Minggu, 29 Agustus 2010

Gereja yang Membebaskan

KE-MERDEKA-AN
Oleh. Paul SinlaEloE



Kemerdekaan. Itulah kata dan atau suasana yang selalu ada dibenak dan impian setiap orang atau masyarakat yang sementara mengalami ketertindasan. Begitu juga yang dialami oleh bangsa Indonesia ketika masih ditindas oleh bangsa kolonial. Hal ini dapat dimaklumi karena secara harfiah, kemerdekaan itu sendiri bermakna kebebasan atau lepas dari ikatan dan kungkungan. Kini, kemerdekaan Indonesia genap berusia 65 tahun tepatnya pada tanggal 17 Agustus 2010.

Ironinya, di tengah bangsa yang merdeka ini justru tengah berlangsung sejarah penindasan bangsa, dengan bentuk yang berbeda dari sebelumnya. Sebuah penindasan atas nama negara oleh bangsa sendiri terhadap rakyatnya. Pada saat semua pihak lagi sibuk dengan kegiatan perayaan ulang tahun kemerdekaan Indonesia, disaat yang bersamaan pula terjadi penindasan atas nama agama yang mengkalim diri mayoritas, membakar tempat ibadah dari agama lain yang dikira minoritas.

Sejarah juga mencatat selama kurun waktu yang tidak singkat, realitas ketertindasan dan kemiskinan telah menjadi bagian integral bangsa ini. Namun, satu hal yang menggembirakan adalah sejarah juga menulis bahwa selama bangsa ini dijajah, selalu muncul beragam bentuk perlawanan rakyat sebagai upaya untuk membebaskan bangsa ini dari ketertindasan. Anehnya, mental perlawanan dan pembebasan yang telah terbangun jauh sebelum kemerdekaan tersebut, justru lenyap ketika rakyat tengah menghadapi penjajahan baru pasca-kemerdekaan. Dampaknya, segala bentuk penindasan di negeri ini justru semakin lestari dan subur sampai hari ini.

Secara konseptual, penindasan sebenarnya dapat dikategorisasi ke dalam dua bagian. Pertama, ketertindasan struktural. Ketertindasan oleh struktur yang berada di luar diri orang yang tertindas ini telah mengakibatkan kemiskinan struktural. Pada konteks Indonesia, kemiskinan struktural ini selain ditengarai oleh kebijakan yang tidak bijak dari para pemegang kebijakan, juga ditopang oleh kondisi struktur atau tatanan kehidupan bernegara yang tidak menguntungkan pada kepentingan rakyat tertindas. Dikatakan tidak menguntungkan karena kehidupan bernegara di Indonesia tidak hanya melahirkan kemiskinan tetapi juga melanggengkan kemiskinan.

Tatanan kehidupan bernegara yang tidak menguntungkan akibat perlakuan negara yang korup, tidak adil, diskriminatif dan eksploitatif ini, telah menyebabkan banyak warga massa-rakyat yang gagal memperoleh peluang dan atau akses untuk mengembangkan dirinya serta meningkatkan kualitas hidupnya. Bahkan mereka yang malang semakin terjerumus dan terjebak dalam kehidupan yang serba berkekurangan atau tak setara dengan tuntutan hidup yang layak dan bermartabat sebagai manusia. Fakta penindasan dalam konteks struktural ini senantiasa terjadi setiap harinya di pelupuk mata para petinggi agama yang diduga lebih berpikir tentang indahnya surga, pada hal belum tentu mereka itu lulus dalam ujian duniawi. 

Kedua, ketertindasan mental. Ketertindasan semacam ini lebih disebabkan oleh faktor dalam diri kaum yang tertindas itu sendiri. Di satu sisi, faktor ini menjelma menjadi sebuah ketidaksadaran akan ketertindasan. Di sisi lain, dapat pula menjelma berupa apa yang disebut oleh Paulo Freire dalam bukunya Pedagogy of the Oppressed sebagai kesadaran magis, yakni sebuah anggapan bahwa ketertindasan dan kemiskinan tersebut adalah sebuah jalan hidup yang harus diterima dengan lapang dada. Sehingga, pada bagian ini, mereka yang tertindas cenderung menikmati ketertindasannya. Inilah yang dalam istilah sosiologi disebut sebagai “desublimasi represif”, yaitu sebuah kondisi di mana kaum tertindas tidak menyadari, bahkan cenderung menikmati ketertindasan yang menimpanya. 

Apabila dilacak ke akar filosofisnya, maka pendapat dari Zulfan Barron (2004) bahwa faktor agama adalah salah satu variabel dominan yang membentuk mental para penindas dan kaum tertindas, ada benarnya. Betapa tidak, kekuatan transendental yang adalah kekuatan dari luar manusia yang telah terlembaga dalam sebuah pemahaman teologi masyarakat, ternyata berpengaruh signifikan bagi pembentukan perilaku dan gaya hidup manusia. Juga tidak dapat dipungkiri, hal itu telah menghantarkan mereka kepada gaya hidup yang pasrah pada nasib (gaya hidup yang fatalistik). Sehingga, pesan keadilan, perdamaian dan pembebasan yang dibawa oleh agama, telah menjelma menjadi alat penindas. Pada kondisi semacam inilah, statemen Karl Marx yang mengatakan bahwa agama adalah candu masyarakat (Religion is Opium of the People) yang telah menjelma menjadi alat penindas, menemukan relevansinya.

