TINDAK
PIDANA PERDAGANGAN ORANG
Oleh. Paul SinlaEloE
CATATAN PENGANTAR
Perdagangan orang oleh Amnesty
International disebut sebagai perbudakan manusia moderen. Fenomena ini
dianggap lebih banyak terjadi di luar negeri, padahal perdagangan orang maupun
perbudakan moderen juga banyak terjadi di dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Eufemisme terasa sekali dalam penyebutan kasus perdagangan
orang, dengan menyebut ‘tenaga kerja ilegal’. Padahal jelas hal yang
diperdagangkan bukan lagi ‘tenaga kerja’, tetapi ‘orangnya’. Perbedaannya, jika
hanya menjual ‘tenaga kerjanya’ maka itu bisa disebut sebagai tenaga kerja,
tetapi ketika sang subyek tidak lagi memiliki otoritas atas dirinya, maka ia
sebagai manusia telah dijual. Ia telah di-eksploitasi, dan manusia telah
menjadi komoditas. Ini lah yang disebut perdagangan orang. (Dominggus Elcid Li
dan Paul SinlaEloE, 2014).
PERDAGANGAN ORANG DAN TINDAK PIDANA
PERDAGANGAN ORANG
Perdagangan Orang adalah tindakan
perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan
seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan,
penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan,
penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh
persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik
yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi
atau mengakibatkan orang tereksploitasi. (Pasal 1 angka 1 UU No. 21 Tahun 2007,
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang/UUPTPPO).
Dalam UUPTPPO, Tindak Pidana Perdagangan
Orang (TPPO) dipahami sebagai setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang
memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang ini
(Pasal 1 angka 2 UUPTPPO). Tindakan-tindakan yang disebut TPPO
dikonstruksi dan dijabarkan sebagai berikut: Pertama, memasukkan
orang ke wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di
wilayah Negara Republik Indonesia atau dieksploitasi di negara lain; Kedua,
penyalahgunaan kekuasaan mengakibatkan terjadinya TPPO; Ketiga,
berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan TPPO, dan tindak pidana itu
tidak terjadi; Keempat, membantu atau melakukan percobaan untuk
melakukan TPPO;
Kelima, melakukan perekrutan, pengangkutan,
penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman
kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran
atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali
atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar
negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi;
Keenam, membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah Negara Republik
Indonesia dengan maksud untuk di-eksploitasi di luar wilayah negara Republik
Indonesia;
Ketujuh, melakukan pengangkatan anak dengan
menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi;Kedelapan,
melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang
mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi;Kesembilan, merencanakan atau
melakukan permufakatan jahat untuk melakukan TPPO; Kesepuluh,
menggunakan atau memanfaatkan korban TPPO dengan cara melakukan persetubuhan
atau perbuatan cabul lainnya dengan korban TPPO, mempekerjakan korban TPPO
untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau mengambil keuntungan dari hasil
TPPO;
Kesebelas, memberikan atau
memasukkan keterangan palsu pada dokumen negara atau dokumen lain atau
memalsukan dokumen negara atau dokumen lain, untuk mempermudah terjadinya TPPO;
Keduabelas, memberikan kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti palsu
atau barang bukti palsu, atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum di sidang
pengadilan TPPO; Ketigabelas, melakukan penyerangan fisik terhadap
saksi atau petugas di persidangan dalam perkara TPPO;
Keempatbelas, sengaja mencegah,
merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, atau saksi
dalam perkara TPPO; Kelimabelas, membantu pelarian pelaku TPPO dari
proses peradilan pidana; Keenambelas, memberitahukan identitas saksi
atau korban padahal kepadanya telah diberitahukan bahwa identitas saksi atau
korban tersebut harus dirahasiakan.
