Minggu, 06 Desember 2009

Korupsi Dilegalkan...???

KORUPSI DILEGALKAN...???
Oleh. Paul SinlaEloE


Dengan sengaja tulisan ini diawali dengan satu kalimat tanya yang ”Bombastis”, dengan maksud untuk menggugat sekaligus menggugah para aparat penegak hukum untuk lebih serius dalam melakukan penegakan hukum terhadap suatu tindak korupsi. Hal ini bertolak dari asusmsi bahwa tingginya tingkat korupsi di Indonesia (NB: Termasusk di Nusa Tenggara Timur) tidak terlepas dari lemahnya proses penegakan hukum. Kelemahan ini baik secara sadar maupun tidak sadar, sering menjadi celah bagi para koruptor lepas bahkan bebas dari jeratan hukum.

Strategi ”canggih” yang sering dipergunakan oleh para para koruptor adalah membuat dan atau mendorong terbentuknya suatu produk peraturan perundangng-undangan untuk melegitimasi perbutan mereka yang diduga sebagai tindak korupsi. Padahal, dari sisi materi peraturan, terdapat banyak penyimpangan (Corrupt), baik terhadap peraturan yang lebih tinggi maupun dari aspek normatif lainnya seperti rasa keadilan, kepantasan umum atau kelaziman. Karena dipayungi dalam bentuk peraturan, korupsi jenis ini sering disebut sebagai korupsi yang dilegalkan atau legalisasi korupsi.

Bertolak dari argumen yang demikian, maka dalam tulisan ini akan difokuskan untuk mencermati indikasi terjadinya legalisasi korupsi dalam kasus Dana Tunjangan Komunikasi Insentif (TKI) dan Dana Penunjang Operasional (DPO) Pimpinan dan Anggota DPRD periode 2004-2009. Tulisan ini merupakan pendidikan hukum kritis bagi setiap orang yang peduli terhadap persoalan korupsi, sekaligus diharapkan dapat menjadi masukan bagi aparat penegak hukum dalam menegakan kasus korupsi.

Kasus Dana TKI dan DPO Pimpinan dan Anggota DPRD ini berawal ketika pada tanggal 14 November 2006 para pengambil kebijakan mengeluarkan PP No. 37 Tahun 2006. PP ini merupakan revisi kedua atas PP No. 24 Tahun 2004. Sebelumnya, telah dilakukan perbaikan dengan PP No. 37 Tahun 2005. Artinya, dalam kurun waktu dua setengah tahun, telah ditapkan tiga kali peraturan pemerintah tentang protokoler dan keuangan anggota DPRD.

Alasan utama dikeluarkannya PP No. 37 Tahun 2006 ini adalah untuk mendorong peningkatan kinerja DPRD sekaligus menaikan dana TKI dan DPO dari Pimpinan dan Anggota DPRD. Kenaikan dana TKI dan DPO dari Pimpinan dan Anggota DPRD, juga diberlakukan surut terhitung sejak 1 Januari 2006.

Keberadaan PP No. 37 Tahun 2006 ini, langsung mendapat penolakan dari berbagai kalangan, terutama dari akademisi dan kelompok aktivis anti korupsi. Betapa tidak, ketika rakyat berada dalam kondisi terpuruk (NB: Keadaan saat itu), seperti kelaparan, bencana, dan sakit penyakit yang mewabah, justru para wakil rakyat dan pemerintah sibuk sendiri untuk memperbaiki kesejahteraannya. Atau dengan kata lain, rakyat bergelut dengan persoalannya sendiri, sementara di satu sisi wakil rakyat ingin berpesta pora dengan anggaran rakyat.

Penolakan secara serentak di setiap daerah di Indonesia ini memperoleh hasil. PP No. 37 Tahun 2006 kemudian dirubah dengan PP No. 21 Tahun 2007. Bersamaan dengan keluarnya PP No. 21 Tahun 2007, Menteri Dalam Negeri juga mengeluarkan Permendagri No. 21 Tahun 2007 sekaligus Surat Edaran bernomor 700/08/SJ. Initnya, dengan terbitnya aturan-aturan hukum tersebut, anggota DPRD yang tidak mengembalikan dana TKI dan DPO hingga sebulan sebelum masa jabatannya berakhir, mereka akan dipidanakan.

Akan tetapi belakangan, usaha mengembalikan uang negara dalam hal ini dana TKI dan DPO dari Pimpinan dan Anggota DPRD, terhambat. Pasalnya, pada 18 Agustus 2009, Mendagri menerbitkan Surat Edaran nomor 555/3032/SJ, yang mana dalam Angka 3-nya disebutkan bahwa ketentuan pelimpahan kasus ke aparat penegak hukum bagi anggota DPRD yang belum mengembalikan dana TKI dan DPO sebulan sebelum anggota DPRD periode 2004-2009 lengser dinyatakan tidak berlaku.

Menurut Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Soc.Sc, dkk (2009), berpendapat bahwa, keluarnya Surat Edaran nomor 555/3032/SJ menandakan bahwa ada semacam legalisasi perbuatan koruptif anggota Dewan dari Mendagri. Lebih jauh, Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Soc.Sc, dkk (2009), juga berkesimpulan, ada inkonsistensi Mendagri dalam menangani pengembalian dana TKI dan DPO.

Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Soc.Sc, dkk (2009) dalam kajiannya, juga menyatakan bahwa dalam praktik kegiatan administrasi negara dapat dikeluarkan aturan kebijakan (pseudo-wetgeving/quasi legislations/policy rules). Aturan kebijakan ini pada prinsipnya hanya mengatur administrasi negara, akan tetapi karena sifat tugas administrasi negara menyangkut pihak luar maka secara tidak langsung mengenai masyarakat umum. Aturan kebijakan ini merupakan wujud perbuatan administrasi negara yang bertujuan menampakkan keluar sebagai kebijakan tertulis yang tanpa disertai kewenangan pembentukan baik secara atributif maupun delegatif. Sebagai suatu kebijakan yang dikeluarkan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dalam arti sempit, materi muatan aturan kebijakan harus dalam batas kerangka hukum yang hanya mencerminkan pengaturan operasional suatu peraturan perundang-undangan.

