KEJAHATAN
TERHADAP KEPENTINGAN PUBLIK
Oleh.
Paul SinlaEloE
Pembangunan atau yang disebut dengan istilah apapun, semestinya diarahkan pada penciptaan kesejahteraan warganya. Itu berarti, tujuan utama pembangunan adalah kesejahteraan manusia (Human Welfare). Pada konteks Nusa Tenggara Timur (NTT), pembangunan untuk mensejahterakan warga belum dapat terwujud. Ketidakseriuasan para pengambil kebijakan di NTT dalam mewujudkan pembangunan yang mensejahtrakan, merupakan alasn utama persoalan kemiskinan di NTT masih terus terjadi dan semakin menjadi-jadi. Karenanya, tidaklah mengherankan apabila NTT sering diplesetkan menjadi Nusa Tetap Termiskin.
Secara statistik, jumlah orang miskin di NTT semakin parah dari
tahun ketahun. Data kehidupan bernegara di NTT sebagaimana yang dipublish Badan Pusat Statistik,
menunjukan bahwa penduduk miskin provinsi NTT pada Maret 2010 mengalami
kenaikan jika dibandingkan dengan Maret 2009. Pada tahun 2009 penduduk miskin
di NTT sebanyak 1.013.200 orang (23,31%). Sedangkan pada tahun 2010, jumlah
penduduk miskin di NTT bertambah menjadi 1.014.100 orang (23,03%). Pada tahun
2011, Secara absolut (Secara absolut
artinya, secara kedalaman dan keparahan), angka kemiskinan di NTT naik dari
986.500 jiwa pada September 2011 menjadi 1.029.000 jiwa per september 2012.
Pada September 2013, Persentase penduduk miskin di NTT sebesar
20,24% turun sebesar 0,17% dari 20,41% pada September 2012. Walaupun turun,
tetapi secara absolut naik sebesar 8,86 ribu orang dari 1.000,29 ribu orang
menjadi 1.009,15 orang pada periode yang sama. Berdasarkan daerah tempat
tinggal, selama periode September 2012-September 2013, persentase penduduk
miskin di daerah perkotaan mengalami penurunan sebesar 2,11% sementara daerah
perdesaan mengalami peningkatan sebesar 0,28 %. Garis Kemiskinan naik sebesar
12,84%, yaitu dari Rp. 222.507,- per kapita per bulan pada September 2012
menjadi Rp. 251.080,- per kapita per bulan pada September 2013.
Statistik kemiskinan di NTT ini, berbanding lurus dengan maraknya
korupsi yang terjadi pada sektor pelayanan publik. Data PIAR NTT menunjukan
bahwa: PERTAMA, Tahun 2012, terdapat
135 kasus korupsi yang dipantau oleh PIAR NTT, terdapat indikasi kerugian
negara sebesar Rp.449.851.831.680,00 dengan Pelaku bermasalah dari ke-135 kasus korupsi adalah sebanyak 470 orang dan
39 orang diantaranya melakuakan pengulangan tindak korupsi. KEDUA, Tahun
2013, terdapat 146 kasus korupsi yang dipantau oleh PIAR NTT, terdapat indikasi
kerugian negara sebesar Rp.326.712.695.340,00 dengan Pelaku bermasalah dari ke-146 kasus korupsi adalah sebanyak 477 orang dan
36 orang diantaranya melakuakan pengulangan tindak korupsi.
Maraknya korupsi di NTT yang terjadi pada sektor pelayanan publik
dan buruknya pelayanan publik, membenarkan bahwa antara kualitas pelayanan
publik dengan praktik korupsi memiliki hubungan kausalitas. Artinya, semakin
marak praktik korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara pelayanan publik, maka
akan semakin buruk kualitas pelayanan publik. Demikian juga sebaliknya, semakin
buruk kualitas pelayanan publik, akan semakin besar kemungkinan terjadinya
korupsi.
Bukti lain dari ketidakseriusan pengambil
kebijakan di NTT dalam mensejahtrakan warganya, bisa dilihat dari data
Kementerian Kesehatan tahun 2014 yang menempatkan Prov. NTT sebagai JUARA
KURANG GIZI di Indonesia dengan penderita kurang gizi sebanyak 22.561 orang,
gizi buruk tanpa gejala klinis mencapai 3.130 orang, dan gizi buruk dengan
gejala klinis mencapai 13 orang. Data kementrian kesehatan ini mempertegas data lembaga internasional, Australian Aid, yang sempat dipolemikan oleh para petinggi di NTT
karena mempublikasikan bahwa pada tahun 2012 di NTT, setiap hari terdapat tiga
balita yang meninggal dunia karena kekurangan asupan gizi, atau sebanyak 791
balita yang meninggal pada tahun 2012.
