MEMAHAMI IDEOLOGI
Oleh. Paul SinlaEloE
( Staf Div. Anti Korupsi PIAR
NTT )
Ideologi merupakan suatu terminologi asing, yang diciptakan oleh Destutt de
Tracy pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan "sains tentang ide". Ideologi
dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala
sesuatu. Tujuan utama dibalik ideologi adalah untuk menawarkan perubahan
melalui proses pemikiran normatif. Ideologi adalah sistem pemikiran abstrak
(tidak hanya sekadar pembentukan ide) yang diterapkan pada masalah publik
sehingga membuat konsep ini menjadi inti politik.
Secara semantik, ArthurSchlesinger.Jr1) memaknai
ideologi sebagai sebuah istilah yang mengandung norma, nilai, falsafah,
kepercayaan religius, sentimen, kaidah etis, pengetahuan atau wawasan tentang
dunia, etos dan semacamnya. Salah seorang pakar mengenai Ideologi, Edward
Shills, secara tegas menyebutkan bahwa ideology adalah a
system of ideas.2) Dengan pemahaman
seperti ini, maka secara harafiah Ideologi dapat diartikan sebagai suatu
rangkaian ide yang telah dipadu menjadi satu.
Menurut Antonio Gramsci,3) ideologi lebih
dari sekedar sistem ide. Bagi Gramsci, ideologi secara historis memiliki
keabsahan yang bersifat psikologis. Artinya ideologi ‘mengatur’ manusia dan memberikan
tempat bagi manusia untuk bergerak, mendapatkan kesadaran akan posisi mereka,
perjuangan mereka dan sebagainya.
Frans Magnis Suseno,4) menegaskan bahwa
ideologi merupakan keseluruhan sistem berfikir, nilai-nilai dan sikap dasar
rohaniah sebuah gerakan, kelompok sosial atau individu. Ideologi dapat
dimengerti sebagai suatu sistem penjelasan tentang eksistensi suatu kelompok
sosial, sejarahnya dan proyeksinya ke masa depan serta merasionalisasikan suatu
bentuk hubungan kekuasaaan.
Dengan demikian, ideologi memiliki fungsi mempolakan, mengkonsolidasikan
dan menciptakan arti dalam tindakan masyarakat. Ideologi yang dianutlah
yang pada akhirnya akan sangat menentukan bagaimana seseorang atau sekelompok
orang memandang sebuah persoalan dan harus berbuat apa untuk mensikapi
persoalan tersebut. Dalam konteks inilah kajian ideologi menjadi sangat
penting, namun seringkali diabaikan.
Franz Magnis Suseno,5) juga secara
sederhana mengemukakan tiga kategorisasi ideologi. Pertama, ideologi
dalam arti penuh atau disebut juga ideologi tertutup. Ideologi dalam
arti penuh berisi teori tentang hakekat realitas seluruhnya, yaitu merupakan
sebuah teori metafisika. Kemudian selanjutnya berisi teori tentang makna
sejarah yang memuat tujuan dan norma-norma politik sosial tentang bagaimana
suatu masyarakat harus di tata. Ideologi dalam arti penuh melegitimasi monopoli
elit penguasa di atas masyarakat, isinya tidak boleh dipertanyakan lagi,
bersifat dogmatis dan apriori dalam arti ideologi itu tidak dapat dikembangkan
berdasarkan pengalaman. Salah satu ciri khas ideologi semacam ini adalah klaim
atas kebenaran yang tidak boleh diragukan dengan hak menuntut adanya ketaatan
mutlak tanpa reserve. Dalam kaitan ini Franz Magnis Suseno mencontohkan
ideologi Marxisme-Leninisme.
Kedua, ideologi dalam arti terbuka. Artinya ideologi yang menyuguhkan
kerangka orientasi dasar, sedangkan dalam operasional keseharianya akan selalu
berkembang disesuaikan dengan norma, prinsip moral dan cita-cita masyarakat.
Operasionalisasi dalam praktek kehidupan masyarakat tidak dapat ditentukan
secara apriori melainkan harus disepakati secara demokratis sebagai bentuk
cita-cita bersama. Dengan demikian ideologi terbuka bersifat inklusif, tidak
totaliter dan tidak dapat dipakai untuk melegitimasi kekuasaan sekelompok
orang.
Ketiga, Ideologi dalam arti implisit atau tersirat. Ideologi semacam ini
ditemukan dalam keyakinan-keyakinan masyarakat tradisional tentang hakekat
realitas dan bagaimana manusia harus hidup didalamnya. Meskipun keyakinan itu
hanya implisit saja, tidak dirumuskan dan tidak diajarkan namun cita-cita dan
keyakinan itu sering berdimensi ideologis, karena mendukung tatanan sosial yang
ada dan melegitimasi struktur non demokratis tertentu seperti kekuasaan suatu
kelas sosial terhadap kelas sosial yang lain.
Dari 3 (Tiga) fungsi tersebut
diatas, terlihat bahwa pengaruh ideologi terhadap perilaku kehidupan sosial
berkaitan erat. Memahami format sosial politik suatu masyarakat akan sulit
dilakukan tanpa lebih dahulu memahami ideologi yang ada dalam masyarakat
tersebut. Dari sinilah terlihat betapa ideologi merupakan perangkat mendasar
dan merupakan salah satu unsur yang akan mewarnai aktivitas sosial dan politik.