Secara substansi, Surat Edaran Mendagri Nomor 555/3032/SJ juga menemui pertentangan: Pertama, Surat Edaran Nomor 555/3032/SJ, bertentangan dengan PP No. 21 Tahun 2007 serta Permendagri No. 21 Tahun 2007; Pada Pasal 29A PP No. 21 Tahun 2007 disebutkan, ”Pimpinan dan Anggota DPRD yang telah menerima tunjangan komunikasi intensif dan pimpinan DPRD yang telah menerima dana operasional sebagaimana dimaksud di dalam PP No. 37 tahun 2006 (Pasal 10A) harus menyetorkan kembali ke Kas Umum Daerah paling lambat 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya masa bakti anggota DPRD periode 2004-2009”. (NB:
Pada konteks NTT, hasil analisis PIAR NTT menunjukan bahwa total keseluruhan DPO dan TKI untuk semua pimpinan dan anggota DPRD periode 2004-2009 baik pada level Provinsi maupun Kab./Kota di Provinsi NTT yang harus dikembalikan ke kas Negara adalah sebesar: Rp. 51,639,240,000.00).

Dalam prespektif yuridis, sebuah ketentuan harus bermakna imperatif yang memberikan kewajiban untuk dilaksanakan tanpa perlu perintah lebih lanjut. Perintah pengembalian tersebut tidak dapat direduksi Surat Edaran Mendagri nomor 555/3032/SJ, Ketika PP No. 21 Tahun 2007 telah mengimperatifkan pengembalian, maka berarti termasuk di dalamnya ancaman hukuman ketika uang tersebut tidak dikembalikan.

Terbitnya Surat Edaran Mendagri Nomor 555/3032/SJ telah mengecilkan makna imperatif dari PP No. 21 Tahun 2007 tersebut di atas. Seharusnya, tanpa terbitnya Surat Edaran Mendagri Nomor 555/3032/SJ, berkaitan dengan berakhirnya batas waktu pengembalian (dalam hal ini 1 bulan sebelum berakhirnya masa jabatan seperti yang tertera dalam PP No. 21 Tahun 2007), maka bagi siapa saja yang belum mengembalikan dana yang telah cair, langsung dapat dituntut secara hukum. Bahkan, aparat penegak hukum seharusnya langsung dapat menindaklanjuti/memproses anggota DPRD yang belum mengembalikan dana sebagimana yang dimaksud Pasal 29A Ayat 1 a quo.

Kedua, Surat Edaran Mendagri Nomor 555/3032/SJ sebenarnya hanyalah salah satu contoh yang terkuak seringnya pejabat publik membuat aturan kebijakan yang melampaui kewenangan (NB: dapat dibaca juga penyalahgunaan kewenangan) dengan mem-by pass peraturan perundang-undangan. Dengan anggapan agar tidak terjadi kekosongan hukum, Mendagri telah menerbitkan Surat Edaran Mendagri Nomor 555/3032/SJ meskipun secara kasat mata bertentangan dengan PP No. 21 Tahun 2007 dan Permendagri 21 No. Tahun 2007.

Ketiga, Pada angka 1 Surat Edaran Mendagri Nomor 555/3032/SJ yang menyebutkan perihal mapping pengembalian dana TKI dan DPO yang saat ini sedang dilakukan dianggap mengada-mengada. Sebab, mapping itu seharusnya sudah selesai dilakukan pada awal penerbitan PP No. 21 Tahun 2007 yang merubah PP No. 37 Tahun 2006. Tentunya mengherankan, ketika kejadian yang telah merugikan keuangan negara terjadi sekitar dua tahun yang lalu, mapping-nya baru dilakukan saat ini. Terlebih, setiap tahun BPK telah melakukan audit sehingga kebutuhan untuk melakukan mapping pengembalian dana TKI dan DPO telah terjawab.

Keempat, Surat Edaran Mendagri Nomor 555/3032/SJ tidak dapat menciptakan norma hukum baru di luar ketentuan peraturan perundang-undangan atau meniadakan keberlakuan suatu peraturan perundangundangan, karena kedudukan peraturan perundang-undangan sangat kuat, sebagai produk hukum legislatif yang dapat bersifat atributif atau delegatif.

Dalam prespektif hukum pidana, terbitnya Surat Edaran Mendagri Nomor 700/08/SJ tertanggal 5 Januari 2009 & Surat Edaran Mendagri Nomor 555/3032/SJ, seharusnya dipahami sebagai berikut: Pertama, Ada atau tidak ada Surat Edaran Mendagri, Pimpinan & Anggota DPRD periode 2004-2009 yang tidak mengembalikan dana TKI dan DPO paling lambat 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya masa bakti anggota DPRD periode 2004-2009 adalah TINDAK KORUPSI dan dapat dituntut dengan Pasal 2 ayat (1), pasal 3 & pasal 8 UU No. 20 Tahun 2001, Tentang Revisi Atas UU No. 31 Tahun 1999, Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kedua, Memberikan kesan solah-olah korupsi adalah delik aduan padahal Korupsi adalah kejahatan yang tidak memerlukan pengaduan sebagai syarat untuk memproses perkara tersebut. Ketiga, Adanya uji materiil terhadap PP No. 21 Tahun 2007 bukanlah syarat ”tangguh” untuk memproses suatu perkara pidana.

Pada akhirnya, patut dihimbau agar Aparat Penegak Hukum, Polisi, Jaksa dan KPK dapat langsung memproses Pimpinan dan Anggota DPRD yang sampai dengan saat ini belum mengembalikan dana TKI dan DPO karena telah merugikan keuangan negara. Selain itu, sebagai pejabat yang menerbitkan Surat Edaran Mendagri Nomor 555/3032/SJ, Mendagri patut diduga telah melakukan tindak korupsi dengan kualifikasi Doen Plegen (yang menyuruh lakukan) atau setidaknya Obstruction Of Justice karena dengan terbitnya Surat Edaran Mendagri Nomor 555/3032/SJ mengandung materi tidak perlu mengembalikan TKI dan DPO sampai uji materiil diputuskan. LAWAN KEKUATAN POLITIK KORUPTIF...!!! (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian Pagi TIMOR EXPRESS, tanggal 1 Desember 2009).

-------------
Penulis: Staf Div. Anti Korupsi PIAR NTT

Pemuda dan Pelayanan Gereja

PERAN PEMUDA DALAM PELAYANAN GEREJA
Oleh. Paul SinlaEloE


CATATAN PEMBUKA
Sesuai dengan Term of Reference (TOR) yang diberikan oleh Panitia Perayaan Hari Raya Gerejawi Jemaat Diaspora Danau Ina Oesapa kepada kami, maka pada kesempatan ini saya diberi kepercayaan untuk menyampaikan pemikiran mengenai: ”Peran Pemuda dalam Pelayanan Gereja. 

Agar diskusi ini lebih terfokus pada judul yang diberikan, maka dalam makalah ini pertama-tama saya akan mengajak kita untuk memaknai gereja, selanjutnya kita membicarakan tugas gereja yang holistik dan setelah itu akan dibahas peran yang harus diperankan oleh pemuda gereja.

