Rabu, 10 Juni 2009

Pencaplokan Tanah Adat


PENCAPLOKAN TANAH ADAT
Oleh: Paul SinlaEloE - Staf Divisi Advokasi PIAR NTT

Makalah ini disampaikan dalam diskusi gerilya yang berthema, “Masyarakat Adat dan Hak Atas Tanah”, yang dilaksanakan oleh PIAR NTT, di Kabupaten Kupang 
(Diskusi dengan Masyarakat Adat di Desa Fatumonas Kecamatan Amfoang Selatan), 
pada tanggal 14 November 2004 s/d 16 November 2004



Prolog
Tanah adat adalah istilah yang disematkan pada lahan yang dimilliki secara kolektif oleh sebuah etnis atau suku. Tanah ini berasal dari generasi leluhur dan diwariskan terus menerus ke generasi penerusnya, sejak sebelum Indonesia merdeka.

Bagi Masyarakat Hukum Adat, tanah merupakan aset yang sangat berharga. Tidak hanya sebagai tempat untuk menjalani rutinitas kehidupan sehari-hari, tanah juga menjadi simbol dan prestise yang menunjukkan eksistensi suatu suku.

Masyarakat Hukum Adat memiliki tata guna lahan dengan kearifannya. Dalam pengelolaan tanah adatnya, Masyarakat Hukum Adat sering meminjamkan tanah adatnya kepada pihak luar yang membutuhkan, tetapi selamanya tidak boleh dijualnya. Masyarakat Hukum Adat hanya akan mengkuasakan tanah adatnya kepada pihak luar dalam kapasitas sebagai hak pakai dan buakn sebagai hak milik.

Tanah adat selalu dicaplok oleh penyelenggara negara yang berkolaborasi dengan pengusaha, untuk alasan pengadaan tanah demi berjalannya proyek-proyek pembangunan. Argumen yang sering dipergunakan oleh penyelenggara negara dalam urusan pencaplokan adalah karena tanah milik masarakat adat secara peraturan perundangan berada di bawah kekuasaan negara, sehingga tanah dimaksud adalah tanah negara.

Cara Penguasa Mencaplok Tanah Adat
Pencaplokan tanah milik Masyarakat Hukum Adat dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari penggusuran dengan menggunakan kekerasan, penaklukan dan manipulasi ideologi dengan cara-cara yang melanggar Hak Asai Manusia. Seluruh tindak tanduk penguasa untuk menaklukan Masyarakat Hukum Adat yang mempertahankan tanah adatnya, selalu dikalim sebagai bahagian dari upaya untuk menegakan stabilitas nasional agar proses pembangunan berlangsung terus.

Upaya Masyarakat Hukum Adat untuk mempertahankan hak-haknya akan diklaim oleh penuasa sebagai upaya-upaya melawan hukum, menghambat pembangunan dan dijadikan pembenaran oleh negara dan aparatnya untuk mengkriminlisasi Masyarakat Hukum Adat. Agar tidak mudah diperdaya, berikut ini akan dipaparkan beberapa cara yang lasim digunakan pemerintah dan/atau pengusaha untuk mencaplok tanah Masyarakat Hukum Adat, yakni: Pertama, Membuat kecelakaan masal seperti kebakaran, yang kemudian wilayah tersebut tidak diizinkan lagi untuk dibangun oleh penghuni lama;

Kedua, Mengembangkan calo-calo tanah yang beroperasi dari rumah ke rumah, untuk menyebarkan issue bahwa tanah adat yang dimilikinya adalah bermasalah dari segi peraturan perundang-undangan. Tujuan aktivitas ini adalah mendapatkan harga tanah yang rendah/murah; Ketiga, Alasan register tanah, pemancangan palang, pematokan tanah, pranata tanah, penggusuran daerah/wilayah yang ternyata akan dijadikan area proyek tertentu;

Keempat, Melakukan intimidasi, teror dan kekerasan seperti dengan menjadikan lokasi/tanah, daerah yang dibebaskan sebagai areal latihan perang-perangan bagi militer, atau melakukan tindakan kekerasan penangkapan dan memenjarakan tokoh-tokoh Masyarakat Hukum Adat yang paling keras mempertahankan hak-hak mereka atas tanahnya; Kelima, Melakukan delegitimasi (tidak mengakui) penguasaan/hak milik atas tanah dengan dalil warga Masyarakat Hukum Adat tidak memiliki bukti formal seperti setifikat; Keenam, Memanipulasi tanda tangan persetujuan masayarakat adat untuk pelepasan hak atas tanah;

Ketujuh, Melancarkan tuduhan sebagai pembangkang, pengacau atau anti pembangunan kepada Masyarakat Hukum Adat yang kritis memperjuangkan hak-haknya (hak atas tanah). Kedelapan, Manipulasi makna pengorbanan. Selalu dikatakan bahwa Masyarakat Hukum Adat yang bersedia melepasakan haknya adalah sebagai contoh, dan bahkan di daulat sebagai “tokoh pembangunan”,dan memunculkan slogan-slogan bahwa “tidak ada kemakmuran tanpa pengorbanan dari rakyat/masayarakat adat”.