PELAKU DALAM TINDAK PERDAGANGAN ORANG
Pelaku dalam konteks hukum pidana dipahami
sebagai pihak atau subjek hukum yang melakukan suatu tindak pidana. UUPTPPO
mengklaster pelaku TPPO (subjek Hukum) kedalam 4 (empat) kelompok,
yakni: Pertama, orang perseorangan, yang
dipahami sebagai setiap individu/perorangan yang secara bersama-sama dan atau
sendiri-sendiri yang secara langsung maupun tidak langsung bertindak melakukan
TPPO (Pasal 1 angka 4 UUPTPPO). Kedua, kelompok yang
terorganisasi, yaitu kelompok terstruktur yang terdiri dari 3 (tiga) orang atau
lebih, yang eksistensinya untuk waktu tertentu dan bertindak dengan tujuan
melakukan satu atau lebih TPPO dengan tujuan memperoleh keuntungan materiil
atau finansial baik langsung maupun tidak langsung (Penjelasan Pasal 16
UUPTPPO).
Ketiga, Korporasi yang adalah kumpulan
orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun
bukan badan hukum yang melakukan TPPO (Pasal 1 angka 6
UUPTPPO). Keempat, penyelenggara negara yang dalam UUPTPPO
dipahami sebagai pejabat pemerintah, anggota Tentara Nasional Indonesia,
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, aparat keamanan, penegak hukum
atau pejabat publik yang menyalahgunakan kekuasaannya (menjalankan kekuasaan
yang ada padanya secara tidak sesuai tujuan pemberian kekuasaan tersebut atau
menjalankannya secara tidak sesuai ketentuan peraturan) untuk melakukan
atau mempermudah TPPO (Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UUPTPPO).
Dengan pengklasteran yang demikian, maka
sebenarnya pelaku TPPO ini adalah bisa meliputi siapa saja,
seperti: aparat (Presiden, Anggota Legislatif, Gubernur, Bupati/Walikota,
Camat, Lurah, RW, RT, TNI, Polisi, Bidan, dan lain-lain), tokoh masyarakat, para
perantara pengerah tenaga kerja dan pengirim, perantara internasional, agen
perjalanan, pejabat yang korupsi (pejabat yang terkait dengan pengiriman tenaga
kerja, termasuk penegak hukumnya, sindikat tindak pidana yang terorganisasi pencari
pekerja dan pebisnis, termasuk pemilik klub malam dan yang memperkerjakan
pekerja domestik, pelanggan (yang memanfaatkan orang yang diperdagangkan),
mantan korban TPPO. Bahkan pelakunyapun bisa berusia anak maupun orang terdekat
yang seharusnya melindungi, diantaranya adalah: Orang tua, tetatngga, pacar,
teman, suami/istri, kakak/adik, saudara dan sanak kerabat.
Berdasarkan peran dalam suatu tindak
pidana, pengklasteran pelaku TPPO harus berpedoman pada amanat Pasal 55 dan
Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHPidana), yaitu: PERTAMA,
PEMBUAT (DADER). Pembuat
atau dader diatur dalam Pasal 55 KUHPidana. Pengertian dader itu
berasal dari kata daad yang di dalam bahasa Belanda berarti sebagai hal
melakukan atau sebagai tindakan (P. A. F. Lamintang, 1990:585). Dalam ilmu
hukum pidana, tidaklah lazim orang mengatakan bahwa seorang pelaku itu telah
membuat suatu tindak pidana atau bahwa seorang pembuat itu telah membuat suatu
tindak pidana, akan tetapi yang lazim dikatakan orang adalah bahwa seorang
pelaku itu telah melakukan suatu tindak pidana.
Pembuat atau dader sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 55 KUHPidana, yang terdiri dari: (a). Pelaku (pleger).
Menurut Hazewinkel Suringa yang dimaksud dengan Pleger adalah setiap
orang yang dengan seorang diri telah memenuhi semua unsur dari delik seperti
yang telah ditentukan di dalam rumusan delik yang bersangkutan, juga tanpa
adanya ketentuan pidana yang mengatur masalah deelneming itu,
orang-orang tersebut tetap dapat dihukum. (P. A. F. Lamintang, 1990:599). (b).
Menyuruh melakukan (doenpleger). Mengenai doenplagen atau
menyuruh melakukan dalam ilmu pengetahuan hukum pidana biasanya di sebut
sebagai seorang middelijjke dader atau seorang mittelbare tater yang
artinya seorang pelaku tidak langsung. Ia di sebut pelaku tidak langsung oleh
karena ia memang tidak secara langsung melakukan sendiri tindak pidananya,
melainkan dengan perantaraan orang lain. Dengan demikian ada dua pihak, yaitu
pembuat langsung atau manus ministra/auctor physicus), dan pembuat tidak
langsung atau manus domina/auctor intellectualis (P. A. F.