MEMAKNAI GEREJA
Hadirnya gereja, merupakan penggenapan dari janji Tuhan Yesus Kristus sebagaimana yang tertulis dalam kitab Matius 16:18, bahwa Dia akan mendirikan gereja-Nya. Istilah gereja berasal dari bahasa Portugis, “igreya”, yang berarti kawanan domba yang dikumpulkan oleh gembala. Dalam pemakaiannya saat ini, kata “igreya” merupakan bentuk terjemahan dan bahasa Yunani, “kyriake”, yakni sebutan bagi orang-orang yang menjadi milik Tuhan. Istilah “gereja” juga memiliki padanan dengan kata “ekklesia”, yang dalam bahasa Yunani berarti yang berarti dipanggil keluar (ek = keluar; klesia dari kata kaleo = memanggil). Istilah “ekklesia” ini terdapat pada Kisah Rasul 5:11, Kisah Rasul 19:39, Matius 16:18, Roma 16:5.

Gereja berdasarkan 1 Petrus 2:9-10 adalah orang-orang yang dipanggil oleh Allah keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib untuk memberitakan perbuatan yang besar dari Dia. Mereka dipanggil keluar dari dunia ini berarti meninggalkan sifat duniawi dan mengenakan manusia baru untuk kemudian diutus kembali ke dalam dunia untuk memberitakan pengabaran Injil (Yohanes 15:18-19). Orang yang pertama sekali dipanggil keluar dari dunia kegelapan dan diberi kuasa untuk memberitakan kabar baik tentang karya penyelamatan Allah sehingga banyak orang percaya adalah murud-murid dari Tuhan Yesus Kristus (Matius 4:18,22;10:1-4). 

Berpijak dari penjelasan alkitab terkait gereja, maka dapat ditarik suatiu titik simpul bahwa gereja pada hakekatnya adalah gerekan bukan bangunannya. Gereja bukan tempatnya berkumpul atau kebaktian orang kristen sebagaimana yang dipahami banyak orang, melainkan gereja adalah perkumpulan orang yang percaya dan beriman kepada Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamatnya sekarang dan masa yang akan datang samapai kedatangan Tuhan Yesus Kristus yang kedua kalinya. 

TUGAS GEREJA YANG HOLISTIK
"Pergilah kamu ke seluruh bumi. Jadikanlah segala bangsa murid-KU dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan  kepadamu" yang diperintahkan-Nya sebelum Ia kembali kepada Bapa-Nya. (Matius 28: 19-20). Perintah yang sama, tapi dengan kalimat yang agak berbeda diingat juga oleh Markus dan Lukas. Dalam Markus tertulis dalam pasal 16:15, "Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah injil kepada segala makhluk". Versi Lukas agak berbeda. Menurut Lukas, Tuhan Yesus Kristus berkata: "Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-KU di Yerusalem dan di seluruh dunia dan Samaria dan sampai ke ujung bumi" (Kisah Para Rasul, 1:8).

Itulah amanat agung dari Tuhan Yesus Kristus yang harus dijalankan oleh setiap orang yang percaya kepada-NYA. Oleh karena itu, Gereja yang merupakan persekutuan orang-orang yang percaya kepada Tuhan yaitu Yesus Kristus, wajib menjalankan amanat agung ini.

Ada 5 (lima) tugas gerja yang harus dikerjakan untuk mewujudkan Amanat Agung Tuhan Yesus Kristus. Ke-5 (lima) tugas gereja ini, tidak bisa dibatasi dengan hanya menjalankan salah satu tugas, sambil melupakan/mengabaikan tugas yang lain. Semua tugas tersebut harus dijalankan oleh gereja secara holistik (menyeluruh) dan saling melengkapi (simultan), demi terwujudnya Amanat Agung Tuhan Yesus Kristus. Ke-5 (lima) tugas gereja dimaksud adalah: 

Koinonia (Persekutuan)
Istilah “koinonia” berasal dari bahasa Yunani yang artinya persekutuan. Jika dikaitkan dengan persekutuan dari orang yang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus, maka persekutuan yang dibangun haruslah beralaskan atas dasar Firman Allah, Baptisan dan Perjamuan Kudus. Artinya, persekutuan yang dibangun harus menjadi alat yang kuat untuk mengkominikasikan berita keselamatan bagi semua orang. Dengan dasar itu pulalah anggota persekutuan wajib saling memperdulikan dan berkumpul bersama sehingga mutu persekutuan haruslah senantiasa dipelihara dan ditingkatkan seiring tantangan dan kecenderungan jaman. Jadi, dalam gereja harus ada dan tercipta persekutuan, sekaligus persekutuan yang telah ada dan tercipta harus terpelihara. Hal ini menjadi penting karena persekutuan/koinonia itu bukan hanya merupakan persekutuan begitu saja, melainkan persekutuan yang bersifat soteriologis (keselamatan) yang bergerak secara dinamis menuju akhir, yaitu penggenapan Hari Tuhan (parusia). 

Marturia (Bersaksi)
Marturia berasal dari kata “martyria”, yang merupakan kata serapan dari bahasa Yunani. Istilah marturia ini, dipergunakan pada konteks gereja untuk menjelaskan aktivitas iman dalam tugas panggilan gereja, yakni kesaksian iman. Kesaksian iman yang dimaksud adalah pemberitaan Injil sebagai berita keselamatan bagi seluruh makhluk. Inti yang harus disampaikan dalam kesaksian iman adalah pengalaman iman dan peristiwa iman yang dialami, dilihat dan didengar terkait dengan kelahiran, kematian dan kebangkitan Yesus Kristus, yang mana didalamnya ada kabar baik yakni kabar keselamatan bagi semua orang. harus dilakukan oleh gereja baik sebagai persekutuan maupun sebagai indivdu. 

Diakonia (Melayani)
Diakonia berasal dari bahasa Yunani, “diakonein”, yang berarti melayani.Diakonia diartikan sebagai aktivitas melayani yang dilakukan dengan setia, jujur, serta tanggungjawab. Pelayanan diakonia sering dipahami hanya sebatas konsep caritas, membantu para janda, yatim piatu, fakit miskin demi kesejahteraannya. Berdiakonia tak terbatas pada bantuan materi kepada mereka yang berkekurangan, melainkan lebih kompleks. Sebenarnya, berdiakonia harus membawa perubahan pada seseorang maupun masyarakat dan bukan sekedar menjadikan sesorang ataupun masyarakat tersebut tidak terlantar dan tercukupi kebutuhan dasarnya saja, tetapi harus juga dapat “terangkat” secara sosial. Artinya, gereja dalam pelayan diakonia harus mencakup pendampingan/advokasi untuk membangun pemahaman terkait akar penyebab keprihatinan sosial, sekaligus mengembangkan prakarsa pemberdayaan masyarakat untuk memenuhi hak dan kebutuhan untuk hidup dan kehidupan yang layak.

