era kepemimpinan Alm. SK. Lerrick dan
rezim yang dipimpin oleh Daniel Adoe. Dua rezim inilah yang selalu disalahkan
karena diyakini secara “sungguh-sungguh” telah mengubah tata ruang Kota Kupang.
Bahkan kedua rezim ini juga sering disalahkan karena peluang untuk menata
Kupang sebagai kota pantai, dibiarkan begitu saja selama Kupang berubah menjadi
Kotamadya.
Tindakan
menyalahkan pemimpin pada era sebelumnya, bisa dimaknai dalam tiga hal. Pertama, orang menganggap bahwa Walikota
Kupang dan Wakil Walikota Kupang terkini tidak memiliki daya untuk
menyelesaikan persoalan lampau. Kedua,
Walikota Kupang dan Wakil Walikota Kupang dianggap terkait dengan rezim
sebelumnya dan hampir pasti tidak akan merevisi ide para pendahulunya, dan
tidak lepas dari conflict of interest.
Ketiga, Walikota Kupang dan Wakil
Walikota Kupang dianggap tidak memiliki visi tentang tata ruang Kota Kupang
demi kepentingan publik. Bagian ketiga ini yang argumentasinya coba dikupas
dalam tulisan ini.
Takluk Oleh Pemilik Modal
Kondisi
‘ketiadaan’ tata ruang kota, bisa dibaca sebagai anarki tata ruang yang sedang
terjadi. Para perencana tata ruang sangat kesulitan memastikan rancangan
rencana kota lebih cepat dari gerak pembangunan warga kota sendiri. Apalagi ada
indikasi bahwa penentu utama dalam tata ruang ini bukan manusia tetapi uang.
Artinya, rasionalitas rancangan ruang kota telah takluk di bawah para pemilik
modal, dan ‘diamini’ Pemerintah kota tanpa visi dengan perskeptif tunggal ‘PAD’
(Pokoknya Ada Doi).
Doi/Uang sebagai indikator sangat terkait dengan logika investasi. Pemilik uang besar, otomatis akan mendikte tata ruang kota. Seharusnya kota tidak ditata hanya atas kemauan para kaum berduit saja, kota harus ditata untuk kepentingan publik. Untuk menjaga ‘kepentingan publik’, Walikota dan Wakil Wali Kota haruslah menjadi arsitek sebuah kota. Mereka tidak boleh diam untuk persoalan-persoalan prinsipil, terutama jika itu terkait kepentingan publik.
Doi/Uang sebagai indikator sangat terkait dengan logika investasi. Pemilik uang besar, otomatis akan mendikte tata ruang kota. Seharusnya kota tidak ditata hanya atas kemauan para kaum berduit saja, kota harus ditata untuk kepentingan publik. Untuk menjaga ‘kepentingan publik’, Walikota dan Wakil Wali Kota haruslah menjadi arsitek sebuah kota. Mereka tidak boleh diam untuk persoalan-persoalan prinsipil, terutama jika itu terkait kepentingan publik.
Cara
untuk memastikan apa kebutuhan/kehendak publik, seharusnya tidak dikalahkan
dengan indikator Pendapatan Asli Daerah yang disumbangkan melalui investasi.
Sederhananya pasar tidak boleh mendominasi seluruh ruang hidup, termasuk tata
ruang.
Anomali
Aturan
Lagu
lama tentang hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah berlaku di Kota
Kupang. Contohnya: Para penjual sayur di pojok jembatan Liliba dengan mudah
digusur karena dianggap memacetkan jalan (entah mereka kemana sekarang),
sedangkan hotel dan bar milik politisi PDIP, Herman Hery, yang desainnya
memakan bahu jalan, tanpa ada ruang trotoar, bahkan areal parkirnya kerap
memakai jalan negara, tidak diurus. Jalan yang menyempit karena menjadi lahan
parkir di Jalan Timor Raya dianggap bukan merupakan persoalan. Bahkan akses ke
pantai ‘yang dikorup’ oleh para pengusaha di Pasir Panjang dibiarkan saja oleh Walikota
dan Wakil Walikota. Realita yang ini tidak sesuai dengan amanat Perda Kota
Kupang Nomor 12 Tahun 2011, Tentang Rencana Tata Ruang, khususnya untuk letak
bangunan yang dihitung dari ruas Jalan Timor Raya maupun Rencana Jalan Pesisir.
Ketidak
patuhan terhadap Perda Kota Kupang Nomor 12 Tahun 2011, Tentang Rencana Tata
Ruang, juga terjadi dalam proses pembangunan Hotel Barata, khususnya untuk letak bangunan yang dihitung
dari ruas Jalan Timor Raya maupun rencana jalan pesisir. Berdasarkan surat izin mendirikan bangunan (IMB) Nomor
054/BPPT/640.644/002.KKL/I/2012, tercatat, luas bangunan 4.333 meter persegi
dengan konstruksinya tiga lantai. Dalam perjalanan pembangunannya, Hotel
dibangun dengan konstriksi empat lantai. Selain itu, terdapat juga empat advice
plan yang dikeluarkan Pemkot Kupang. Advice plan pertama dikeluarkan pada tahun
2011. Selanjutnya, kedua pada 15 September 2014. Advice plan ketiga dikeluarkan
11 Maret 2015. Saat dikeluarkan advice plan ketiga ini, jalan pesisir
dihentikan dan pihak hotel Barata membangun tembok penahan gelombang.
Selanjutnya, advice plan keempat diberikan pada April 2015.