Lamintang, 1990:610-611). Untuk adanya suatu doenplagen seperti yang
dimaksudkan di dalam Pasal 55 ayat (1) KUHPidana, maka orang yang disuruh
melakukan itu haruslah memenuhi beberapa syarat tertentu.
Simons dalam P. A. F. Lamintang
(1990:610-611) menegasakan bahwa syarat-syarat tersebut adalah: Pertama,
Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu adalah seseorang
yang ontoerekeningsvatbaar seperti yang tercantum dalam Pasal 44
KUHPidana. Kedua, Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak
pidana mempunyai suatu kesalahpahaman mengenai salah satu unsur dari tindak
pidana yang bersangkutan (dwaling). Ketiga, Apabila orang yang
disuruh melakukan suatu tindak pidana itu sama sekali tidak mempunyai schuld,
baik dolus maupun culpa ataupun apabila orang tersebut tidak
memenuhi unsur opzet seperti yang telah disyaratkan oleh undang-undang
bagi tindak pidana tersebut. Keempat, Apabila orang yang disuruh
melakukan suatu tindak pidana itu tidak memenuhi unsur oogmerk padahal
unsur tersebut tidak disyaratkan di dalam rumusan undang-undang mengenai tindak
pidana.
Kelima, Apabila orang yang disuruh melakukan
suatu tindak pidana itu telah melakukannya di bawah pengaruh suatu overmacht
atau di bawah pengaruh suatu keadaan yang memaksa, dan terhadap paksaan
mana orang tersebut tidak mampu memberikan suatu perlawanan. Keenam,
Apabila orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana dengan itikad baik
telah melaksanakan suatu perintah jabatan padahal perintah jabatan tersebut
diberikan oleh seorang atasan yang tidak berwenang memberikan perintah semacam
itu. Ketujuh, Apabila orang yang disuruh melakukan suatu itndak pidana
itu tidak mempunyai suatu hoedanigheid atau
suatu sifat tertentu seperti yang telah disyaratkan oleh undng-undang yaitu
sebagai suatu sifat yang harus dimiliki oleh pelakunya sendiri.
(c). Turut serta
melakukan (medepleger). Menurut Memory van Toelichthing (MvT atau Penjelasan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda),
orang yang dengan sengaja turut berbuat atau turut mengerjakan terjadinya sesuatu.
Oleh karena itu, kualitas masing-masing peserta tindak pidana adalah sama. (d).
Penganjur (uitlokker) adalah orang yang menggerakkan orang lain
untuk melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang
ditentukan oleh undang-undang secara limitatif, yaitu memberi atau menjanjikan
sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, kekerasan, ancaman, atau
penyesatan, dengan memberi kesempatan, sarana, atau keterangan (P. A. F.
Lamintang, 1990:610-611).
KEDUA PELAKU PEMBANTU (MEDEPLICHTIGE).
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 56 KUHPidana,
pembantuan ada 2 (dua) jenis, yaitu: (a). Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan. Cara bagaimana pembantuannya tidak disebutkan dalam KUHPidana.Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan ini mirip dengan turut serta(medeplegen),
namun perbedaannya terletak pada: Pertama, Pada pembantuan
perbuatannya hanya bersifat membantu atau menunjang, sedang pada turut serta
merupakan perbuatan pelaksanaan. Kedua, Pada pembantuan, pembantu hanya sengaja memberi
bantuan tanpa diisyaratkan harus kerja sama dan tidak bertujuan atau
berkepentingan sendiri, sedangkan dalam turut serta, orang yang turut serta
sengaja melakukan tindak pidana, dengan cara bekerja sama dan mempunyai tujuan
sendiri. Ketiga, Pembantuan dalam
pelanggaran tidak dipidana (Pasal 60 KUHPidana), sedangkan turut serta dalam pelanggaran tetap dipidana. Keempat, Maksimum pidana pembantu
adalah maksimum pidana yang bersangkutan dikurangi 1/3 (sepertiga), sedangkan turut
serta dipidana sama.
