PENYELENGGARA NEGARA dan TINDAK
PIDANA PERDAGANGAN ORANG
Oleh. Paul
SinlaEloE
Melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial. Itulah amanat yang tertera dalam alinea keempat Pembukaan
UUD 1945, dan merupakan tujuan dari didirikannya Negara Indonesia. Demi
mewujudkan tujuan mulia ini, diperlukan suatu usaha bersama dimana tanggung
jawab utamanya berada pada Pemerintah (Penyelenggara Negara) dan seluruh rakyat
Indonesia harus mendapat kesempatan yang sama untuk berpartisipasi.
Sebagai penanggungjawab utama
dalam mewujudkan tujuan Negara Indonesia, maka setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk
melaksanakan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab dan tidak melakukan
perbuatan tercela, tanpa pamrih baik untuk kepentingan pribadi, keluarga,
kroni, maupun kelompok, dan tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun yang
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal
5 angka 6 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 28 Tahun 1999, tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme).
Penyelenggara Negara juga harus
menjalankan tugasnya secara
sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab, sesuai dengan asas-asas umum
penyelenggaraan negara sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 3 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999, tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yakni: asas kepastian hukum, asas tertib
penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas proporsionalitas, asas
profesionalitas dan asas akuntabilitas.
Berpijak pada alur pikir yang demikian, maka
dalam upaya untuk mewujudkan tujuan negara, idealnya Penyelenggara Negara tidak boleh menyalahgunakan kekuasaannya maupun
bertindak sewenang-wenang dengan kekuasaannya dalam penyelenggaraan negara. Dengan pemahaman yang seperti ini,
tidaklah mengherankan apabila terdapat banyak ketentuan hukum yang mengatur
tentang pemberian pidana bagi setiap Penyelenggara Negara yang menyalahgunakan
kekuasaannya maupun bertindak sewenang-wenang dengan kekuasaannya dalam penyelenggaraan negara.
Penyelenggara Negara Sebagai Pelaku TPPO
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21
Tahun 2007, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UUPTPPO),
merupakan salah satu dari sekian banyak produk hukum di Indonesia yang
dikonstruksi untuk menghukum setiap Penyelenggara Negara, jika menyalahgunakan
kekuasaan yang ada padanya dalam penyelenggaraan
negara.
Rumusan delik dalam Pasal 8 ayat (1) UUPTPPO, secara tegas mengamanatkan bahwa: “Setiap Penyelenggara Negara yang
menyalahgunakan kekuasaan yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana
perdagangan orang sebagaimana di maksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal
5, dan Pasal 6, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana
dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6”.
Terdapat 3 (tiga) unsur tindak pidana yang terkandung dalam ketentuan Pasal 8 ayat (1) UUPTPPO, yakni: Pertama, unsur
pelaku. Pasal 8 ayat (1) UUPTPPO dirumuskan untuk menjerat setiap Penyelenggara
Negara yang melakukan setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi
unsur-unsur Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Dalam konteks UUPTPPO,
Penyelenggara Negara dipahami sebagai pejabat pemerintah, anggota Tentara
Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, aparat
keamanan, penegak hukum atau pejabat publik yang menyalahgunakan kekuasaannya
untuk melakukan atau mempermudah tindak pidana perdagangan orang (Penjelasan Pasal 8 ayat (1) UUPTPPO).
Unsur pertama dari Pasal 8 ayat (1) UUPTPPO ini menekankan pada aspek spesifikasi
dari kualitas pelaku, yakni Penyelenggara Negara. Maksudnya, jika pelaku TPPO
adalah bukan Penyelenggara Negara, maka tidak dapat dijerat dengan Pasal 8 ayat (1) UUPTPPO. Kata ‘mempermudah’
yang terdapat dalam penjelasan Pasal 8 ayat (1) UUPTPPO,
menunjukan bahwa pembuat UUPTPPO menghendaki agar setiap Penyelenggara Negara
yang akan dihukum dengan Pasal 8 ayat (1) UUPTPPO,
tidak saja berperan sebagai pelaku yang secara langsung melakukan TPPO dengan cara menyalahgunakan kekuasaanya, namun dapat
juga dihukum karena perannya sebagai pelaku karena perbuatan penyertaan (deelneming)
maupun tindakan pembantuan (medeplichtigheid) dalam TPPO.
Unsur kedua terkait dengan rumusan delik dari
Pasal 8 ayat (1) UUPTPPO adalah unsur perbuatan, yakni penyalahgunaan
kekuasaan. Perbuatan sebagai unsur TPPO dipahami sebagai setiap tindakan
aktif dan/atau pasif yang dilakukan secara sadar maupun tidak untuk terwujudnya TPPO. Sedangkan yang
dimaksud dengan menyalahgunakan kekuasaan berdasarkan penjelasan Pasal 8 ayat (1) UUPTPPO adalah menjalankan
kekuasaan yang ada padanya tidak sesuai dengan ketentuan peraturan.