Lucunya, solusi pada tahun
2015 yang diambil oleh para petinggi di NTT untuk mengatasi berbagai persoalan
rakyat ini adalah dengan mengalokasikan anggaran
guna membiayai perjalanan dinas untuk 17 Dinas, 14 Badan, 4 Kantor, 9 Biro, 3
Sekretariat, plus Pol PP, dan RSUD WZ Johannes Kupang, menembus angka
fantastis, yaitu Rp.248.994.707.040. Lebih lucunya lagi anggaran JALAN-JALAN DINAS
dari para anggota DPRD NTT, dialokasikan paling banyak dengan jumlah
Rp.36.361.012.000. Solusi ini dibilang lucu karena anggran untuk jalan-jalan
dinas dari para pengambil kebijakan dalam APBD NTT TA. 2015, tidak sebanding
dengan anggran untuk mengatasi masalah gizi yang hanya sejumlah Rp.675 juta.
Pengelolaan dan pemanfaatan anggaran publik
oleh para pengambil kebijakan di NTT secara tidak manusiawi dan tidak
bermartabat ini, dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kepentingan
publik. Sebagai sebuah terminologi, kejahatan terhadap kepentingan publik (crimes against public interest) tidak
popular dalam literatur hukum pidana di Indonesia. Kejahatan terhadap
kepentingan publik juga tidak dikenal sebagai satu kategori dari jenis
kejahatan dalam hukum pidana nasional.
Menurut Munir Fuady (2004:21) kejahatan
terhadap kepentingan publik dapat dimengerti sebagai tindakan melawan hukum
yang merugikan kepentingan masyarakat banyak dan menyerang martabat publik
secara luas. Kejahatan terhadap kepentingan publik memiliki watak sebagai
bidang hukum yang fungsional dan mempunyai beragam karakter (G. Faure, J.C.
Oudick, dan Schaffmester, 1994:9). Konsekuensinya selain terdapat dimensi
penegakan hukum melalui pendayagunaan hukum pidana, tetapi juga dilaksanakan
melalui sarana kebijakan negara lainnya, seperti hukum administrasi dan
mekanisme spesifik sektoral lainnya, termasuk penyelesaian sengketa secara
perdata.
Karakteristik kejahatan terhadap kepentingan
publik secara spesifik dapat dilihat dari sifat dan pelaku tindak kejahatannya.
Syahrial M. Wiryawan (2005:3),
berpendapat bahwa dari sisi sifat kejahatannya, daya rusak kejahatan terhadap
kepentingan publik biasanya memiliki efek yang luas dan besar. Aspek ini
mencakup segi kualitas kejahatannya yang menggunakan modus operandi yang
kompleks maupun dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan otoritas hukum,
politik, ekonomi, dan profesi. Kerugian-kerugian yang ditimbulkan oleh
kejahatan ini secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kerugian
yang sifatnya individual maupun yang bersifat massif dan kejahatan yang mengakibatkan kerugian Negara
(Syahrial M. Wiryawan, 2005:3).
Sementara itu dari aspek pelakunya, kejahatan
terhadap kepentingan publik dilakukan oleh setiap orang atau kelompok yang
memiliki kekuasaan politik, ekonomi serta akses terhadap teknologi atau pengetahuan
tertentu (Syahrial M. Wiryawan, 2005:3).
Tindak kejahatan yang berhimpitan dengan kekuasaan politik biasanya dilakukan
oleh pejabat-pejabat publik (crimes
commited by public officers).
Pada akhirnya, pengembangan pemikiran terkait
kejahatan terhadap kepentingan publik terutama disektor pengelolaan anggaran
publik adalah sesuatu yang mutlak diperlukan. Teori, konsep dan peraturan
khusus terkait kejahatan terhadap kepentingan publik juga wajib dibuat untuk
menguatkan sistem hukum pidana yang melindungi masyarakat dari berbagai kejahatan
yang memiliki modus operandi yang kompleks dan canggih dan dilakukan oleh mereka
yang memiliki kedudukan atau status sosial yang tinggi. LAWAN KEJAHATAN
TERHADAP KEPENTINGAN PUBLIK DALAM PENGELOLAAN ANGGARAN PUBLIK…!!
---------------------------------
Penulis: Koord. Div. Anti
Korupsi PIAR NTT