Dalam penggunaannya, istilah Ideologi ini dipakai secara luas dalam
bidang politik untuk menunjukan seperangkat nilai yang terpadu, berkenaan dengan
aktivitas manusia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Itu
berarti ideologi adalah gagasan-gagasan politik manusia yang timbul
didalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, yang kemudian ditata
secara sistematis untuk dijadikan suatu kesatuan yang utuh. Jika pemahaman ini
adalah benar atau setidaknya mempunyai nilai kebenaran, maka apabila ideologi
itu disusun pada saat berlangsungnya aktifitas manusia dibidang politik dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, logikanya ideologi itu
merupakan salah satu ciri dari matangnya suatu konsep pemikiran politik.
Alfian6) berpendapat bahwa apabila relevansi dari
suatu ideologi terhadap perkembangan aspirasi massa-rakyat dan tuntutan
perubahan jaman, ingin tetap dipelihara, maka ideologi tersebut harus
memiliki tiga dimensi penting, yakni: Pertama, Dimensi Realita. Artinya,
nilai-nilai dasar yang terkandung dalam suatu ideologi harus bersumber dari
nilai-nilai yang riil lahir dan berkembang didalam masyarakat, sehingga mereka
betul-betul dapat merasakan dan menghayati bahwa nilai-nilai dasar itu adalah
milik mereka bersama.
Kedua, Dimensi Idealisme.
Artinya, suatu ideologi perlu mengandung cita-cita yang ingin dicapai
dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. untuk
itu, ideologi harus di ketahui dan dipahami oleh masyarakat sehingga
mereka dapat ikut berpartisipasi dalam menentukan serta mengarahkan arah
kehidupan bersama yang ingin dibangun. Ketiga, Dimensi Fleksibelitas. Artinya,
suatu ideologi harus dapat dikembangkan sesuai dengan perkembangan zaman. Oleh
karena itu, berkembangnya pemikiran-pemikiran baru berkaitan dengan upaya
pengembangan suatu ideologi tanpa menghilangkan hakekat yang terkandung
didalamnya, mutlak diperlukan.
Suatu Konsep Ideologi sebenarnya selalu mengandung dua konsep dasar
tentang “perubahan” (change) dan “nilai-nilai” (values). Disebut
demikian karena ideologi secara sederhana dapat didefinisikan sebagai
nilai-nilai yang mengubah masyarakat, baik mengubah kearah yang lebih progresif
atau membawanya kepada kemunduran (retrogesif). Dalam barbagai
literatur, terdapat berbagai prespektif tentang sifat dari ideologi dan dapat
di Generalisir dalam 5 (Lima)
kategori, yakni: Radikal, Liberal, Konservatif, Moderat dan Reaksioner.
Kontinuitas kategori sifat ideology dapat dijelaskan dalam gambar berikut:
(Lihat Gambar).
Jika spektrum dilihat, misalnya
dari kiri ke kanan,7) maka
dapat dibuat identifikasi sifat dan sekaligus mengetahuii hubungan khusus
diantara sifat-sifat atau jenis ideologi itu, misalnya mengapa radikal lebih
dekat ke kiri, sementara reaksioner ke kanan.
Dalam terminologi politik, radikal identik dengan kelompok ekstrimis
kiri, tetapi bukan ekstrimis kanan. Sementara dalam penggunaan yang lebih
popular, istilah radikal seringkali dirujukkan kepada kelompok ekstrimis baik
kiri maupun kanan.
Pada akhirnya Antonio Gramsci mengingatkan bahwa suatu ideologi tidak
bisa dilihat dari kebenaran atau kesalahannya tetapi harus dinilai dari
kemanjurannya dalam mengikat berbagai kelompok sosial yang berbeda-beda kedalam
suatu wadah, dan dalam peranannya sebagai dasar atau agen penyatuan social8).
Kupang, Maret 2010
------------------------------------------------------------------
REFERENSI:
1.
Arthur Schlesinger, Jr., The
Crises of Confidence, New York; Bantam Books, 1960, P. 47.
2. Edward Shills, Ideology, dalam
International Encyclopedia of the Social Change, Vol. 7. The Mcmillan and The
Free Press, New York, 1972, P.66-67.
3. Roger Simon, Gagasan-Gagasan Politik
Gramsci, Penerbit INSIST & Pustaka Pelajar, Jakarta, 1999,
Hlm. 83.
4. Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Penerbit
Kanisius, Yogyakarta, 1992,
Hlm, 230.
5. Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Penerbit
Kanisius, Yogyakarta, 1992,
Hlm. 232.
6. Alfian, Ideologi, Idealisme dan Integrasi
Nasional, dalam Prisma No. 8, Agustus 1986, Penerbit LP3ES, Jakarta, 1986.
7. Istilah kiri dan kanan berasal dari tradisi
politik Perancis, kelompok yang secara umum mendukung kebijakan-kebijakan
penguasa/raja adalah kelompok kanan. Sedang yang menawarkan perubahan dalam
system itu disebut kelompok kiri.
8. Roger Simon, Gagasan-Gagasan Politik
Gramsci, Penerbit INSIST & Pustaka Pelajar, Jakarta, 1999,
Hlm.86-87.