Dalam prespektif hukum pidana, tindakan atau
perbuatan penyalahgunaan kekuasaan oleh Penyelenggara Negara dapat berbentuk tindak pidana aktif atau tidak pidana positif (delict
commission), maupun berbentuk
tindak pidana pasif atau tindak pidana negatif (delict
omission). Menurut H. A. Zainal Abidin (2007:213), delict omissionis merupakan delik atau
tindak pidana yang hanya dapat diwujudkan dengan perbuatan (feit) pasif. Artinya, Penyelenggara
Negara dikategorikan sebagai pelaku TPPO karena tidak berbuat atau mengabaikan
kewajiban hukum, dimana seharusnya Penyelenggara Negara berbuat aktif.
Sebaliknya delict commissionis ialah
terwujudnya perbuatan pidana atau TPPO karena setiap Penyelenggara Negara yang
dikategorikan sebagai pelaku, tidak patuh terhadap undang-undang dengan cara
berbuat aktif untuk melanggar apa yang dilarang.
Penyalahgunaan kekuasaan oleh Penyelenggara Negara sehingga
menjadikan seseorang atau sekelompok orang menjadi korban kejahatan TPPO
sebagaimana yang dimaksud dalam unsur kedua dari Pasal 8 UUPTPPO, merupakan bentuk
paling umum dari viktimasi struktural. Viktimisasi struktural ini senantiasa berkaitan dengan struktur sosial dan kekuasaan
yang ada di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang
berkonsekwensi pada terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan. Praktek perbudakan,
ageism, diskriminasi, rasisme, seksisme, penyiksaan, penderitaan, eksploitasi, kerja
paksa, merupakan sebagaian dari bentuk viktimisasi struktural yang
membedakannya dari berbagai bentuk viktimisasi lainnya.
Ketiga, unsur tujuan/akibat. Unsur tujuan atau
akibat ini dipahami sebagai sesuatu yang nantinya akan tercapai dan atau
terwujud, sebagai akibat dari tindakan pelaku dalam kapasitasnya sebagai
Penyelenggara Negara. Unsur tujuan/akibat dalam Pasal
8 ayat (1) UUPTPPO adalah terjadinya TPPO sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. Unsur tujuan/akibat
sangat penting dalam penegakan hukum karena Pasal
8 ayat (1) UUPTPPO ini dirancang oleh perumus
undang-undang sebagai delik materil.
Menurut Satochid Kartanegara (Tanpa Tahun:136-137), unsur
perbuatan yang dilarang
dalam delik materil bukanlah merupakan persoalan inti yang harus dipersoalkan, sebab setiap
orang baru akan dihukum apabila unsur akibat yang dilarang telah terwujud. Dengan kata lain,
sempurnanya suatu tindak pidana pada delik materil bukan bergantung pada
selesainya wujud perbuatan, tetapi ditentukan pada apakah dari wujud perbuatan
itu, akibat yang dilarang telah timbul. Dengan demikian, jika akibat yang
dilarang belum terjadi, maka tindak pidana dimaksud dianggap belum
selesai/terjadi atau bisa juga dikategorikan dalam percobaan melakukan tindak
pidana.
Para perumus UUPTPPO juga
mendesain Pasal 8 ayat (1) UUPTPPO
sebagai tindak pidana yang tidak
berdiri sendiri, karena sempurnanya TPPO berdasarkan Pasal 8 ayat (1) UUPTPPO masih digantungkan pada terwujudnya TPPO sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2, Pasal
3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 UUPTPPO. Dengan kata lain, setiap Penyelenggara Negara yang menyalahgunakan kekuasaan baru dapat
dipidana sebagai pelaku TPPO, jika salah satu dari antara Pasal 2, Pasal 3,
Pasal 4, Pasal 5 atau Pasal 6 UUPTPPO, telah terwujud.
Sanksi
untuk Penyelengara Negara
yang Melakukan TPPO
yang Melakukan TPPO
Sanksi
merupakan istilah yang diadopsi dari bahasa Belanda, yakni ‘sanctie’,
dan dalam ilmu hukum dapat dipahami sebagai hukuman yang akan
dijatuhkan oleh pengadilan pada setiap orang yang tidak mentaati norma-norma
yang berlaku (Paul SinlaEloE, 2017:91). Menurut E. Y. Kanter dan S. R. Sianturi
(2012:30), sanksi merupakan alat preventif sekaligus menjadi alat represif,
karena: Pertama, sanksi adalah alat pemaksa atau pendorong atau jaminan agar
norma hukum ditaati oleh setiap orang. Kedua, merupakan akibat hukum (rechtsgevolg) bagi setiap orang yang
melanggar norma hukum.