Anehnya, Pemkot Kupang
mengakomodir tembok penahan, tetapi memindahkan rencana jalan pesisir di depan
tembok penahan yang kondisinya sudah berada di dalam laut. Pembangunan tembok
belakang Hotel Barata sepanjang 234 meter, diduga dibangun di atas tanah milik
negara dan tidak melalui kajian UKL-UPL yang benar. Bahkan, demi
kepentingan memuluskan pembangunan Hotel Barata, Walikota Kupang berniat untuk
merubah Perda Kota Kupang, terkait dengan Rencana Tata Ruang ini.
Aroma
korupsipun sangat terasa. Diduga ada pelaku bermasalah yang telah melakukan
penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dalam
pemberian/terbitnya ijin, dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara.
Indikasi
adanya kerugian negara dalam pembangunan Hotel Barata memiliki keterkaitan erat
dengan dugaan okupasi tanah milik Pemkot Kupang. Hal ini dengan mudah dapat
diketahui karena adanya pengalihan aset daerah berupa tanah, tanpa sepersetujuan
dari pihak legislatif. Untuk itu, sangatlah tepat jika pihak kejaksaan mulai menelusuri
bukti kepemilikan yang telah dikeluarkan oleh Pemkot Kupang dalam hal ini
Bagian Tatapem Setda Kota Kupang dan Badan Pertanahan Kota Kupang.
Tata
Ruang Dimensi Tunggal: Menolak Logika “Doi”
Idealnya,
tata ruang sebuah kota tak hanya menjawab satu dimensi semata, tetapi mampu
menjawab lapisan dimensi lain. Tata ruang kota tidak hanya peduli pada dimensi
ekonomi semata, dan mengabaikan seluruh fungsi yang lain.
Kota
tidak hanya dilihat dari ‘atribut dekoratifnya’, namun kota juga perlu dibaca
dalam konteks struktur tata ruang. Jika struktur tata ruang tidak ditemukan,
maka pertanyaannya, apa yang sedang
dibuat Walikota/Wakil Walikota dan para pemikir tata ruang selain hanya
bergerak dalam dimensi ekonomi? Pertanyaan ini mungkin dianggap cukup sinis, namun
harus dipahami bahwa tata ruang diwariskan dalam satuan abad (bahkan
berabad-abad).
Miskinnya
sensitivitas para pejabat yang tidak mampu membedakan antara aspek kepemilikan
dan pembagian fungsi, tergambar dengan jelas dari analisis dua orang kuat tata
ruang Kota Kupang diberbagai media cetak bahwa tata ruang yang mereka desain
menguntungkan warga kota. Logika ini cenderung manipulatif karena
mencampuradukan antara perkara kepemilikan tanah dan persoalan tata ruang.
Perkara kepemilikan tanah seharusnya tidak dicampur dengan tata ruang. Perkara
kepemilikan tetap lah perkara kepemilikan.
Kerancuan
konstruksi berpikir dari para arsitek kota, secara jelas terlihat dari ide
perubahan fungsi taman kota (kini Subasuka) di pinggir pantai di depan (eks
kantor Kota Administratif Kupang). Ketidakmampuan arsitek kota melihat
pentingnya kawasan pantai untuk kebutuhan rekreasi publik diperlihatkan pada
bagaimana para ‘pejabat kota’ memperlakukan tanah milik Pemkot Kupang. Taman
kota yang sudah ada sejak era Kota Administratif dan milik Kotif pun diubah
menjadi lapangan usaha (Kini Subasuka).
Mirisnya
lagi lokasi Teluk Kupang (di samping Subasuka) yang dihentikan masa kontraknya,
hanya dipikirkan untuk dijadikan tempat usaha, padahal warga kota sudah
menjerit tentang kebutuhan atas akses ke pantai. Jadi sekali lagi ini bukan
soal kepemilikan lahan, tetapi ketiadaan prioritas publik oleh pejabat kota.
Persoalan segel hanya dipahami sebatas kontrak, dan tidak melihat kebutuhan
warga kota atas ruang terbuka pantai.
Ketamakan
penguasa kota dalam mengurus tata ruang, telah menyingkirkan akses warga Kota
Kupang terhadap pantai yang seharusnya menjadi ruang terbuka. Penyingkiran ini
bukan saja tumbuh karena tuntutan arsitektur modern, melainkan juga dipicu oleh
tata guna lahan di Kota Kupang. Lahan di Kota Kupang bukan diperuntukan sebagai
sarana produksi, tetapi lahan untuk reproduksi penduduk Kota Kupang. Akibatnya,
investasi tanah di Kota Kupang menjadi bisnis yang menjanjikan. Selain dinilai
paling aman dalam situasi politik yang labil, juga menjanjikan keuntungan yang
besar.
Pada
akhirnya, harapan dari warga untuk mendapatkan warisan tata ruang yang adil
dari Pemekot Kupang saat ini adalah sesuatu yang tidak mungkin. Maraknya
spekulan tanah yang bermain di dunia tata ruang adalah tantangan tersendiri.
Pekerjaan spekulan tanah merupakan pekerjaan yang melibatkan kalangan
pemerintah maupun para pemilik modal yang ingin untung besar.
Institusionalisasi spekulasi tanah telah mengurangi kemampuan migran di Kota
Kupang dalam membeli tanah untuk tempat tinggal. Selain itu, tanah di pinggiran
Kota Kupang dan pesisir pantai cenderung dijadikan sebagi objek spekulasi tanah
ketimbang untuk perluasan pembangunan kota. Inilah yang menyebabkan hampir
seluruh kawasan Pantai Pasir Panjang ‘dipegang’ pengusaha atas dukungan
penguasa dengan alasan kepentingan pariwisata. (Tulisan ini pernah
dipublikasikan dalam Harian Umum Victory News, 16 Maret 2016).
---------------------------
Penulis:
Aktivis PIAR NTT