(b). Pembantuan sebelum kejahatan
dilakukan, yang dilakukan dengan cara memberi kesempatan, sarana atau keterangan.
Pembantuan dalam rumusan ini mirip dengan penganjuran (uitlokking). Perbedaannya
pada niat atau kehendak, pada pembantuan kehendak jahat pembuat materiel sudah
ada sejak semula atau tidak ditimbulkan oleh pembantu, sedangkan dalam
penganjuran, kehendak melakukan kejahatan pada pembuat materiel ditimbulkan oleh
si penganjur.
Berbeda dengan pertanggungjawaban pembuat
yang semuanya dipidana sama dengan pelaku, pembantu dipidana lebih ringan dari
pada pembuatnya, yaitu dikurangi sepertiga dari ancaman maksimal pidana yang
dilakukan (Pasal 57 ayat (1) KUHPidana). Jika kejahatan diancam dengan pidana
mati atau pidana seumur hidup, pembantu dipidana penjara maksimal 15 tahun.
Namun ada beberapa catatan pengecualian: Pertama,
Pembantu dipidana sama berat dengan pembuat, yaitu pada kasus tindak pidana: (a).
Membantu merampas kemerdekaan (Pasal 333 ayat (4) KUHPidana) dengan cara
memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan. (b). Membantu menggelapkan
uang atau surat oleh pejabat (Pasal 415 KUHPidana). (c).. Meniadakan
surat-surat penting (Pasal 417 KUHPidana). Kedua, Pembantu dipidana
lebih berat dari pada pembuat, yaitu dalam hal melakukan tindak pidana: (a).
Membantu menyembunyikan barang titipan hakim (Pasal 231 ayat (3)
KUHPidana). (b). Dokter yang membantu menggugurkan kandungan (Pasal 349
KUHPidana).
ALAT BUKTI DALAM TINDAK PERDAGANGAN ORANG
Menurut Pasal 184 Ayat (1) KUHAPidana,
alat bukti yang sah adalah:Pertama, Keterangan saksi. Menurut
Pasal 1 butir 27 KUHAP, keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam
perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan
menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Kedua, Keterangan ahli. Menurut
Pasal 1 butir 28 KUHAP, keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh
seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat
terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan dalam hal serta
menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Ketiga, Surat. Menurut Pasal 187 KUHAP,
Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah
jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, yakni: (1) berita acara dan surat
lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang
dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang
didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang
jelas dan tegas tentang keterangannya itu; (2) surat yang dibuat menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat
mengenal hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya
dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan. (3)
surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi
dan padanya; (4) surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada
hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Kelima, Petunjuk. Menurut Pasal 188 KUHAP
ayat (1), Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak
pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan
siapa pelakunya. Keenam, Keterangan terdakwa. apa yang terdakwa
nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dia lakukan atau yang dia ketahui
sendiri atau alami sendiri (Pasal 189 ayat (1) KUHAP). Keterangan tersebut
tidak dapat diartikan secara sempit, yaitu terkait dengan pengakuan saja, namun
termasuk semua keterangan (pengakuan dan pengingkaran) yang diberikan oleh
terdakwa bahkan termasuk keterangan yang diberikan baik di dalam maupun di luar
persidangan.
Selain alat bukti sebagaimana ditentukan
dalam KUHAP, Pasal 29 UUPTPPO mengakui sejumlah alat bukti lainnya,
yakni: Pertama, informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima,
atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan
itu. Kedua, Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat,
dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan
suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain
kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tidak terbatas pada: (1).
tulisan, suara, atau gambar; (2). Peta, rancangan, foto, atau
sejenisnya;, atau (3). huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang
memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau
memahaminya.
