Oleh. Paul
SinlaEloE
Penyelenggaraan pelayanan publik yang prima dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar dan hak sipil setiap warga negara merupakan tanggung jawab negara. Itulah maksud yang tersirat dalam pembukaan UUD 1945. Ironisnya, dewasa ini penyelenggaraan pelayanan publik yang prima belum dapat berjalan sebagaimana mestinya dan masih dihadapkan sejumlah persoalan korupsi.
Pada konteks Nusa Tenggara
Timur (NTT), buruknya pelayanan publik dapat dibuktikan dengan melihat masih
banyak anak dari keluarga kurang mampu yang tidak bisa sekolah. Banyaknya
orangtua/wali murid yang mengeluhkan mahalnya biaya pendidikan serta berbagai
macam pungutan dari pihak sekolah merupakan potret buram pelayanan publik. Di
sektor kesehatan, kasus bayi gizi buruk dan kematian ibu melahirkan masih terus
terjadi. Mahalnya biaya kesehatan dan seringnya penolakan terhadap pasien
miskin di RSUD WZ Johannes, juga masih menjadi keluhan warga. Minimnya alokasi
anggaran untuk sektor kesehatan adalah indikator masih kurangnya perhatian
pemerintah terhadap derajat kesehatan warga. Pelayanan publik yang
memprihatinkan terjadi juga di bidang administrasi dasar. Lamanya mengurus
perizinan (walaupun sudah disatupintukan) dan berbagi kasus pelayanan publik
lainnya yang setiap hari selalu menjadi topik utama pemberitaan media merupakan
realita yang tidak dapat dipungkiri.
Buruknya pelayanan publik di
NTT diperparah lagi dengan maraknya korupsi yang terjadi di sektor pelayanan publik.
Data PIAR NTT menunjukkan bahwa pada 2012 terdapat 135 kasus korupsi di NTT dan
98 kasus (73 persen) di antaranya terjadi pada sektor pelayanan publik yang
bersentuhan langsung dengan warga. Sedangkan 37 kasus (27 persen) lainnya
merupakan kasus yang tidak bersentuhan secara langsung. Perincian jumlah kasus
per-sektor dengan total indikasi kerugian negara sebesar Rp 449.851.831.680
sebagai berikut: sosial kemasyarakatan 15 kasus, perhubungan dan transportasi
13 kasus, pendidikan 17 kasus, kesehatan 14 kasus, informatika/telekomunikasi
dua kasus, pemerintahan 15 kasus, keuangan daerah 16 kasus, spiritual keagamaan
satu kasus, dana bantuan 10 kasus, perikanan dan kelautan sembilan kasus,
pertanian/perkebunan/peternakan lima kasus, perumahan rakyat dua kasus,
perbankan dua kasus, pemilu/pilkada dua kasus, air bersih dua kasus,
pajak/retribusi satu kasus, kebudayaan dan pariwisata tiga kasus,
pertambangan/energi/kelistrikan tiga kasus, dana desa tiga kasus.
Maraknya korupsi di NTT yang
terjadi pada sektor pelayanan publik dan buruknya pelayanan publik, membenarkan
bahwa antara kualitas pelayanan publik dengan praktik korupsi memiliki hubungan
kausalitas. Artinya, semakin marak praktik korupsi yang dilakukan oleh
penyelenggara pelayanan publik, maka akan semakin buruk kualitas pelayanan
publik. Demikian juga sebaliknya, semakin buruk kualitas pelayanan publik, akan
semakin besar kemungkinan terjadinya korupsi.
Untuk mengatasi persoalan
buruknya pelayanan publik dan maraknya korupsi yang terjadi di sektor pelayanan
publik, maka sudah seharusnya konsep penyelenggaraan pelayanan publik yang
prima merupakan sesuatu yang urgen untuk diterapkan. Penyelenggaraan pelayanan
publik yang prima bisa dipahami sebagai rangkaian kegiatan terpadu yang
bersifat sederhana, terbuka, lancar, tepat, lengkap, wajar dan terjangkau serta
mengandung unsur kejelasan hak dan kewajiban, sesuai kebutuhan, agar dapat
memberikan keamanan, kenyamanan, kelancaran, kepastian dan kerja sama di antara
stakeholders pembangunan.
Secara konseptual, Tjiptono
(1996:58) berpendapat bahwa pelayanan publik yang prima (service excellence)
harus mengandung empat unsur, yaitu kecepatan, ketepatan, keramahan, dan
kenyamanan. Keempat komponen ini merupakan satu kesatuan yang terintegrasi,
artinya pelayanan menjadi tidak “excellence” bila ada komponen yang
kurang. Kualitas jasa atau layanan yang baik akan dapat memberikan kepuasan
kepada masyarakat, yang pada akhirnya akan menciptakan loyalitas masyarakat
kepada organisasi (institusi). Selain keempat unsur tadi, masih ada unsur lain
yang tidak boleh diabaikan oleh Indonesa yang menganut konsep negara
kesejahteraan (welfare state), yakni pelayanan publik yang diberikan
oleh penyelenggara pelayanan publik (negara) haruslah murah (cheaper).