Liturgia (Pelayanan Kudus)
Kata “liturgia” berasal dari bahasa Yunani, “leitourgia” yang terbentuk dari akar kata “ergon” yang berarti “karya, kerja atau bakti” dan “leitos” yang berarti  ‘umum’’. Dalam perkembangannya, liturgia dimaknai sebagai “Pelayanan Kudus”. Dimaknai sebagi pelayanan kudus karena Liturgi menjadi wahana utama mengantar setiap orang yang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus ke dalam persatuan pribadi dengan Allah. Artinya, liturgia tidak boleh hanya dimaknai sebagai kertas panduan dalam ibadah, tetapi lebih dari itu, liturgi merupakan tatacara dan tatakrama bagi setiap orang percaya, baik secara bersama-sama maupun sendiri-sendiri dalam beribadah (bersaksi, bersekutu dan melayani) karena telah mendapat berkat- berkat Allah.

Oikonomia (Penatalayanan)
Oikonomia berasal dari istilah yunani yang terdiri dari dua kata: “Oikos”, yang berarti rumah, dan “Nomos”, yang berarti hukum (peraturan). Jika kedua kata ini digabungkan, maka secara harfiah Oikonomia berarti "pengaturan rumah tangga" (Household Law). Dalam perkembangannya Oikonomia ini dipahami sebagai administrasi dalam rumah tangga yang mana dengan sendirinya ada pengaturan, ada perencanaan dan ada satu tujuan (Purpose). Oikonomia ini dalam tugas gereja merupakan kegiatan yang sebenarnya tidak hanya bersifat manajerial/administrasi organisasi gereja semata seperti kearsipan dll, tapi lebih pada penatalayanan kehidupan seperti panggilan gereja terhadap penataaan bumi di mana termasuk semua makhluk hidup di atasnya. Artinya, oikonomia atau penatalayanan ini haruas mencakup relasi antara manusia dengan manusia, manusia dengan Allah dan manusia dengan lingkngan. 

PERAN YANG HARUS DIPERANKAN OLEH PEMUDA GEREJA
Pemuda gereja adalah mereka yang telah memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan yang berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun (Bandingkan dengan Pasal 1 Angka 1 UU No. 40 Tahun 2009, Tentang Kepemudaan). Dengan batasan umur yang demikian, maka tidaklah mengherankan apabila pemuda gereja memiliki posisi yang sangat strategis dalam pelayanan gereja. 

Strategisnya posisi pemuda gereja dalam gereja dapat dilihat dari relasi keduanya. Pemuda gereja merupakan generasi penerus yang akan menentukan masa depan gereja dengan meneruskan perjuangan gereja di masa-masa yang akan datang. Sedanggkan, gereja adalah sebuah wadah yang mendidik dan menuntun pemuda gereja melalui jalan yang patut baginya menuju tatanan hidup dan kehidupan yang sesuai dengan kehendak Allah.

Dalam pelayanan gereja untuk mewujudkan Amanat Agung Tuhan Yesus Kristus, pemuda gereja adalah subyek sekaligus obyek pelayanan. Karenanya, setiap aktifitas atau program dari pemuda gereja baik sebagai individu maupun kelompok wajib difokuskan untuk terwujudnya Amanat Agung Tuhan Yesus Kristus dan harus berpedoman pada 5 (lima) tugas Gereja, yakni: Marturia, Koinonia, Diakonia, Liturgia dan Oikonomia.

Pemuda gereja dalam pelayanannya untuk mewujudkan Amanat Agung Tuhan Yesus Kristus, tidak boleh mengabaikan pesan yang disampaikan oleh Rasul Paulus dalam 1 Timotius 4:12, yang pada intinya mengamanatkan untuk pemuda gereja harus menjadi teladan bagi orang-orang percaya di dalam perkataanmu, tingkah lakumu, kasihmu, imanmu, dan kesucianmu, sehingga jangan seorangpun menganggap engkau rendah karena engkau muda.

CATATAN PENUTUP
Demikianlah sumbangan pemikiran saya mengenai: ”Peran Pemuda dalam Pelayanan Gereja”, kiranya bermanfaat dan ini dapat mengantarkan kita pada suatu diskusi yang lebih luas. Sola Scriptura Verbum Dei (Hanya Alkitablah Firman Allah).

----------------
KET:
  1. Makalah ini dipresentasikan dalam Latihan Kepemimpinan Tingkat Dasar, yang dilaksanakan oleh Panitia Perayaan Hari Raya Gerejawi Jemaat Diaspora Danau Ina Oesapa, di tempat Kebaktian Jemaat Diaspora Danau Ina Oesapa, pada tanggal 31 Oktober 2009.
  2. Sekbid Pengembangan Jaringan & Informasi BP. Pemuda GMIT Periode 2008/2012.


Teologi Politik


TEOLOGI POLITIK
Oleh Paul SinlaEloE


Teologi politik pemaknaannya tidak persis sama dari zaman ke zaman. Teologi politik dalam pengertiannya yang sekarang, muncul pada tahun 1960-an sebagai suatu gerakan di antara sarjana-sarjana Katholik Roma dan Protestan yang mengembangkan suatu hermeneutik baru dalam pemikiran Kristen untuk menanggapi keadaan dan masalah-masalah modern. Dengan menekankan pada refleksi terhadap konteks sosial dan historis, teologi politik mengkritik bentuk-bentuk metode teologi yang lain, yakni: Pertama, Thomisme tradisional dengan doktrinnya tentang alam dan hukum alam dipandang sebagai anti sejarah. Kedua, Thomisme transenden (Karl Rahner) yang menekankan subyek dianggap anti politik. Ketiga, Pandangan Lutheranisme dengan teori dua kerajaan dan hukum dunia dikritik karena bersifat dualistik dan statis. Keempat, Ajaran Protestan modern (Rudolf Bultmann) dengan keteguhan eksistensialismenya dianggap individualis.

Terlepas dari pemaknaan terhadap teologi politik dari sudut pandang yang berbeda-beda, namun secara sederhana teologi politik pada tataran implementasi dapat dimaknai dalam 2 (dua) konteks sebagaimana yang diajarkan oleh F. Schüssler Fiorenza, yakni: Pertama, teologi politik dipahami sebagai pemakaian lambang-lambang keagamaan, baik secara implisit maupun eksplisit, untuk menginterpretasikan, membenarkan, atau mengkritisi peristiwa-peristiwa, sistem-sistem, atau unit-unit politis. Kedua, teologi politik berperan sebagai teologi fundamental yang menganalisa hubungan antara pola-pola politik (political pattern) dan kepercayaan keagamaan (religious belief). Hubungan yang saling menguntungkan ini dipelajari untuk menyingkap makna, kebenaran, dan praktek-praktek simbol-simbol keagamaan.