PEMBUKTIAN DALAM KONTEKS
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
Dalam penegakan hukum berkaitan tindak
pidana perdagangan orang, mutlak diperlukan pembuktian. Secara teoritis,
dikenal 4 (empat) macam sistem pembuktian dalam perkara pidana termasuk tindak
pidana perdagangan orang, yaitu: Pertama, Conviction in time, adalah
sistem pembuktian yang berpedoman pada keyakinan hakim an sich dalam
memberikan putusan tentang terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang
didakwakan kepada terdakwa. Kedua, Conviction in Raisonee, adalah
sistem pembuktian yang berpedoman pada keyakinan hakim dalam memberikan putusan
tentang terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada
terdakwa. Faktor keyakinan hakim dalam sistem pembuktian ini harus didasarkan
pada alasan-alasan yang logis (reasonable).
Hal ini yang membedakan dengan sistem pembuktian yang pertama.
Ketiga, Positief wetelijk stelsel atau
yang lebih dikenal dengan sistem pembuktian posiitf, adalah sistem pembuktian
yang berpedoman pada alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang dalam
memberikan putusan tentang terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang
didakwakan kepada terdakwa. Keempat, Negatief wetelijk stelsel
atau yang lebih dikenal dengan sistem pembuktian negatif, adalah sistem
pembuktian yang berpedoman pada alat bukti yang telah ditentukan oleh
undang-undang dan keyakinan hakim dalam memberikan putusan tentang terbukti
atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. (Sudikno
Mertokusumo, 2006:141)
Pada konteks Indonesia,sistem Pembuktian
yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tercantum
dalam Pasal 183 yang rumusannya sebagai berikut: ”Hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya.”Dari rumusan Pasal
183 KUHAP ini, terlihat bahwa pembuktian harus didasarkan sedikitnya pada dua
alat bukti yang sah, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari
alat-alat bukti tersebut. Artinya, tersedianya minimum dua alat bukti saja,
belum cukup untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa. Sebaliknya, meskipun
hakim sudah yakin terhadap kesalahan terdakwa, maka jika tidak tersedia minimum
dua alat bukti, hakim juga belum dapat menjatuhkan pidana terhadap terdakwa.
Dalam hal inilah penjatuhan pidana terhadap seorang terdakwa haruslah memenuhi
dua syarat mutlak, yaitu alat bukti yang cukup dan keyakinan hakim. Sistem
pembuktian tersebut terkenal dengan nama sistem negative wettelijk.
Untuk menunjang pembuktian dalam suatu
peristiwa pidana, maka harus dilakukan penyidikan/investigasi, yaitu
serangkaian tindakan untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti
itu membuat terang tentang tindak pidana/tindak pidana perdagangan orang yang
terjadi. Dalam kerja-kerja Penyidikan/Investigasi, penyidik/investigator harus
menghimpun keterangan sehubungan dengan fakta-fakta tertentu atau
peristiwa-peristiwa tertentu, yakni: Pertama, Fakta tentang terjadinya
sesuatu kejahatan. Kedua, Identitas dari pada si korban. Ketiga,
Tempat yang pasti di mana kejahatan dilakukan. Keempat, Bagaimana
kejahatan itu dilakukan. Kelima, Waktu terjadinya kejahatan. Keenam,
Apa yang menjadi motif, tujuan serta niat. Ketujuh, Identitas pelaku
kejahatan.
Dalam melakukan penyidikan/investigasi,
untuk suatu tindak pidana perdagangan orang, parameter yang harus dipakai
adalah parameter alat bukti yang sah sesuai dengan Pasal 184 KUHAP dan Pasal 29
UUPTPPO untuk memenuhi aspek legalitas dan aspek legitimasi. Hal ini menjadi
penting karena pembuktian kasus tindak pidana termasuk TPPO, pada
dasarnya dimaksudkan untuk: Pertama, menunjukkan
peristiwa-peristiwa yang dapat di terima oleh panca indera; Kedua,
menunjukkan peristiwa-peristiwa yang dapat diterima dengan mengggunakan pikiran
logis; Ketiga, memberikan keterangan tentang peristiwa-peristiwa yang
telah diterima tersebut.
