Rabu, 10 Juni 2009

Pembebasan Tanah

PEMBEBASAN TANAH
(Suatu Tinjauan Terhadap Definisi Kepentingan Umum)
Oleh. Paul SinlaEloE


Begitu banyak pertanyaan yang akan muncul apabila tanah dijadikan topik utama dalam pembicaraan. Salah satu pertanyaan mendasar yang sudah lazim sehubungan dengan tanah adalah: Mengapa UU No. 5 Tahun 1960, Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang bertujuan untuk membela kepentingan dan kedaulatan rakyat demi mensejahteraan rakyat sudah genap 40 tahun diberlakukan, tetapi rakyat tidak semakin sejahtera, melainkan dalam satu dekade terakhir ini semakin banyak reaksi dan konflik yang timbul sehubungan dengan sumber daya agraria yang paling pokok yaitu tanah…? Tulisan ini akan mencoba memberikan salah satu jawaban dari begitu banyak jawaban yang mungkin ada, berkaitan dengan pertanyaan tersebut.


Pentingnya tanah telah mendapat perhatian dari para Founding Fathers And Also Some Mother bangsa Indonesia sejak awal kemerdekaan dengan dicantumkannya Pasal 33 ayat (3) dari UUD 1945 dengan rumusan sebagai berikut: “Tanah atau bumi, air dan ruang angkasa dikuasai oleh negera dan digunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”. Sayangnya, didalam praktek penekanan lebih diberikan pada konsepsi mengenai penguasaan negara dan tak jarang ungkapan demi kemakmuran rakyat hanya dijadikan sebagai argumen pembenaran atas penguasaan tersebut (Dr. Tom Therik, 1998).

Dalam hal pembebasan tanah untuk proyek-proyek pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, selalu dan selalu menjadi kasus pelik walaupun telah diatur didalam PERMENDAGRI No. 15 Tahun 1975. Sebab masing-masing pasal pada aturan ini, saling kontradiksi. Disatu sisi menekankan musyawarah mufakat, disisi yang lain membolehkan adanya indikasi pemaksaan.

Sebenarnya ada aturan yang lebih baik dari PERMENDAGRI tersebut, yakni KEPPRES No. 55 Tahun 1993 yang lebih mengutamakan musyawarah mufakat. Dalam KEPPRES No. 55 Tahun 1993, secara tegas diatur bahwa, seandainya musyawarah mufakat itu gagal dalam artian bahwa rakyat tidak ingin menyerahkan tanahnya, maka sipembebas tanah bisa meneruskan upaya ini melalui Presiden. Tetapi didalam pelaksanaannya pemerintah senantiasa tidak menghiraukan aturan ini. Malahan, pemerintah terkesan sengaja tidak melaksanakan KEPPRES No. 55 Tahun 1993, karena rakyat atau para pemilik tanah pada umumnya, masih banyak yang tidak sepenuhnya mengerti peraturan hukum. Apalagi meraka jarang dilibatkan sejak awal oleh panitia pembebasan tanah. Sehingga, kalaupun mereka menerima ganti rugi yang nilainya ditetapkan oleh pemerintah, itu bukan berarti dilandasi atas dasar kesukarelaan melainkan lantaran tidak paham dan/atau takut.

Pasal 18 UU No. 5 Tahun 1960, telah mengamantkan bahwa, untuk Kepentingan Umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, maka hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberikan ganti rugi yang layak sesuai dengan cara yang diatur dalam UU No. 20 Tahun 1961, Tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Bergerak Yang Ada diatasnya.

Bertalian dengan Kepentingan Umum, Dr. Muchsan (1997) berpendapat bahwa, “definisi Kepentingan Umum tidak boleh abstrak“. Kalau dicermati secara jujur seluruh peraturan perundangan yang berhubungan dengan tanah, maka akan didapati kalimat sakti dari pemerintah untuk mendapatkan tanah rakyat, yaitu: “demi Kepentingan Umum untuk bangsa dan negara“. Tetapi tidak ada definisinya. Ketidakjelasan ini menyebabkan kepastian hukum di Indonesia dalam permasalahan tanah menjadi sumir dan belum bahkan tidak akan pernah terwujud. Bukti nyatanya dapat dilihat pada kasus Celah Timor yang meliputi kasus tanah Kuanheum dan kasus pembebasan tanah Bolok, serta berbagai kasus pembebasan tanah diseluruh Indonesia. Dari kesemuanya itu dalih pemerintah tetap sama yaitu demi Kepentingan Umum.

Di negara yang demokrasi hukumnya sudah lebih baik seperti Belanda, telah diatur secara tegas dalam Onteigenings Wet yang mendefinisikan Kepentingan Umum menjadi 27 jenis yang diantaranya untuk irigasi, makam dan jalan raya. Di Belanda, kalau ada rakyat yang tergusur mereka berhak bertanya untuk apa tanah yang dibebaskan tersebut. Kalau tidak termasuk didalam ke-27 jenis tadi, maka mereka dibolehkan untuk menolak keinginan dari pada decision maker tersebut. Apabila terjadi sengketa, pemerintah atau rakyat bisa maju ke pengadilan. Pengadilan dengan demikian menjadi pihak ke-3. Ini sangat berbeda dengan di Indonesia, karena selain menjadi panitia pembebas pemerintah juga menjadi panitia (wasit). Sehingga kalau panitia dan wasit berada disatu pihak, maka sudah bisa dipastikan hasil yang akan dicapai tersebut.


Belajar dari berbagai sengketa pertanahan di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa sangat diperlukan suatu kebijakan yang berorientasi pada pemerataan penguasaan tanah dan pengakuan terhadap hak-hak tanah masyarakat, termasuk juga hak masyarakat adat atas tanah (Noer Fauzi, 1998). Suatu hal yang juga sangat urgen dan cukup relevan adalah dipikirkan untuk diundangkannya suatu undang-undang yang mengatur perbuatan pemerintah dalam proses pembebasan tanah, yang didalamnya juga harus mengatur tentang definisi Kepentingan Umum. (Tulisan ini pernah dipublkikasikan dalam Harian Umum Sasando Pos, 19 Juni 2000).



-------------------------------

Penulis: Mahasiswa FH Univ. Kristen Aartha Wacana
TRANSLATE
English French German Spain Italian DutchRussian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
OMong POLitik:
Kalau ingin berjuang, kita tidak boleh tunduk pada fakta... kita harus melawan fakta dan membuat fakta baru...