MENAIKAN HARGA BBM: Perlukah…???
Oleh. Paul SinlaEloE
Beberapa minggu terakhir ini, segenap rakyat Indonesia dibuat “panik” oleh para petinggi rezim Indonesia bersatu dengan rencana menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi pada tanggal 1 April 2012. Wujud dari kepanikan ini dapat dilibuktikan dengan maraknya kasus penimbunan BBM dan berdampak pada kelangkaan BBM serta melonjaknya harga sembako yang memberatkan rakyat miskin. Selain itu, rencana pemerintah untuk menaikan harga BBM ini, juga cukup suskses mengalihkan perhatian rakyat dari polemik berkaitan rencana pembelian pesawat kepresidenan senilai Rp. 1 triliun dan berbagai kasus dugaan korupsi yang menggerogoti partai demokrat yang diketuai oleh Anas Urbaningrum yang mana Ketua Dewan Pembina sekalugus Ketua Dewan Penasehatnya adalah Soesilo Bambang Yudhoyono.
Argumen dari rezim Indonesia bersatu yang di “komandoi” Soesilo Bambang Yudhoyono (Presiden) dan Boediono (Wakil Presiden) adalah harga minyak dunia meroket dan saat ini menembus 106,67 US$ per barel. Karenanya untuk penyelamatan ekonomi nasional adalah sesuatu yang mutlak diperlukan. Cara yang dipilih untuk menyelamatkan perekonomian nasional adalah menaikkan harga BBM menjadi Rp. 6.000/liter dan mengurangi anggaran kementerian/lembaga. Hal ini dimkasudkan untuk mengurangi beban APBN dan Subsidi tak membengkak jadi Rp. 230,43 triliun dari Rp.168,55 triliun serta lebih tepat sasaran. Kompensasi lanjutan dari kebijakan menaikan harga BBM yang sangat tidak populis ini yakni pemerintah akan memberikan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) Rp. 150.000/bulan/KK selama 9 bulan, Penambahan raskin menjadi 14 bulan, Insentif, pengelolaan transportasi Rp. 5 trilyun, Beasiswa untuk siswa miskin Rp 5,9 trilyun dan Pasar murah rakyat.
Kalau kita mencermati dengan cerdas argumen dari pemerintah berkaitan dengan pembenaran untuk setiap kali akan menaikan harga BBM, maka yang selalu disampaikan adalah harga minyak di pasaran dunia saat ini melonjak dan hatrga BBM di Indonesia terlalu murah jika dibandingkan dengan Negara tetangga lainnya. Alasan ini sebenarnya sudah menjadi basi karena pada umumnya sudah di ketahui oleh umum bahwa sebagai Negara penghasil minyak dengan 1.100 lapangan minyak (sumur minyak) yang sudah beroperasi dan sebanyak 3.000.000 lapangan minyak/sumur minyak lainnya menunggu untuk di eksplorasi, Indonesia seharusnya diuntungkan dengan melonjaknya harga minyak dunia. Sehingga sangat lucu saja ketika pemerintah membandingkan harga minyak di Indonesia dengan Negara tetangga yang bukan penghasil minyak.
Selain itu, secara yuridis dalam pasal 7 ayat 6 UU Nomor 22/2011 tentang APBN tahun 2012 pada intinya menyatakan bahwa harga jual eceran BBM tidak mengalami kenaikan. Oleh karena itu, tekad pemerintah menaikan harga BBM kalau sampai diwujudkan, maka sebenarnya pemerintah sedang melanggar produk hukum yang telah dibuatnya sendiri.
Menurut Kwik Kian Gie (2012), dalam menyikapi melonjaknya harga BBM dunia, pemerintah tidak perlu mengurangi subsidi dan tidak perlu menaikan harga BBM karena sebetulnya APBN tidak akan jebol. Hal ini disebabkan karena fakta menunjukan bahwa Indonesia menghasilkan 930.000 Barel/hari (NB: 1 Barel=159 liter). Sedangkan Harga Minyak Mentahnya berdasarkan asusmsi pemerintah dalam APBN perubahan adalah 105 USD per Barel. Untuk Biaya . Harga biaya pengelolaan dan distribusi BBM diasumsikan sebesar Rp 566 per liter. Asusmsi ini bertolak dari hutungan Lifting + Refining + Transporting (LRT) 10 USD per Barel. Jadi hitunyannya adalah 10 USD/159 Liter x Rp.9000 = Rp. 566 per Liter. Artinya Biaya LRT untuk 63 Milyar Liter adalah 63 Milyar x Rp.566,- sama dengan Rp. 35,658 trilyun. Liftingnya sebanyak 930.000 barel per hari, atau sama dengan 930.000 x 365 = 339,450 juta barel per tahun.