Para penganjur pertama teologi politik berasal dari Jerman, dengan tokoh utamanya: Johannes Baptist Metz, Jürgen Moltmann, Dorothee Soelle, Helmut Peukert. Ajaran teologi politik ini kemudian dikembangkan dan berkembang di negara-negara Barat lainnya seperti: di Spanyol dengan tokoh utamanya Alfredo Fierro, di Kanada oleh Charles Davis, di Amerika oleh Matthew Lamb & John Cobb.

Gerakan untuk mendukung ajaran teologi politik ini sangat kuat dipengaruhi oleh para pembaharu Marxisme seperti: Ernst Bloch, Theodor W. Adorno, Max Hoekheimer, Jürgen Habermas. Para pembaharu Marxis ini menyatukan konsep praktis Marxisme dengan ajaran Kristen tentang eskatologi sebagai dasar untuk membangun pengertian-pengertian tentang relasi antara dunia dan Allah, dosa dan keselamatan, gereja dan masyarakat. Meskipun berorientasi praktis, teologi politik telah berkembang menjadi suatu pendekatan sistematis terhadap etika. Sejalan dengan itu, maka dalam tulisan ini akan di uraikan beberapa thema khusus etika yang menonjol di dalam karya-karya di bidang ini.

Pertama, Agen Moral Adalah Subyek Politik. Menurut ajaran teologi politik, dunia bukanlah sebuah kosmos (suatu keadaan yang sempurna), dimana setiap satuan menempati suatu tempat yang merupakan kodratnya dan yang dimaksudkan untuk menjalankan suatu fungsi tertentu. Ia bukanlah suatu proses sosio-historis yang petunjuk dan bentuk tetapnya telah ditentukan sejak semula. Karena itu, untuk menjadi manusia, bukanlah dengan menjadi bagian dari suatu hukum dunia, tetapi menjadi subyek, yang dalam interaksinya dengan orang lain diikutsertakan dalam pembentukan masa depan yang kreatif. Dengan dasar ini, teologi politik adalah kritik, baik secara tidak langsung terhadap determinisme yang menekankan pendekatan IPTEK yang berlebihan terhadap masalah-masalah sosial, dan secara eksplisit terhadap keterbatasan materialisme historis. Selain itu, teologi politik adalah kritik terhadap semua struktur sosial yang meniadakan partisipasi politik orang-orang dari berbagai kelas sosial sebagai dehumanisasi dan mendorong partisipasi dalam perjuangan sejarah emansipasi.

Kedua, Janji Allah Sebagai Dasar Keputusan Moral. Dari perspektif teologi politik, sifat dari kehadiran Allah dalam dunia digambarkan dalam kematian dan kebangkitan Kristus, yang secara dialektis berhubungan dengan keadaan sekarang dan yang akan datang. Dalam penyaliban, Allah dimengerti sebagai hadir dalam penderitaan semua ciptaan. Tanggapan manusia terhadap aspek kehadiran Allah ini secara jelas nampak dalam terminologi empati. Dalam kebangkitan, Allah dimengerti sebagai yang akan datang , sebagai janji yang efektif dari suatu kerajaan yang penuh damai dan keadilan. Kebangkitan adalah suatu simbol eskatologis dalam kontradiksi dimana kondisi aktual dunia sekarang dilihat dan dinilai untuk apa ia ada. Janji Allah yang demikian berfungsi dalam dua arah: sebagai dasar bagi pembentukan keputusan moral dan dasar dari pengharapan bahwa semua struktur dunia dapat ditransformasi.

Ketiga, Penderitaan Sebagai Masalah Moral Dari Sejarah. Dalam teologi politik, konsep penderitaan merupakan pokok yang menggambarkan pengalaman manusia dalam sejarah. Penderitaan, dalam aspek moralnya, disebabkan dan ditopang oleh dosa sosial, oleh tradisi-tradisi dan berbagai institusinya yang menguntungkan beberapa orang, sementara sebagian lainnya tertekan dan mengalami dehumanisasi. Moltmann mencirikan lima lingkaran setan kematian yang melambangkan penderitaan dalam masyarakat kontemporer: (1). Kemiskinan dalam bidang ekonomi. (2). Dominasi suatu kelas/bangsa terhadap lainnya dalam kehidupan politik. (3). Struktur alienasi antara ras, gender, kelompok etnis dalam hubungan kebudayaan. (4). Polusi industri di bidang ekologi. (5). Ada perasaan dimana orang merasa diri tak berarti dan kehilangan tujuan hidup. Menurut Metz, kelima lingkaran setan ini secara bersama-sama merupakan tanda dari penyingkapan masyarakat yang samar-samar. Menurut Lamb, lingkaran ini mendasari suatu dunia penderitaan yang membutuhkan solidaritas dengan para korban.

Keempat, Solidaritas Sebagai Tujuan Pokok Tindakan Moral. Ajaran teologi politik memahami masalah moral adalah hasil dosa sosial dan karenanya tindakan moral harus diarahkan kepada transformasi sosial. Tindakan moral berawal dari solidaritas terhadap penderitaan, dengan orang miskin dan tereksploitasi, tetapi motivasi pokoknya ialah keselamatan menyeluruh dari seluruh dunia (Soelle, Cobb). Dengan demikian tindakan moral dengan sendirinya tidak cukup efektif untuk mempengaruhi penyelamatan dalam pengertiannya yang mistik (sebenarnya terlalu mengada-ada dan berbahaya untuk berpikir bahwa itu mungkin). Yang dimaksudkan oleh teologi politik adalah suatu masyarakat global baru: suatu masyarakat yang melebihi/mengatasi perebutan dan dominasi kelas, suatu masyarakat yag penuh persahabatan (Moltmann) serta terbuka dan bebas berkomunikasi (Peukert). Solidaritas kemudian menandakan suatu identitas sosial yang lebih bersifat inklusif dan umum daripada hubungan saya-kau, yang sebelumnya sudah dikenal dengan baik sekali, dan yang tidak membatasi kepentingan pribadi dibanding relasi-relasi sosial yang saling memberi (Metz).