Dalam hal pembuktian
kasus tindak pidana termasuk TPPO, parameter yang harus dipakai adalah alat
bukti yang sah dan barang bukti yang dikaitkan dengan pelaku, korban, tempat
kejadian perkara (TKP) atau locus delicti dan waktu kejadian
perkara (tempus delicti). Keterkaitan diantara keseluruhan parameter ini
dapat dipahami dengan mencermati lingkaran pembuktian (Lihat Gambar).
Lingkaran pembuktian ini merupakan alat bantu sederhana dalam
memahami logika terjadinya suatu tindak pidana beserta pembuktian dalam suatu
tindak pidana.
Di dalam lingkaran pembuktian ini,
terdapat Segi tiga pembuktian/evidence triangle merupakan segitiga yang
terbentuk akibat hubungan timbal balik (interrelasi) antara: Pertama,
KORBAN adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik,
seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan TPPO
(Pasal 1 angka 3 UUPTPPO). Kedua, PELAKU. Pelaku adalah para
pihak dalam hal ini Orang Perorangan, Korporasi, Kelompok Terorganisasi dan
Penyelenggara Negara yang melakukan suatu TPPO (Pasal 1 angka4 UUPTPPO,
Pasal 1 angka 6 UUPTPPO, Pasal 8 ayat (1) UUPTPPO dan Pasal 16 UUPTPPO).
Ketiga, ALAT BUKTI/BARANG BUKTI adalah Segala sesuatu
yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat
bukti/barang bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna
menimbulkan keyakinan Hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang
telah dilakukan Pelaku/Terdakwa (Darwan Prinst,1998:135).
Hubungan dari ketiga sudut dalam segi tiga
pembuktian/evidence triangle ini, harus saling berkontak dan
berkesesuaian sehingga mempunyai hubungan causalitas (sebab akibat) pada
saat terjadinya tindak pidana (termasuk TPPO) di suatu tempat kejadian perkara
(TKP), yang dalam konteks hukum pidana dipahami sebagai
tempat/lokasi/wilayah hukum terjadinya suatu tindak pidana. Untuk kepentingan
pembuktian, kesemua hubungan causalitas antara pelaku, korban dan barang
bukti/alat bukti, harus terjadi dalam suatu waktu dalam hal ini waktu kejadian
perkara (tempus delicti).
Secara teoritis, ajaran causalitas dalam
hukum pidana bertujuan untuk mengetahui dan menentukan hingga seberapa jauh
suatu perbuatan (feit) dapat dipandang sebagai penyebab dari suatu
keadaan, atau hingga sejauhmana suatu keadaan dapat dipandang sebagai suatu
akibat dari suatu tindakan, dan sampai dimana seseorang yang telah melakukan
tindakan tersebut dapat diminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana.
CATATAN PENUTUP
Demikianlah Sumbangan pemikiran saya.
Semoga bermanfaat dan materi ini dapat menjadi bahan pengantar untuk suatu
disuksi yang lebih luas. LAWAN MAFIA PERDAGANGAN ORANG.…!!
Kupang, 21 Maret 2014
DAFTAR BACAAN
1. Darwan Prinst. Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Penerbit
Djambatan, Jakarta, 1998.
2. Dominggus Elcid Li dan Paul SinlaEloE, Perdagangan Orang dan
Memblenya Kepolisian, Atikel yang dipublikasikan dalam Harian Umum Victory
News, tanggal 25 Februari 2014.
3. P. A. F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia,
Penerbit Sinar Baru, Bandung, 1990.
4. R. Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan, Penerbit Politeia,
Bogor, 1995.
5. R.
Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP dilengkapi Yurisprudensi
Mahkamah Agung dan Hoge Raad, Penerbit Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2006.
6. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia - Edisi Ke 7,
Penebit Liberty, Yogyakarta, 2006.
7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007,
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
8. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2008, Tentang Tata
Cara Dan Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi Saksi Dan/Atau Korban Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
----------------------------------
KETERANGAN:
- Makalah ini merupakan materi pengantar dalam dikusi komunitas, dengan Thema: “Penegakan Hukum Terhadap Perdagangan Orang”, yang dilaksanakan oleh Pemuda Desa Oelnasi di Kantor Desa Oelnasi, Kec. Kupang Tengah, Kab. Kupang, Pada tanggal 23 Maret 2014.
- Aktivis PIAR NTT