Bertolak dari kenyataan di atas, sudah seharusnya agama-agama pada umumnya dan khususnya gereja dapat berperan maksimal, terutama dalam mereformasi dirinya. Secara internal, gereja harus menghilangkan tradisi patriakhal dan menjadi gereja yang berasal dari dan untuk semua orang. Secara eksternal, gereja harus menjadi suatu kekuatan yang efektif yang mewakili pemahaman mengenai kerajaan Allah dalam sejarah, melalui suatu kritik terhadap pengilahian ekonomi, social dan budaya dan melalui mandat pemuridan yakni keadilan dan cinta yang spesifik/khas. Dengan perubahan seperti inilah gereja diharapkan mampu menjadi kekuatan perubahan dan transformatif-progresif atau menjadi gereja yang membebaskan. 

Gereja yang membesakan merupakan suatu perkumpulan mesianik dalam masyarakat, yang membangun persekutuan dengan dua sisi sejarah, yakni dari penderitaan dan pembebasan. Penderitaan, dalam aspek moralnya, merupakan dosa sosial oleh tradisi bernegara yang menguntungkan beberapa orang, sementara sebagian lainnya tertekan dan mengalami dehumanisasi. Jürgen Moltmann yang merupakan salah seorang dari para penganjur teologi politik, melambangkan penderitaan dalam masyarakat kontemporer dalam lima lingkaran setan kematian, yakni: (1). Kemiskinan dalam bidang ekonomi. (2). Dominasi suatu kelas/bangsa terhadap lainnya dalam kehidupan politik. (3). Struktur alienasi antara ras, gender, kelompok etnis dalam hubungan kebudayaan. (4). Polusi industri di bidang ekologi. (5). Ada perasaan dimana orang merasa diri tak berarti dan kehilangan tujuan hidup. 

Pembebasan dari aspek sejarahnya, dilambangkan dengan kebangkitan Kristus. Pdt. I.N. Frans dalam berbagai percakapannya dengan berbagi kelompok tertindas selalu mengatakan bahwa kebangkitan Kristus merupakan perwujudan dari harapan akan suatu kehidupan yang lebih sempurna, dimana berbagai kehidupan masa lalu yang tidak beradab dan tidak bermoral ditinggalkan. Pada tataran yang lebih operasional, Johannes Baptist Metz memaknai pembebasan atau kebangkitan Kristus sebagai suatu panggilan untuk memihak kepada orang-orang yang diabaikan dan yang dikorbankan dan untuk mulai mengikutsertakan mereka dalam praktek yang emansipatif dalam kehidupan sehari-hari yang membebaskan.

Menurut Pdt. I.N. Frans, gereja yang membebaskan, biasanya akan hadir sebagai bentuk refleksi juga kontemplasi orang-orang yang diperhadapkan dengan berbagai pergumulan konteks. Kemiskinan, penindasan, ketidakadilan dan lain sebagainya, adalah persoalan konteks yang hampir selalu mewarnai kehidupan manusia di manapun berada. Untuk melawan para penindas yang menindas kaum tertindas, gereja yang membebaskan juga akan tampil dengan nilai-nilai kekristenan yang merupakan pengejawantahan dari karya agung Yesus Kristus, baik pelayanan, pesan, penderitaan, kematian dan kebangkitan-Nya. Karena, keseluruhan karya Agung Yesus itu adalah dalam usaha yang tulus dan murni sebagai bentuk cinta Allah untuk suatu kemerdekaan yang holistik.

Pada akhirnya, perayaan HUT Kemerdekaan RI ke-65, tepatnya tanggal 17Agustus 2010, boleh dikatakan hanyalah sebuah ritual kenegaraan saja karena kemerdekaan yang holistik ini seakan sebuah impian yang masih jauh dan semakin menjauh untuk diraih. Ini tidak berarti kemerdekaan yang holistik itu tidak dapat diraih. Bagi umat kristen (paling tidak saya) sendiri, kemerdekaan yang holistik bisa diwujudkan. Caranya...?? Gereja melalui misi pembebasannya harus dapat lebih mengasihi orang lain dan melalui kasih itu, gereja akan melayani mereka sebagai seorang hamba dan pada saat yang bersamaan gereja akan menjadi tuan yang benar-benar bebas dari segala perhambaan. MERDEKA…??? (Tulisan ini Pernah di Publikasi Dalam Berita GMIT, Edisi Agustus 2010, Thema:Anatara HUT RI dan Gereja Yang Membebaskan).



-------------------
Penulis: 
Sekretaris Bidang Informasi dan Jaringan BPP. GMIT Periode 2008 – 2012
TRANSLATE
English French German Spain Italian DutchRussian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
OMong POLitik:
Kalau ingin berjuang, kita tidak boleh tunduk pada fakta... kita harus melawan fakta dan membuat fakta baru...