Dalam hal sanksi, Pasal 8 ayat (1) UUPTPPO dirancang untuk memberikan hukuman bagi
pelaku (setiap Penyelenggara Negara) yang menyalahgunakan kekuasaan dengan
pemberatan pidana berupa tambahan pidana 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana
dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 UUPTPPO. Karena sanksi
yang terdapat dalam Pasal 8 ayat (1) UUPTPPO mengacu pada ancaman pidana dalam
Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 UUPTPPO, maka Pasal 8 ayat (1) UUPTPPO juga menganut stelsel
komulatif dengan mempergunakan model sanksi pidana penjara minimal-maksimal dan
denda minimal-maksimal.
Terkait dengan pemberatan pidana untuk
Penyelenggara Negara, Pasal 8 ayat (2) UUPTPPO
mengamanatkan bahwa setiap Penyelenggara Negara yang terbukti sebagai pelaku
TPPO, dapat juga dikenakan pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak
dengan hormat dari jabatannya. Pemberhentian secara tidak dengan hormat dari
jabatannya harus dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan (Pasal 8 ayat (3) UUPTPPO).
Pemberatan pidana bagi setiap Penyelenggara
Negara yang terbukti sebagai pelaku TPPO karena menyalahgunakan kekuasaan
adalah penting. Sebab, tugas utama dari Penyelenggara Negara adalah melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Cacat
Bawaan Terkait Sanksi
Bagi Penyelenggara Negara
Salah satu
cacat bawaan terkait dengan rumusan delik dari Pasal 8 UUPTPPO adalah
pengaturannya tentang penjatuhan sanksi. Dalam Pasal 8 UUPTPPO, aspek
klasifikasi dan stratifikasi jabatan dari setiap Penyelenggara Negara yang
menyalahgunakan kekuasaan sehingga terwujudnya TPPO, belum mendapat perhatian
dari para perumus UUPTPPO. Konsekuensinya, aspek klasifikasi dan stratifikasi
jabatan dari setiap Penyelenggara Negara dalam ketentuan penjatuhan sanksi
pidana bagi setiap Penyelenggara Negara yang menajdi pelaku TPPO dengan cara
menyalahgunakan kekuasaannya, menjadi terabaikan dalam rumusan delik dari Pasal
8 UUPTPPO.
Dengan konstruksi hukum dari Pasal 8 UUPTPPO
yang seperti ini, maka bisa saja setiap Penyelenggara Negara yang memiliki
klasifikasi dan stratifikasi jabatan yang rendah, akan dijatuhi hukuman yang
sama dengan setiap Penyelenggara Negara yang memiliki klasifikasi dan
stratifikasi jabatan yang tinggi. Padahal, kekuasaan (kewenangan, tugas dan tanggungjawab) dari
Penyelenggara Negara selalau dibedakan berdasarkan klasifikasi dan stratifikasi
jabatan.
Pengaturan
tentang penjatuhan sanksi pidana bagi Penyelenggara Negara sebagaimana yang terdapat
dalam Pasal 8 UUPTPPO, pada dasarnya dapat dimaklumi karena Indonesia menganut
model penjatuhan sanksi pidana berdasarkan peran dari pelaku dan bukannya
berdasarkan jabatan dari pelaku. Walaupun demikian, harus diingat bahwa
penjatuhan pidana bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana
(termasuk TPPO), tidak boleh mengabaikan aspek keadilan hukum yang merupakan
poin terpenting dari penegakan hukum di Indonesia, selain aspek kemanfaatan
hukum dan kepastian hukum.
Penegakan
hukum terhadap Pasal 8 UUPTPPO, khususnya penjatuhan sanksi pidana bagi setiap Penyelenggara
Negara yang menyalahgunakan kekuasaan sehingga TPPO terjadi, akan disebut telah memenuhi
aspek keadilan hukum apabila penjatuhan sanksi pidana tersebut sudah dirasakan
adil, baik oleh terhukum maupun oleh korban ataupun oleh masyarakat.
Dalam
rangka mewujudkan aspek keadilan hukum, maka penjatuhan sanksi pidana
harus didasarkan pada peran dari setiap Penyelenggara Negara yang melakukan
TPPO, namun aspek klasifikasi dan stratifikasi jabatan dari setiap
Penyelenggara Negara yang menjadi pelaku TPPO, tidak boleh diabaikan dalam
implementasi Pasal 8 UUPTPPO.
Solusi
untuk mengatasi cacat bawaan terkait penjatuhan sanksi pidana untuk
Penyelenggara Negara yang melakukan TPPO, maka penyusunan pedoman pemidanaan (sentencing guidlines) yang dapat
dijadikan rujukan dan pedoman bagi hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana untuk setiap
Penyelenggara Negara yang menyalahgunakan kekuasaannya, merupakan sesuatu yang
bersifat segera.
------------------------------------------
KETERANGAN:
- Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam http://www.zonalinenews.com/2018/04/penyelenggara-negara-dan-tindak-pidana-perdagangan-orang/, pada tanggal 16 April 2018.
- Penulis adalah Aktivis PIAR.