Pada sisi yang lain Pertamina memperoleh minyak mentah dari pemerintah Indonesia (NB: hak pemerintah Indonesia adalah 70%) yaitu dari perusahaan minyak yang ada di Nusantara sebesar 237,615 juta barel per tahun. Selain itu, fakta juga menunnjukan bahwa Konsumsi BBM di Indonesia sebanyak 63 Milyar Liter per tahun atau dibagi dengan 159, maka Konsusmsi BBM di Indonesia adalah sebanyak 396,226 juta barel per tahun. Pertamina juga memperoleh dari Konsumen Rp. 63 Milyar Liter x Rp.4500,- atau sebanyak Rp. 283,5 Trilyun. Pertamina membeli dari Pemerintah dengan harga 237,615 Juta barel @USD 105 x Rp. 9000,- atau seharga Rp. 224,546 Trilyun. Itu berarti, pertamina harus mengeluarkan uang sebesar Rp 149,887 untuk membeli minyak dari luar negeri (Impor) untuk menambal kekurangan minyak dari dalam negeri. Untuk menghitung kekurangan yang harus di impor caranya adalah Konsumsi BBM di Indonesia dikurangi dengan Pembelian Pertamina ke pemerintah sebesar 158,611 Juta barel, maka hitungannya adalah 158,611 juta barel @USD 105 x Rp. 9000,- = Rp. 149,887 Trilyun. (Kwik Kian Gie, 2012).
Bertolak dari alur pikir yang dibangun oleh Kwik Kian Gie, maka dapat ditarik suatu titik simpul bahwa Pertamina memperoleh hasil penjualan BBM premium sebanyak 63 Milyar liter dengan harga Rp.4500,- yang hasilnya Rp. 283,5 Trilyun. Pertamina harus mengimpor dari Pasar Internasional Rp. 149,887 Trilyun. Pertamina membeli dari Pemerintah Rp. 224,546 Trilyun. Pertamina mengeluarkan uang untuk LRT 63 Milyar Liter @Rp.566,- = Rp. 35,658 Trilyun. Jadi jumlah pengeluaran Pertamina sebanyak Rp. 410,091 trilyun. Artinya, Pertamina mengalami kekurangan uang, maka otomatis Pemerintahlah yang harus membayar kekurangan ini yang di Indonesia di sebut dengan istilah “SUBSIDI”. Kekurangan yang dibayar pemerintah (SUBSIDI) adalah Jumlah pengeluaran Pertamina dikurangi dengan hasil penjualan Pertamina BBM kebutuhan di Indonesia yakni Rp. 410,091 trilyun dikurangi dengan Rp. 283,5 Trilyun, maka total kekurangannya sebesar Rp. 126,591 trilyun.
Walaupun mengalami kekurangan Rp. 126,591 trilyun, namun harus diingat bahwa Pemerintah juga memperoleh hasil penjualan juga kepada Pertamina (karena Pertamina juga membeli dari pemerintah) sebesar Rp. 224,546 trilyun. Dan hal inilah yang menurut Rieke Diah Pitaloka (2012) tidak pernah disampaikan oleh Pemerintah kepada rakyat. Dengan logika seperti ini, maka pemerintah malah mengalami kelebihan uang, yaitu sebesar perolehan hasil penjualan ke pertamina dikurangi dengan kekurangan yang dibayar Pemerintah (subsidi) atau Rp. 224,546 Trilyun di kurangi dengan Rp. 126,591 Trilyun, maka hasilnya Rp. 97,955 Trilyun. Artinya, APBN tidak mungkin “Jebol” dan justru yang harus dipertanyakan oleh segenap rakyat Indonesia kepada pemerintahan Indonesia bersatu yang dipimpin oleh Soesilo Bambang Yudhoyono (Presiden) dan Boediono (Wakil Presiden) ialah dimana/dimanfaatkan untuk apa sisa uang keuntungan pemerintah Indonesia hasil penjualan BBM kepada pertamina Sebesar Rp. 97,955 trilyun tersebut..??? INI BARU HITUNGAN 1 TAHUN. Untuk itu, sudah seharusnya KEBIJAKAN MENAIKAN HARGA BBM TIDAK PERLU DIBUAT oleh pemerintah, apalagi pembuatannya terkesan “dibuat-buat”.
Pada akhirnya, jika pemerintah tetap “nekat” untuk menaikan harga BBM, maka itulah penggenapan Teori Spiral Kekerasan yang di ajarkan oleh Dom Helder Camara yang mana pada intinya mengajarkan bahwa kekerasan senantiasa terjadi karena negara membuat ketidakadilan, selanjutnya rakyat akan berontak/memberikan perlawanan dan pada akhirnya negara melakukan represif. Walaupun demikian, tindakan serepresif apapun yang dilakukan negara bukan berarti kita tidak boleh berjuang untuk kebenaran dan keadilan. Dalam suatu perjuangan kita tidak harus menang, namaun kita harus tetap pada pihak yang benar. Kita juga tidak harus berhasil tapi kita harus tetap berdiri dengan optimis serta tetap bersuara dan berteriak tentang kebenaran dan keadilan. BACA dan LAWAN…!! (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian Pagi TIMOR EXPRESS, tanggal 27 Maret 2012).
---------------------------------------
Penulis: Staf Divisi Anti Korupsi PIAR NTT