Kesembilan, Melabelkan Masyarakat Hukum Adat yang kritis dengan stigma/cap sosial dan politik (seperti pemberian kode eks tapol atau PKI) dan ‘mematikan’ hak-hak dari Masyarakat Hukum Adat yang berusaha mempertahankan tanahnya yang diambil untuk kepentingan proyek; Kesepuluh, Pendekatan dengan mengembangkan pola transmigrasi massal kepada untuk Masyarakat Hukum Adat yang tanahnya akan digunakan sebagai areal proyek-proyek raksasa; Kesebelas, Mencatat, mengidentifikasi dan mendatakan tentang tanah adat yang dianggap oleh pemerintah dan/atau pengusaha adalah bermasalah lalau menetapkan ganti rugi tanah secara sepihak;

Langkah Menghadapi Penguasa dan Pengusaha
Dalam Urusan Pencaplokan Tanah Adat
Indonesia adalah Negara hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945). Secara hukum hak Masyarakat Hukum Adat atas tanah diakui keberadaannya dan dilegitimasi dalam dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan dijabarkan dalam sejumlah produk hukum diantaranya UU No. 5 Tahun 1960, Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria/UUPA. Hak Masyarakat Hukum Adat atas tanah merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu Masyarakat Hukum Adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya.

Dalam UUPA, Pengakuan akan hak Masyarakat Hukum Adat atas tanah, disertai dengan 2 (dua) syarat yaitu mengenai eksistensinya dan mengenai pelaksanaannya. Berdasarkan Pasal 3 UUPA, hak ulayat diakui “sepanjang menurut kenyataannya masih ada”. Dengan demikian, tanah adat tidak dapat dialihkan menjadi tanah hak milik, apabila tanah adat dimaksud menurut kenyataan masih ada, misalnya dibuktikan dengan adanya masyarakat hukum adat bersangkutan atau kepala adat bersangkutan. Sebaliknya, tanah adat dapat dialihkan menjadi tanah hak milik, apabila tanah adat tersebut menurut kenyataannya tidak ada atau statusnya sudah berubah menjadi “bekas tanah adat”.

Mengingat bahwa kenyataannya tanah adat masih ada dan dapat dibuktikan keberadaannya, maka berikut ini adalah langkah-langkah untuk menghadapi pemerintah yang berusaha mencaplok/meyerobot tanah milik Masyarakat Hukum Adat: Pertama, Jika ada orang yang datang melakukan survey di lokasi tanah milik Masyarakat Hukum Adat, maka Masyarakat Hukum Adat berhak bertanya apa maksud dan tujuan dilakukn survey; Kedua, Saat memperoleh jawaban dari pelaku survey, maka sebaiknya informasi yang diterima harus dicatat baik-baik untuk dijadikan dokumentasi;

Ketiga, Apabila setelah survey dan dilanjutkan dengan pengukuran, maka Masyarakat Hukum Adat perlu mempertanyakn apa maksud dan tujuan pengukuran. Bila jawaban tentang maksud dan tujuan pengukurn tidak jelas, maka sebaiknya pengukuran itu harus di hentikan sampai memperoleh keterangan yang jelas dari pemerintah dan/atau pengusaha tentang tujuan pengukuran; Keempat, Bila pemerintah dan/atau pengusaha melakukn pendekatan dengan Masyarakat Hukum Adat, maka sebaiknya jangan diputuskan oleh satu orang saja, tetapi harus mengumpulkan semua orang yang memiliki hak atas tanah dimaksud, untuk bermusyawarah;

Kelima, Apabila dalam pendekatan dengan Masyarakat Hukum Adat, pemerintah atau pengusaha melakukan tekanan dan pemaksaan kehendak serta menggunakn istilah tanah negara, maka Masyarakat Hukum Adat harus memertanyakan kepada mereka bahwa bukankah Masyarakat Hukum Adat adalah bagian dari warga negara yang mendiami wilayahnya sebelum Indonesia merdeka; Keenam, Dalam musyawarah adat menyangkut tanah, maka Masyarakat Hukum Adat perlu mempertimbangkan nilai sosio religius, ekonomis dan dampak politik yang akan terjadi di kemudian hari atas tanah milik suku; Ketujuh, Masyarakat Hukum Adat harus mencatat selurh penyelewengan yang dibuat oleh aparat pemerintah dan pengusaha secara berurutan. Kalau dapat, saksi yang terlibat di dalamnya disebutkan pula;