Kelima, Dasar Misi Gereja Adalah Kritik Moral Terhadap Masyarakat. Gereja menurut teologi politik adalah suatu perkumpulan mesianik dalam masyarakat, yang membangun persekutuan dengan dua sisi sejarah, yakni dari penderitaan dan pembebasan. Ingatan/ kenangan yang berbahaya (Metz) dari penyaliban dan kebangkitan Kristus merupakan suatu panggilan untuk memihak kepada orang-orang yang diabaikan dan yang dikorbankan dan untuk mulai mengikutsertakan mereka dalam praktek yang emansipatif dalam kehidupan sehari-hari yang membebaskan. Dalam beberapa hal gereja bersifat politik, tetapi untuk menjadi benar dalam misinya di dunia modern, gereja harus menjalani suatu reformasi radikal. Secara internal, ia harus menghilangkan tradisi patriakhal dan menjadi gereja yang berasal dari dan untuk semua orang. Secara eksternal, gereja harus menjadi suatu kekuatan yang efektif yang mewakili pemahaman mengenai kerajaan Allah dalam sejarah melalui suatu kritik terhadap pengilahian ekonomi, social dan budaya dan melalui mandat pemuridan yakni keadilan dan cinta yang spesifik/khas.

Keenam, Sosialisme Demokratik Sebagai Prinsip Utama Moralitas Masyarakat. Dengan menghubungkan kelima lingkaran setan kematian, Moltmann menentukan sejumlah jalan ke arah liberalisasi: sosialisme dalam bidang ekonomi, demokrasi dalam bidang politik, penghargaan terhadap sesama di bidang hubungan kebudayaan, berdamai dengan alam di bidang lingkungan hidup dan di atas semua itu keberanian untuk mewujudkannya. Semua jalan ini menandakan kerajaan Allah yang dijanjikan yakni perwujudan kebenaran. Umumnya teologi politik mendukung sosialisme demokratik dan hak asasi manusia, tetapi Cobb, menghubungkan teologi politik dengan proses berpikir, yang memperdalam dan mengembangkan prinsip-prinsip keadilan sehingga mencakup pula bidang lingkungan hidup. Menghadapi penggunaan kekerasan untuk merubah suatu masyarakat, teologi politik cenderung untuk mengadopsi pandangan bahwa hal tersebut merupakan langkah terakhir dan digunakan secara terbatas. Tetapi, Moltmann menduga bahwa pasivisme (paham yang mengutamakan perdamaian) merupakan satu-satunya tanggapan terhadap ancaman bencana di kemudian hari.

Bertolak dari keseluruhan pemaparan diatas, maka diakhir tulisan ini patut diingat oleh para pemuda kristen bahwa Teori etika harus dikembangkan dan dikaitkan dengan prinsip-prinsip hermeneutik secara tepat untuk membangun pengertian-pengertian tentang relasi antara dunia dan Allah, dosa dan keselamatan, gereja dan masyarakat. Hal ini menjadi penting karena relasi antara dunia dan Allah, dosa dan keselamatan, gereja dan masyarakat mewakili suatu orientasi etik yang sungguh-sungguh berkaitan dengan dunia modern. LAUDATE PUERI DOMINUM & SOLA SCRIPTURA VERBUM DEI (Pujilah TUHAN Hai Anak-Anak ALLAH dan Hanya Alkitablah Firman ALLAH).


--------------------------------
PENULIS: Aktivis Pemuda Gereja (GMIT) Ebenhaezer Tarus Barat

Kamis, 20 Agustus 2009

Masyarakat Sipil dan Pemantauan Peradilan

PERANAN MASYARAKAT SIPIL DALAM
PEMANTAUAN PERADILAN*)
Oleh. Paul SinlaEloE**)


A. PENGANTAR

Sudah hampir satu dekade agenda reformasi digulirkan. Ironisnya, salah satu agenda reformasi yakni penegakan supremasi hukum1) di seluruh sektor dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, belum dapat berjalan sebagaimana mestinya. Sistem dan lembaga peradilan (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan) kita yang tidak independent dalam melakukan kerja-kerja judicial adalah realitas yang tidak dapat dipungkiri. Bobroknya kinerja dari institusi peradilan (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan) ini di sebabkan oleh korupsi.2) Korupsi yang terjadi dilembaga peradilan Indonesia lebih dikenal dengan istilah Mafia peradilan.3)

Bertolak dari fakta diatas, maka dalam rangka menegakan supremasi hukum di Indonesia otomatis institusi peradilan yang adalah garda terdepan dalam penegakan hukum harus dikawal kinerjanya, agar institusi peradilan yang ada dapat bekerja secara merdeka, berwibawa, bersih, jujur serta tidak memihak. Proses pengawalan institusi peradilan ini dapat dilakukan dengan cara pemantauan peradilan4) secara intensif.

Dalam hal pengawalan peradilan, sebenarnya telah ada lembaga pemantau internal5) di setiap institusi peradilan. Namun, sudah menjadi rahasia umum bahwa kinerja dari lembaga pemantau internal tersebut tidak bisa dibanggakan. Lemahnya kinerja dari lembaga pemantau (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan) ini disebabkan oleh beberapa faktor,6) antara lain: Pertama, Kualitas dan integritas pemantau/pemantau yang tidak memadai. Kedua, Proses pemeriksaan disiplin yang tidak transparan. Ketiga, Belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan untuk menyampaikan pengaduan, memantau proses serta hasilnya (ketiadaan akses).

Keempat, Semangat membela sesama korps (Esprit De Corps) yang mengakibatkan penjatuhan hukuman tidak seimbang dengan perbuatan. Setiap upaya untuk memperbaiki suatu kondisi yang buruk pasti akan mendapat reaksi dari pihak yang selama ini mendapatkan keuntungan dari kondisi yang buruk itu. Kelima, Tidak terdapat kehendak yang kuat dari pimpinan lembaga penegak hukum untuk menindak-lanjuti hasil pemantauan. Keenam, Tidak mempunyai kekuatan rill didaerah dan sangat bergantung pada pemerintah/negara (terutama dalam hal keuangan).

Sejalan dengan lemahnya kinerja dari lembaga pemantauan intarnal dalam mengontrol kerja-kerja dari intitusi peradilan, maka secara logika yang logis masyarakat sipil diharuskan untuk menjalankan tanggungjawabnya sebagai pemantau eksternal.



B. MEMAKNAI MASYARAKAT SIPIL

Istilah masyarakat sipil (Civil Society), berasal dari proses sejarah masyarakat barat. Civil Society sebagai sebuah konsep, Akar perkembangannya dapat dirunut mulai dari Cicero yang pada abad ke-18 mempergunakan istilah Societes Civilis dalam filsafat politiknya dan dalam tradisi eropa dianggap sama dengan pengertian negara (The State).7) Dalam perkembangannya setelah abad ke-18, istilah Civil Society ini pernah juga dipahami sebagai antitesis dari negara (State).

