PERDAGANGAN ORANG & MEMBLENYA KEPOLISIAN
Oleh, Dominggus Elcid Li dan Paul SinlaEloE
Oleh, Dominggus Elcid Li dan Paul SinlaEloE
Kematian Marni
Baun (22 tahun) pada tanggal 21 Februari 2014, di Medan, Sumatera Utara, seharusnya bisa dihindari, jika pihak Kepolisian
sejak awal berkeinginan mendengar dan menindaklanjuti ‘jeritan’
dari korban sebelumnya, Eri Ndun, ketika ia dipulangkan dalam keadaan sakit
pada Bulan Januari 2013 dari tempat kerjanya di Medan, Sumatera Utara.
Sayangnya, upaya untuk
membuka jaringan mafia perdagangan orang ini tidak
dilakukan oleh pihak Kepolisian. Padahal laporan ke pihak Polda Nusa Tenggara Timur
(NTT) yang dilakukan oleh PIAR NTT dan Rumah Perempuan dengan Nomor Laporan:
STPL/32/II/2013/SPKT, tertanggal 5 Februari 2013, cukup jelas bahwa Eri Ndun adalah
bukan
korban tunggal dalam kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang karena ia direkrut,
dipekerjakan tanpa mendapatkan upah, disiksa dan disekap bersama 25 (duapuluh lima) temannya yang kebanyakan
berasal dari Timor Barat, dan sebagian kecil berasal dari Rote Pantai Baru.
Mereka semuanya perempuan dan berasal dari kampung-kampung di pedalaman NTT
seperti Malaka, Nakmofa, Kapan, Takari, SoE dan Amanatun.
Selain memberi
laporan tertulis, Eri Ndun juga difasilitasi oleh PIAR NTT dan Rumah Perempuan
untuk bertemu langsung dengan Kapolda NTT, Brigjen Pol. Ricky Sitohang, Kombes
Pol. Samuel Kawengian (Dirkrimum Polda NTT) dan para
petinggi di Polda NTT lainnya. Pada pertemuan tanggal 7 Februari 2013 yang
berlangsung di ruang rapat Kapolda NTT ini, Eri Ndun meminta 3 (tiga) hal pada pihak Polda NTT,
yakni:
(1). Memperjuangkan upahnya yang belum pernah diperoleh selama bekerja. (2). Menuntut
kepastian hukum atas kasus kekerasan yang menimpa dirinya, dan (3). Meminta
pihak Kepolisian memulangkan kawan-kawannya dari Medan.
Poin permintaan ketiga ini, merupakan
pesan kawan-kawannya yang dikurung dan dipekerjakan di rumah sarang burung
walet. Namun laporan ini hanya tinggal laporan, hingga pihak Kepolisian NTT
menerima peti jenazah Marni Baun pada tanggal 22 Februarai 2014 di bandara El
Tarai Kupang, atau lebih dari satu tahun setelah Eri Ndun melapor.
Orang NTT Harganya Murah
Perdagangan
orang oleh Amnesty International
disebut sebagai bentuk modern dari perbudakan. Fenomena ini
dianggap lebih banyak terjadi di luar negeri, padahal perdagangan orang atau
perbudakan modern juga terjadi di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Di Republik Indonesia, orang NTT telah diposisikan sebagai ‘orang yang harganya
murah’, di belahan pulau lainnya.
Eufemisme terasa
sekali dalam penyebutan kasus perdagangan orang, dengan menyebut ‘tenaga kerja
ilegal’. Padahal jelas hal yang diperdagangkan bukan lagi ‘tenaga kerja’,
tetapi ‘orangnya’. Perbedaannya, jika hanya menjual ‘tenaga kerjanya’, maka itu
bisa disebut sebagai tenaga kerja, tetapi ketika sang subyek tidak lagi
memiliki otoritas atas dirinya, maka ia sebagai manusia telah dijual. Ia telah
dieksploitasi, dan manusia telah menjadi komoditas. Inilah yang disebut
perdagangan orang.
Kondisi
pengabaian atas martabat manusia yang sedang terjadi di NTT ini, mundur lebih
dari 150 tahun silam, ketika bangsa-bangsa kolonial Eropa menghentikan praktek
perbudakan yang sangat merendahkan harkat dan martabat manusia. Sebab,
terasa aneh sekali ketika kita merasa hidup di alam merdeka, padahal
saudara-saudari sendiri dijual, disiksa, dan dibiarkan mati. Aneh sekali pihak
Kepolisian yang isinya anak-anak pertiwi, malah tak bergerak melihat penindasan
ini.
Pihak Kepolisian
di NTT pada tahun 2014, masih menempatkan persoalan perdagabgan
orang dalam skala prioritas yang ada di bawah perkara penanganan permainan
ketangkasan, maupun perkara tilang pengemudi yang tak memiliki SIM/STNK. Pertanyaannya
adalah mengapa pihak Kepolisian lebih serius menangkap para pemain judi
ketangkasan, dari pada memburu kaki tangan dan
pelaku perdagangan orang?