Kedelapan, Jika Masyarakat Hukum Adat ditekan karena mempertahankan haknya atas tanah, maka Masyarakat Hukum Adat harus bermusyawarah untuk menentukan sikap dengan cara damai, misalnya membuat surat penolakan atau datang ke pihak legislatif untuk mengadukan perilaku dan sikap aparat pemerintah dan/atau pengusaha. Kesembilan, Pada saat itu juga, Masyarakat Hukum Adat harus segera mendatangi instansi-instansi terkait untuk menyampaikan keberatan atas kegiatan pengukuran dalam kawasan tanah Masyarakat Hukum Adat; Kesepuluh, Ketika membuat surat penolakan atau pengaduan yang disampaiakan pada pihak legislatif, sebaiknya Masyarakat Hukum Adat mengemukakan hal-hal yang berkaitan dengan sejarah kepemilikan lahan, fungsi lahan/lokasi menurut masyarkat, upaya-upaya intimidasi, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia;

Kesebelas, Bila Masyarakat Hukum Adat kurang memahami persoalan hukum positif (negara), maka Masyarakat Hukum Adat dapat meminta bantuan kepada lembaga konsultasi hukum atau kepada Organisasi Non Pemerintah yang bergerak di bidang hukum; Keduabelas, Apabila ada gejala yang meresahkan dalam pengukuran tanah milik Masyarakat Hukum Adat, maka Masyarakat Hukum Adat harus segera meminta orang-orang yang melakukan pengukuran untuk menghentikn kegiatanya;

Ketigabelas, Bila ada negosiasi antara Masyarakat Hukum Adat dengan pemerintah dan/atau pengusaha, maka hasil kesepakatan harus di buat tertulis. Dalam kesepakatan itu, harus ditentukan luas dan batas wilayah yang disepakati. Jika pemerintah dan/atau pengusaha melanggar kesepakatan dan penyerobotan lahan yang tidak disepakati antara Masyarakat Hukum Adat dengan pemerintah dan/atau pengusaha, maka harus dijelaskan memang bahwa kesepakatan itu harus batal demi hukum; dan Keempatbelas, Jika pemerintah dan/atau pengusaha memaksakan diri untuk tetap melakukan kegiatan serta menambah luas lokasi diluar kesepakatn masyarakt adat, maka Masyarakat Hukum Adat harus bersatu untuk melawannya. Jika Masyarakat Hukum Adat bersatu, maka pemerintah dan/atau pengusaha akan kesulitan, bahkan tidak akan berhasil dalam mewujudkan kehendaknya

Epilog
Diakhir materi ini, saya ingin menyampaikan beberapa hal yang harus dingat oleh kita bersama dalam mempertahankan hak kita atas tanah, yakni: Pertama, Masyarakat Hukum Adat yang tanah adatnya dicaplok, warus membentuk wadah/organisasi untuk berjuang mempertahankan hak-haknya; Kedua, Melakukan diskusi yang kontinyu untuk membahas masalah yang dihadapi. Ketiga, Layangkan surat pengaduan/protes kepada instansi-instansi terkait tentang masalah yang dialmi secara jelas. Lebih tepat lagi, jika di buat kronologis kejadian dengan menjelaskan pelaku, korban, tanggal/waktu kejadian, lokasi masalah dan bentuk masalah yang dihadapi;

Keempat, Publikasikan setiap peristiwa terkait pencaplokan tanah adat di media massa; Kelima, Mendatngi kantor legislatif untuk mendialogkan masalah yang dihadapi; Keenam, Unjuk rasa/demonstrasi sebagai bentuk protes dan penolakan; dan Ketujuh, Meminta dampingan Lembaga Batuan Hukum (LBH), Lembaga Advokasi, atau Organisasi Non Pemerintah yang peduli terhadap masalah sosial rakyat termasuk hak-hak Masyarakat Hukum Adat atas tanah.

Pada akhirnya, poin penting yang tidak boleh diabaikan dalam advokasi untuk melawan pencaplokan tanah adat adalah keempat belas langkah yang telah dijabarkan di atas, hanyalah berupa pedoman dan bukan merupakan jalan satu-satunya dalam memperjuangkan hak-hak yang dimiliki oleh Masyarakat Hukum Adat, sebab Masyarakat Hukum Adat memiliki cara tersendiri untuk mempertahankan hak miliknya.
TRANSLATE
English French German Spain Italian DutchRussian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
OMong POLitik:
Kalau ingin berjuang, kita tidak boleh tunduk pada fakta... kita harus melawan fakta dan membuat fakta baru...