Masyarakat sipil (Civil Society) dapat dimaknakan sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisir (menjamin berlangsungnya perilaku, tindakan dan refleksi mandiri), tidak terkungkung oleh kondisi material, serta tidak terkooptasi di dalam jaringan-jaringan kelembagaan politik resmi.8) Dengan pemaknaan seperti ini, maka yang disebut sebagai masyarakat sipil tersebut memiliki 3 (tiga) ciri,9) yakni: Pertama, adanya kemandirian dari individu-individu dan kelompok-kelompok dalam masyarakat terutama ketika berhadapan dengan negara. Kedua, adanya ruang publik yang bebas sebagai wahana keterlibatan politik secara aktif dari warga negara melaluiwacana dan praksis yang berkaitan dengan kepentingan publik. Ketiga, adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar tidak interfensionis.

Dari pengertian masyarakat sipil diatas, maka pengejawantahan masyarakat sipil dapat mewujud dalam bentuk organisasi/asosiasi yang dibuat oleh masyarakat diluar pengaruh negara, seperti Lembaga-Lembaga Non Pemerintah (Non Government Organization/NGO), pers, organisasi keagamaan, organisasi sosial, paguyuban dan organisasi/asosiasi lainnya.



C. PIAR NTT10) DAN PEMANTAUAN PERADILAN BERBASIS KOMUNITAS
1. Realitas Penegakan Hukum di NTT

Stagnasi dalam proses penegakan hukum yang berindikasi adanya praktek "Mafia Peradilan" terjadi pada proses peradilan di tingkat pusat, tetapi juga sudah merambah ke daerah seiring dengan diterapkannya politik desentralisasi. Pada konteks NTT praktek "Mafia Peradilan" ini tergambar dengan jelas dalam sejumlah kasus terutama yang melibatkan para pengambil kebijakan.11) Alasan klasik, seperti kekuarangan bukti, menjadi senjata pamungkas aparat penegak hukum untuk mengeluarkan SP3 terhadap sejumlah kasus.12) Bahkan untuk melindungi para koruptor, aparat penegak hukum secara "membabibuta" memproses sejumlah aktivis organisasi Masyarakat Sipil yang konsen dengan issue-issue korupsi dan HAM karena dituduh melakukan pencemaran nama baik.13)

Fakta-fakta tersebut secara jelas menunjukkan, bahwa aparat penegak hukum di NTT diduga telah terkontaminasi dengan praktek KKN. Karenanya tidaklah mengherankan apabila kondisi ketidak adilan dalam proses penegakan hukum kasus korupsi, berakibat rakyat memilih pola penyelesaian sendiri dengan melakukan peradilan masa seperti yang terjadi di Larantuka.14)


2. Sinergi Gerakan PIAR NTT dan Komunitas Dalam Pemantauan Peradilan

Bertolak dari pemaparan realitas diatas, maka PIAR-NTT yang selama ini konsent bekerja pada upaya perubahan demi terwujudnya masyarakat yang adil di dalam kemakmuran dan makmur didalam keadilan, otomatis advokasi melalui pemantauan peradilan yang berbasis komunitas menjadi signifikan untuk didorong secara maksimal.

Pemantauan peradilan berbasis komunits dalam rangka mewujudkan supremasi hukum yang dilakukan oleh PIAR-NTT ini, pada dasarnya bertujuan untuk mendorong upaya perbaikan dan perubahan baik pada tataran produk kebijakan, proses, kualitas aparat. Untuk terwujudnya tujuan yang mulia ini, PIAR-NTT membangun sinergi gerakan dengan bermain pada 3 (tiga) aras, yakni: Pertama, Grass Root. Mendorong dan memperkuat kapasitas komunitas melakukan kontrol/pemantauan pada proses peradilan yang tengah berlangsung. Selain itu juga harus Membangun gerakan bersama untuk pemantauan peradilan.

Kedua, Stakeholder. Mendorong penguatan institusi penegak hukum, Profesionalisme Aparat Penegak hukum mendorong Kesadaran hukum Masyarakat Sipil. Ketiga, Decision Makers. Mendorong konsistensi penegakan hukum dan melakukan kajian-kajian dan masukan bersama masyarakat akademisi, NGO dan legislatif terhadap sejumlah produk-produk kebijakan publik/peraturan perundang-undangan.



D. PENUTUP

Pada akhirnya, Semoga melalui forum yang cerdas ini dapat ditemukan alternatif solusi bagi kerja-kerja pemantauan yang progresif, sehingga harapan massa-rakyat akan adanya institusi peradilan yang dapat bekerja secara merdeka, berwibawa, bersih, jujur serta tidak memihak bisa diwujudkan. Untuk itu, maka mungkin perlu dipikirkan untuk segera dibentuk jaringan pemantau peradilan yang terdiri dari pemantau internal dan pemantau eksternal yang dapat bekerja secara terpadu. Demikianlah pemikiran saya mengenai peranan masyarakat sipil dalam pemantauan peradilan, kiranya bermanfaat dan ini dapat mengantarkan kita pada suatu diskusi yang lebih luas.


-----------------------------------------

Catatan Kaki:

*). Makalah ini dipresentasikan dalam Semiloka: "MEMBANGUN KOMITMEN MULTIPIHAK DALAM MEWUJUDKAN LEMBAGA PERADILAN YANG MANDIRI, FAIR, NETRAL, KOMPETEN DAN BERWIBAWA", yang dilaksanakan oleh Komisi Yudisial-RI bekerjasama dengan FH-Universitas Mataram, di Hotel Lombok Raya Mataram, pada tanggal 24 Agustus 2006.
**). Staf PIAR-NTT.
  1. Dalam berbagai literatur tentang ilmu hukum, disebutkan bahwa penegakan supremasi hukum sangat ditentukan oleh 4 (empat) faktor, yakni: Pertama, sistem pemerintahan. Kedua, Produk hukum, Ketiga, aparat dan fasilitas penunjang. Keempat, Kesadaran hukum Masyarakat.
  2. Wasingatu Zakiyah, dkk, Menyingkap Tabir Mafia Peradilan, Penerbit Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta, 2002.
  3. Mafia dalam istilah ini bukan merujuk pada kejahatan terorganisir seperti mafia Sisilia di Italia, tapi mafia yuang dimaksud disini lebih mengarah pada konspirasi di antara aparat keadilan untuk mempermainkan hukum demi keuntungan pribadi. Bandingkan dengan, Wasingatu Zakiyah, dkk, Panduan Ekseminasi Publik, Penerbit Indonesia Corruption Watch (ICW), Jakarta, 2004.
  4. Secara konseptual pemantauan peradilan dalam rangka mewujudkan lembaga peradilan yang dapat bekerja secara merdeka, berwibawa, jujur serta tidak memihak sekaligus bersih dan bebas dari KKN, dapat dilakukan secara internal maupun eksternal. Pemanatauan peradilan yang dilakukan secara internal maupun eksternal ini pada dasarnya dimnaksudkan unuk: Pertama, Mengetahui jalannya pekerjaan, apakah lancar atau tidak. Kedua, Memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh pegawai/aparat dan mengadakan pencegahan agar tidak terulang kembali kesalahan-kesalahan yang sama atau timbulnya kesalahan yang baru. Ketiga, Mengetahui apakah penggunaan budget yang telah ditetapkan dalam rencana terarah kepada sasarannya dan sesuai dengan yang direncanakan. Keempat, Mengetahui pelaksanaan kerja sesuai dengan program (fase tingkat pelaksanaan) seperti yang telah ditentukan dalam planning atau tidak. Kelima, Mengetahui hasil pekerjaan dibandingkan dengan yang telah ditetapkan dalam planning.
  5. Dalam konteks makalah ini, yang dimaksud dengan lembaga pemantauan internal adalah setiap lembaga pemantau peradilan yang dibuat oleh pemerintah/negara dan mendasari eksistensi maupun wibawanya pada kekuasaan negara.
  6. Mas Achmad Sentosa, Menjelang Pembentukan Komisi Yudisial, Artikel dalam harian kompas, tanggal 2 Maret 2005. Khusus untuk poin enam, merupakan pendapat dari penulis.
  7. Muhamad AS Hikam, Demokasi dan Civil Society, Penerbit LP3ES, Jakarta, 1999.
  8. Ibid.
  9. Jhon Keane, Democray and civil Society, MIT Press, Cambridge, 1992.
  10. 10). Perkumpulan Pengembangan Inisiatif Advokasi Rakyat (PIAR-NTT) adalah organisasi masyarakat sipil yang berbentuk Perkumpulan Terbatas.
  11. Pada konteks NTT, mandeknya kerja-kerja lembaga peradilan di NTT dalam proses penegakan hukum terhadap sejumlah kasus, merupakan pembenaran terhadap argumen ini. Kasus-kasus tersebut diantaranya: kasus SARKES yang terindikasi merugikan keuangan negara sebesar Rp. 3,38M dan diduga melibatkan PIET A. TALLO (Gubernur NTT), Kasus Penyalahgunaan Dana Keuangan Negara Pemda Kab. TTS Untuk Membayar Dana Purna Bhakti Anggota DPRD Kab. TTS Periode 1999-2004 yang melibatkan 35 Anggota DPRD Kab TTS Periode 1999-2004 dan DANIEL A BANUNAEK (Bupati TTS) yang diduga mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp. 1,4 M, Kasus Penyalahgunaan Dana Kenaikan Tunjangan Ketua, Wakil Ketua dan Anggota DPRD Kab. Belu yang melibatkan Ketua, wakil ketua dan seluruh anggota DPRD kab. Belu periode 1999-2004 dengan total dugaan kerugian negara sebesar Rp. 55.153.560,00, Kasus Penyalahgunaan Dana Bantuan Operasional Tahun 2003-2004 di Pemkot Kupang yang diduga merugikan keuangan negara Rp. 4.500.000.000,00 dan diduga melibatkan MAGDALENA HERMANUS (Bendahara Umum Pemkot Kupang),YEFTA BENGU (Kabag Umum Pemkot Kupang), BELINA ULY (Mantan Kabag Keuangan Pemkot Kupang/sekarang Ass. II Kota Kupang), YONAS SALEAN (Sekda Kota Kupang) dan S.K. LERIK (Walikota Kupang) dan 29 Anggota DPRD Kota Kupang Periode 1999-2004, kasus dana kontigensi di lingkup Pemkot Kupang, yang terindikasi merugikan keuanagan negara sebesar Rp.2. 682.800.000,00 dan diduga melibatkan S.K. LERIK (Walikota Kupang), YONAS SALEAN (Sekda Kota Kupang) dan 29 Anggota DPRD Kota Kupang Periode 1999-2004, kasus penembakan terhadap sejumlah petani kopi di manggari pada maret 2004 yang mengakibatkan meninggalnya 6 (enam) petani, namun dalam proses penegakan hukumnya tersangka tunggal yang adalah AKBP. BONIFASIUS TAMPOI (mantan kapolres) difonis bebas, kasus penganiyaaan oleh petugas LAPAS Kupang terhadap tahanan titipan Polresta kupang (Alfred Ullu) hingga buta, tapi dalam proses hukumnya hanya 1 orang saja yang dipidana sedangkan pelaku lainnya masih belum tersentuh hukum, kasus meninggalnya tahanan (Yupiter Manek) di tahanan Polres Belu akibat penganiyaaan, namun hingga saat ini tidak pernah direspon oleh pihak kepolisian padahal hasil temuan dari Tim investigasi yang dibentuk Kapolres Belu membuktikan bahwa memang Yupiter Manek meninggal akibat adanya penganiyaan. (PIAR-NTT, Kertas Posisi Kasus Dugaan Korupsi dan Pelanggaran HAM di Nusa Tenggaa Timur, Tahun 2003, Tahun 2004 & Tahun 2005).
  12. Salah satu kasus di NTT yang sudah di SP3-kan oleh aparat penegak hukum adalah Kasus Dugaan Korupsi Dana Proyek Ressetlemen Di Tude-Mauta- Kabupaten Alor sebesar Rp. 5.540.000.000, yang terjadi yang kebocoran sebesar Rp. 1.375.658.571.
  13. Para aktivis tersebut diantaranya: Sarah Lerry Mboeik (Direktur PIAR - NTT), Rm. Franz Amanue, pr (Keuskupan Larantuka) dan Pius Hamid (Direktur SANKAR - NTT).
  14. Pada tanggal 15 November 2003, massa-rakyat membakar kantor Pengadilan Negeri (PN Larantauka) dan Kantor Kejaksaan Negeri Flores Timur, karena dianggap tidak serius dalam menangani kasus dugaan korupsi yang melibatkan Bupati Flores Timur (Felix Fernandez). (PIAR-NTT, Kertas Posisi Kasus Dugaan Korupsi dan Pelanggaran HAM di Nusa Tenggaa Timur, Tahun 2003).


TRANSLATE
English French German Spain Italian DutchRussian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
OMong POLitik:
Kalau ingin berjuang, kita tidak boleh tunduk pada fakta... kita harus melawan fakta dan membuat fakta baru...