Di tingkat
regulasi, upaya menghentikan perdagangan orang telah diatur dalam UU No. 21
Tahun 2007, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang sudah
disahkan pada tanggal 19 April 2007 dan diundangkan dalam LN-RI Tahun 2007 No.
58, Tambahan LN-RI No. 4720.
Dalam produk
hukum ini, secara tegas diakui bahwa: “setiap
orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak asasi sesuai dengan
kemuliaan harkat dan martabatnya yang dilindungi oleh undang-undang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945”. Karenanya, “perdagangan
orang, khususnya perempuan dan anak, merupakan tindakan yang bertentangan
dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia, sehingga
harus diberantas”.
Di level antar
negara, Indonesia merupakan salah satu negara yang mengakui pengesahan protokol untuk mencegah, menindak,
dan menghukum perdagangan orang, terutama perempuan dan anak-anak. Protokol ini
melengkapi konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menentang tindak pidana
transnasional dan terorganisir, sebagaimana yang tertera dalam UU No. 14 Tahun 2009.
Tetapi aturan
tetap tinggal aturan. Apa gunanya aparat Kepolisian jika tidak mampu
menyelesaikan persoalan perdagangan orang? Dalam banyak kasus, pihak Kepolisian
di NTT hanya menahan para tenaga kerja asal NTT di pintu keluar (pelabuhan dan
bandar udara), sedangkan kaki tangan maupun para pimpinan Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) yang adalah aktor perdagangan orang dibebaskan
begitu saja.
Bias pihak Kepolisian
kembali terjadi di sini. Biasanya pimpinan dari PPTKIS dengan gampang mengelak
bahwa PPTKIS mereka telah terdaftar secara resmi, dan pihak Kepolisian pun
cuci tangan dengan melepaskan direktur maupun PPTKIS yang dipimpinnya tersebut.
Padahal soal ‘legal’ atau ‘tidak legal/illegal’ bukan hanya soal persoalan
administratif saja, tetapi juga terkait dengan ‘aksi/tindakan’ yang dilakukan.
Jika persoalan
legalitas hanya sampai di tingkat administratif, bisa dibilang pihak Kepolisian
menutup mata terhadap aksi-aksi illegal yang dilakukan oleh PPTKIS dan kaki tangannya, seperti memalsuan dokumen
dan memasukkan keterangan palsu pada dokumen negara atau dokumen lain terkait
identitas. Misalnya Almarhum Marni Baun sendiri berasal dari daerah Kapan,
Kabupaten Timor Tengah Selatan, sebelum diberangkatkan, tinggal sementara di
Kelurahan Lasiana, Kota Kupang, dan kemudian berangkat dengan Kartu Tanda Penduduk
dari Desa Oebelo, Kabupaten Kupang.
Gentingnya
penanganan persoalan perdagangan orang, terasa tidak
menyentuh para petinggi Kepolisian, tokoh pemerintahan maupun para tokoh agama
di NTT. Di kampung-kampung di pedalaman Timor Barat, para perempuan muda
direkrut di sekolah-sekolah dan dibawa kabur ataupun diculik. Mereka
disediakan identitas palsu untuk dikirim ke kota-kota besar
di Indonesia mupun diberngkatkan ke luar
negeri sebagai pembantu, buruh pabrik, buruh perkebunan, pelayan di tempat
hiburan malam, bahkan ada juga yang dijadikan sebagai pekerja seks.
Saat ini, para
perempuan yang dijual ke kota-kota besar maupun mancanegara direkrut dengan
cara yang amat tidak berperikemanusiaan. Tak jarang kaki tangan dari
PPTKIS yang merekrut para perempuan adalah para pedagang sapi, yang
mencari sapi dari kampung ke kampung. Praktek pembiaran semacam ini sudah
seharusnya dihentikan.
Apa yang bisa dilakukan Kapolda NTT?
Setidaknya ada
beberapa hal yang bisa dilakukan oleh Kapolda NTT terkait persoalan ini. Pertama, Kapolda NTT membuat ‘Operasi untuk
mengungkap jaringan
Perdagangan
orang di NTT’. Meskipun NTT merupakan salah satu kantong
TKI/TKW bermasalah, namun hingga kini tidak ada operasi semacam ini. Sebaliknya
operasi seremonial semacam, operasi lilin untuk Natal, operasi ketupat untuk
Idul Fitri yang lebih dominan, dan operasi memburu SIM/STNK, sangat gencar
dilakukan.
Kedua, Kapolda NTT segera berkoordinasi dengan Kapolda Sumatera Utara
untuk segera membebaskan sekitar 23 orang warga NTT yang masih disekap di sana,
sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap laporan (secara tertulis maupun
lisan) yang telah diberikan oleh Eri Ndun, kepada Kapolda NTT. Kerjasama
pengawasan perdagangan orang lintas Provinsi, harus segera dikerjakan mengingat
jaringan kriminal di Kepulauan Indonesia hanya mungkin dibuka, jika pihak Kepolisian
secara institusional melakukan kerjasama terpadu di berbagai Provinsi,
khususnya dengan Provinsi-Provinsi yang menjadi simpul perdagangan orang seperti
di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau,
dan Batam.
--------------------------------------------------------
Penulis,
Pengamat Kinerja Polisi