Rabu, 10 Juni 2009

Pelaksanaan SI-MPR Tahun 2001


PELAKSANAAN SI-MPR TAHUN 2001: Kegagalan MPR
Dalam Melaksanakan Kedaulatan Rakyat...!!! 
Oleh. Paul SinlaEloE 


Reformasi belum selesai. Itulah argumen yang paling tepat untuk menggambarkan realita politik yang terjadi di Indonesia pada saat ini. Sebab walaupun Soeharto yang merupakan sang konseptor proses pembodohan terhadap rakyat telah dilengserkan ± 3 tahun yang lalu, namun proses pembodohan tersebut masih saja terus dilakukan secara sistematis hingga kini, oleh orang bodoh (Baca: Anggota MPR/DPR yang Pro Status Quo). Pengadilan politis yang dilakukan oleh MPR terhadap Presiden KH. Abdurrahman Wahid adalah buktinya.

Pengadilan politis ini berawal dari tekad Presiden Gus Dur untuk memberantas KKN, menegakkan supremasi hukum dan mewujudkan demokratisasi di Indonesia. Upaya ini telah mengusik ketentraman diri dari para perampok Negara yang bersembunyi didalam lembaga MPR/DPR.

Sebagai wujud dari keterusikan tersebut, DPR secara membabi buta berusaha menurunkan Presiden Gus Dur dari kursi kepresidenan dengan cara mewacanakan issue keterlibatan Presiden dalam skandal uang zakat pemberian Sultan Brunei sebesar US $ 200 juta dan dana Yanatera Bulog sejumlah Rp.35 Miliar.

Tidak harmonisnya hubungan diantara para penyelenggara negara ini, makin diperparah lagi oleh DPR dengan dikeluarkannya Memorandum I pada tanggal 1 Februari 2001. Walaupun Presiden Abdurrahman Wahid sudah menjawab memorandum tersebut pada tanggal 28 Maret 2001, namun pihak DPR pada tanggal 30 April 2001, tetap mengeluarkan Memorandum II, yang mana isinya secara tegas mengatakan bahwa apabila Presiden tidak menyelesaikan persoalan tersebut diatas dalam batas waktu yang telah ditentukan, maka akan digiring ke SI-MPR, guna mempertanggungjawabkan segala pelanggaran yang dituduhkan.

Rujukan yang dipakai oleh DPR untuk mengeluarkan Memorandum II ini adalah Pasal 7 TAP MPR Nomor III/MPR/1978, tentang Kedudukan Dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara Dengan Atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara, yang berbunyi bahwa: Pertama, Dewan Perwakilan Rakyat yang seluruh anggotanya adalah Anggota Majelis berkewajiban senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden dalam Rangka Pelaksanaan Haluan Negara. Kedua, Apabila Dewan Perwakilan Rakyat menganggap Presiden sungguh melanggar Haluan Negara, maka Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan memorandum untuk mengingatkan Presiden. Ketiga, Apabila dalam waktu tiga bulan Presiden tidak memperhatikan memorandum Dewan Perwakilan Rakyat tersebut pada ayat (2) pasal ini, maka Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan memorandum yang kedua. Ketiga, Apabila dalam waktu satu bulan memorandum yang kedua tersebut pada ayat (3) pasal ini, tidak diindahkan oleh Presiden, maka Dewan Perwakilan Rakyat dapat meminta Majelis mengadakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden.

Ironisnya, walaupun Jaksa Agung lewat SP3-nya, sudah menyatakan bahwa Presidan Gus Dur tidak terlibat (tidak bersalah) dalam kasus Bruneigate dan Buloggate ini, namun pelaksanaan SI-MPR Tahun 2001 tetap diwujudkan dengan agenda yang menyimpang bahkan tidak ada hubungannya dengan Memorandum yang dikeluarkan oleh DPR, yakni: menggugat statement-statement Presiden Gus Dur yang oleh parlemen dianggap “cenderung proaktif” sehingga dapat mengancam disintegrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Secara Konstitusional, ada 2 (dua) alasan mengapa MPR tidak dapat digunakan oleh DPR untuk menjatuhkan Presiden, yakni: Pertama, UUD 1945 tidak menganut sistem parlementer. Kedua, Parlemen dijalankan oleh DPR, bukannya dijalankan oleh MPR.

Didalam UUD 1945, wewenang MPR diatur dalam Pasal 1 ayat (2), Pasal 3, Pasal 6 dan Pasal 37, atas dua kategori yaitu: Pertama, Dalam fungsi perundangan High Law (Constitution), yang meliputi Pasal 1 ayat (2), sebagian Pasal 3, Pasal 6 dan Pasal 37. Kedua, Dalam fungsi pemerintahan, yang meliputi sebagian Pasal 3 dan Pasal 6 ayat (2).

Fungsi pemerintahan MPR sesuai dengan UUD 1945 adalah memulai pemerintahan yakni memilih Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2) dan berdasarkan Pasal 3, yakni menetapkan GBHN. Diluar kedua pasal ini, MPR tidak berkompeten untuk mengurusi jalannya pemerintahan. Artinya, sekali Presiden terpilih, MPR tidak dapat mengintervensinya, karena akan terjadinya proses sirkuler atau berlakunya Konstitusi secara paralel, tidak dapat dihindarkan.

Menurut B. Setiabudi (2001), apabila Konstitusi berlaku secara sirkuler, maka nantinya hukum akan bersifat kesepakatan kondisional (Tacit Concent). Sebab, kepastian hukum akan menjadi tidak otomatis dan setiap kali memerlukan jaminan para pihak untuk menyepakatinya. Akibatnya, kontribusi hukum terhadap pemerintahan yang rasional menjadi kabur.

Kerangka pikir diatas menunjukkan bahwa dengan suksesnya pelaksanaan SI-MPR Tahun 2001 yang inkonstitusional dan ekstra konstitusional ini, maka sebenarnya MPR tidak mempunyai Political Will untuk menyukseskan agenda reformasi yang dicita-citakan oleh rakyat. Konsekuensinya, proses reformasi masih berputar-putar pada titik yang sama, padahal seharusnya reformasi sudah dapat berjalan secara linear. Dengan demikian dapat ditarik suatu titik simpul bahwa MPR tidak menjalankan kedaulatan rakyat dan telah melakukan proses pembodohan terhadap rakyat.


Walaupun demikian, dengan keyakinan penuh bahwa tidak semua rakyat Indonesia dapat dibodohi sepanjang masa dan di semua tempat, maka diakhir tulisan ini saya menyarankan kepada seluruh komponen bangsa terutama para aktivis pro demokrasi dan mahasiswa yang merupakan kaum reformis sejati, untuk segera menyatukan konsep dalam membangun gerakan reformasi tahap ke-2, agar kita tidak disebut sebagai anak manis yang bodoh oleh “orang bodoh”.


------------------------
Penulis: Mahasiswa FH-UKAW.
Ket: Tulisan ini merupakan materi pengantar diskusi yang berthema, “SI-MPR TAHUN 2001 DAN ANCAMAN DISINTEGRASI BANGSA”, yang dilaksanakan oleh SEMA FKIP-UKAW, di Sekretariat SEMA FKIP-UKAW, pada tanggal 27 Juli 2001.




TRANSLATE
English French German Spain Italian DutchRussian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
OMong POLitik:
Kalau ingin berjuang, kita tidak boleh tunduk pada fakta... kita harus melawan fakta dan membuat fakta baru...