Konsep penyelenggaraan
pelayanan publik yang prima ini hanya bisa berjalan optimal, jika para
pengambil kebijakan secara serius melakukan reformasi pada sektor pelayanan
publik. Reformasi pelayanan publik harus difokuskan pada aspek: Pertama,
kebijakan pelayanan publik. Walaupun selama ini reformasi kebijakan
pelayanan publik sudah berjalan, namun implementasi dari berbagai kebijakan
tersebut belum secara signifikan meningkatkan kualitas pelayanan publik
sesuai harapan masyarakat. Untuk itu, reformasi kebijakan pelayanan publik
haruslah ditujukan untuk menghormati (to respect), melindungi (to
protect), dan memenuhi (to fullfill) hak-hak dasar masyarakat.
Penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar inilah yang harus
dijadikan acuan oleh para pengambil kebijakan dalam penyusunan konsep maupun
implementasi kebijakan pelayanan publik.
Kedua, kelembagaan pelayanan
publik.
Dalam melakukan reformasi kelembagaan berkaitan dengan pelayanan publik harus
difokuskan untuk mengatasi masalah tumpang tindihnya penugasan, baik
antarorganisasi maupun antarsatuan tugas organisasi. Selain itu, reformasi
kelembagaan pelayanan publik juga harus mampu mengatasi ketimpangan antara
volume kerja dengan besaran struktur organisasi, termasuk pemerataan sumber
daya (aparat, anggaran dan sarana), dan yang terakhir yang harus diatasi adalah
permasalahan koordinasi pelaksanaan tugas yang kurang optimal karena belum
adanya mekanisme kerja yang baku (Marsono 2009:12-13). Paradigma reformasi
kelembagaan pelayanan publik yang seperti ini bertolak dari kenyataan bahwa
sampai sejauh ini belum ada kesepakatan tentang pelembagaan fungsi pemerintah
serta kriterianya (Alisjahbana, 2006).
Ketiga, birokrasi pelayanan
publik.
Upaya nyata dalam reformasi birokrasi pelayanan publik adalah melakukan perbaikan
terhadap sumber daya manusia (SDM) dari pelayanan publik itu sendiri. Perbaikan
SDM sebagai pelayan publik dapat dititikberatkan pada perubahan mindset,
perubahan sikap mental dan perubahan etika pada SDM pelayanan publik. Menurut
Wahyudi Kumorotomo (2006:16), dalam melakukan reformasi birokrasi pelayanan
publik, strategi yang dipergunakan harus difokuskan untuk mengikis budaya
paternalistik dalam birokrasi pemerintahan, menegakkan kriteria efektivitas dan
efisiensi, merampingkan struktur dan memperkaya fungsi, menerapkan sistem
penggajian berdasar kinerja (merit system) serta sistem pelayanan harus
berorientasi kepada pengguna layanan.
Keempat, proses pelayanan
publik.
Reformasi proses pelayanan publik idealnya diarahkan untuk meningkatkan
pelayanan publik yang cepat, tepat, murah, transparan, akuntabel dan tidak
diskriminatif sebagaimana asas pelayanan publik yang telah ditentukan dalam UU
Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Langkah konkret yang dapat
dilakukan dalam rangka reformasi terhadap proses pelayanan publik antara lain
melakukan perbaikan terhadap standar pelayanan minimal (SPM), standar pelayanan
(SP), standar operating procedure (SOP), menyempurnakan instrumen Indeks
Kepuasan Masyarakat (IKM) dan mengoperasionalkan maklumat pelayanan.
Pada akhirnya, apapun solusi
yang ditawarkan untuk mengatasi persoalan buruknya pelayanan publik dan
maraknya korupsi di sektor pelayanan publik, harus diingat bahwa rakyat yang
memiliki kedaulatan tertinggi harus dilibatkan serta mau terlibat dalam melakukan
kontrol. Kontrol rakyat ini akan dapat dilakukan secara efektif, jika sudah
terorganisir. Terorganisir tidak selalu merujuk pada pembentukan organisasi
pemantau, namun lebih kepada bagaimana rakyat sadar akan haknya dan melakukan
perlawanan ketika haknya diinjak-injak (Donny Ardyanto, 2000:143). Selama rakyat yang
terdidik, terpimpin dan terorganisir belum terbentuk, teori atau konsep apa pun
yang hendak diterapkan di Indonesia, tetap tidak akan memperbaiki apa pun. (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam
Harian Umum Victory News, tanggal 04 Juli 2013).
-------------------------------
Penulis: Staf
Div. Anti Korupsi PIAR NTT